Lebaran ketupat di wilayah Kecamatan Durenan yang digelar setiap H+8 Idul Fitri menjadi tradisi turun-temurun yang seolah tak pernah lekang oleh waktu.
Setiap tahun ada, bahkan kearifan lokal itu terus menyebar (menular) ke daerah-daerah lain di sekitarnya melalui simpul tali kekerabatan serta jaringan alumni pondok pesantren yang berakar di Durenan.
Tradisi Lebaran Ketupat, yang ditandai dengan acara informal berbagai kupat atau ketupat memang bukan monopoli masyarakat Durenan. Di berbagai daerah lain, bahkan komunitas muslim di luar Jawa juga ada tradisi berbagi ketupat antarwarga muslim.
Bedanya yang mungkin tidak ditemukan adalah proses penyelenggaraan yang dilