Jakarta (ANTARA Sumsel) - Bank Indonesia resmi mengatur ketentuan rasio nilai pinjaman dari aset (loan to value/LTV) kredit pemilikan rumah pertama menjadi 85 persen, sehingga uang muka yang harus dibayar nasabah menjadi 15 persen dari total harga rumah, menurun dibandingkan sebelumnya yang 20 persen.
Selain pelonggaran uang muka untuk rumah pertama, BI juga menurunkan uang muka untuk kredit prmilikan rumah (KPR) kedua menjadi 20 persen dari sebelumnya 30 persen, dan kredit rumah ketiga serta seterusnya menjadi 25 persen dari sebelumnya 40 persen, kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Filianingsih Hendarta di Jakarta, Rabu.
"Selain penurunan uang muka rumah pertama, relaksasi LTV juga mengurangi jarak uang muka antara rumah pertama, kedua, ketiga dan seterusnya," ujar Fili.
Penyesuaian LTV tersebut tercantum dalam Peraturan BI (PBI) Nomor 18/16/PBI/2016 yang, menurut Fili, dikeluarkan pada 29 Agustus 2016.
Fili mengatakan relaksasi kredit perumahan ini dapat melengkapi stimulus dari pemerintah untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Sasaran dari relaksasi ini, permintaan masyarakat dapat meningkat, serta laju kredit perbankan juga dapat terus tumbuh.
Relaksasi menyasar sektor properti karena sektor "gemuk" ini memiliki efek pengganda manfaat ekonomi (multiplier effect) yang besar terhadap sektor lain seperti sektor konstruksi, industri, dan juga jasa keuangan.
"Kita tidak ingin melewatkan momentum mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan makroprudensial," imbuhnya.
Namun, lanjut Fili, pelonggaran LTV ini juga harus dibarengi dengan ketahanan industri perbankan untuk mencegah "bumerang" perekonomian karena membengkaknya kredit bermasalah.
Maka dari itu, ujar dia, relaksasi ini dibarengi syarat yakni perbankan harus memiliki total rasio kredit atau pembiayaan bermasalah (non-performing loan/NPL atau NPF) secara bersih (net) di bawah 5 persen. Kemudian, di lini KPR, NPL atau NPF perbankan harus di bawah 5 persen secara gross.
Jika tidak bisa memenuhi syarat tersebut, maka bank tidak bisa mengenakan penurunan uang muka sesuai ketentuan terbaru. Perbankan di luar syarat tersebut menggunakan ketentuan lama LTV yang dikeluarkan Juni 2015.
"Saat relaksasi LTV Juni 2015, syaratnya 'gross' untuk total kredit dan kredit KPR, sedangkan sekarang kami ubah NPL atau NPF total kredit perbankan menjadi 'net', sehingga memperlonggar perbankan," ucapnya.
Hingga Juni 2016, BI mencatat terdapat sekitar 80 bank dari 118 bank di Indonesia yang dapat memanfaatkan pelonggaran LTV ini.
Lebih lanjut, Fili menerangkan selain syarat dari sisi NPL tersebut, aturan terbaru LTV ini juga memperbolehkan pembiayaan inden hingga rumah kedua, namun dengan pencairan pembayaran secara bertahap.
"Ini untuk melindungi konsumen dari pengembang nakal. Jangan sampai uang sudah dibayarkan semua, ternyata pengembang kabur," ujarnya.
Pelonggaran LTV ini tidak berlaku untuk KPR yang termasuk program perumahan dari pemerintah pusat dan daerah. Sedangkan untuk kredit atau pembiayaan tambahan, relaksasi LTV ini dapat digunakan asalkan NPL memenuhi syarat.
"Jika kualitas kredit tidak sesuai syarat, maka tambahan kredit tersebut dihitung sebagai fasilitas kredit baru," jelasnya.
Fili mengatakan relaksasi LTV ini dapat menambah 3,7 persen terhadap pertumbuhan KPR per tahun sejak aturan ini diberlakukan.
Dengan relaksasi ini, bank sentral juga, kata Fili, mengkaji untuk menaikkan perkiraan pertumbuhan kredit perbankan yang tahun ini sebesar 7-9 persen.
Selain pelonggaran uang muka untuk rumah pertama, BI juga menurunkan uang muka untuk kredit prmilikan rumah (KPR) kedua menjadi 20 persen dari sebelumnya 30 persen, dan kredit rumah ketiga serta seterusnya menjadi 25 persen dari sebelumnya 40 persen, kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Filianingsih Hendarta di Jakarta, Rabu.
"Selain penurunan uang muka rumah pertama, relaksasi LTV juga mengurangi jarak uang muka antara rumah pertama, kedua, ketiga dan seterusnya," ujar Fili.
Penyesuaian LTV tersebut tercantum dalam Peraturan BI (PBI) Nomor 18/16/PBI/2016 yang, menurut Fili, dikeluarkan pada 29 Agustus 2016.
Fili mengatakan relaksasi kredit perumahan ini dapat melengkapi stimulus dari pemerintah untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Sasaran dari relaksasi ini, permintaan masyarakat dapat meningkat, serta laju kredit perbankan juga dapat terus tumbuh.
Relaksasi menyasar sektor properti karena sektor "gemuk" ini memiliki efek pengganda manfaat ekonomi (multiplier effect) yang besar terhadap sektor lain seperti sektor konstruksi, industri, dan juga jasa keuangan.
"Kita tidak ingin melewatkan momentum mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan makroprudensial," imbuhnya.
Namun, lanjut Fili, pelonggaran LTV ini juga harus dibarengi dengan ketahanan industri perbankan untuk mencegah "bumerang" perekonomian karena membengkaknya kredit bermasalah.
Maka dari itu, ujar dia, relaksasi ini dibarengi syarat yakni perbankan harus memiliki total rasio kredit atau pembiayaan bermasalah (non-performing loan/NPL atau NPF) secara bersih (net) di bawah 5 persen. Kemudian, di lini KPR, NPL atau NPF perbankan harus di bawah 5 persen secara gross.
Jika tidak bisa memenuhi syarat tersebut, maka bank tidak bisa mengenakan penurunan uang muka sesuai ketentuan terbaru. Perbankan di luar syarat tersebut menggunakan ketentuan lama LTV yang dikeluarkan Juni 2015.
"Saat relaksasi LTV Juni 2015, syaratnya 'gross' untuk total kredit dan kredit KPR, sedangkan sekarang kami ubah NPL atau NPF total kredit perbankan menjadi 'net', sehingga memperlonggar perbankan," ucapnya.
Hingga Juni 2016, BI mencatat terdapat sekitar 80 bank dari 118 bank di Indonesia yang dapat memanfaatkan pelonggaran LTV ini.
Lebih lanjut, Fili menerangkan selain syarat dari sisi NPL tersebut, aturan terbaru LTV ini juga memperbolehkan pembiayaan inden hingga rumah kedua, namun dengan pencairan pembayaran secara bertahap.
"Ini untuk melindungi konsumen dari pengembang nakal. Jangan sampai uang sudah dibayarkan semua, ternyata pengembang kabur," ujarnya.
Pelonggaran LTV ini tidak berlaku untuk KPR yang termasuk program perumahan dari pemerintah pusat dan daerah. Sedangkan untuk kredit atau pembiayaan tambahan, relaksasi LTV ini dapat digunakan asalkan NPL memenuhi syarat.
"Jika kualitas kredit tidak sesuai syarat, maka tambahan kredit tersebut dihitung sebagai fasilitas kredit baru," jelasnya.
Fili mengatakan relaksasi LTV ini dapat menambah 3,7 persen terhadap pertumbuhan KPR per tahun sejak aturan ini diberlakukan.
Dengan relaksasi ini, bank sentral juga, kata Fili, mengkaji untuk menaikkan perkiraan pertumbuhan kredit perbankan yang tahun ini sebesar 7-9 persen.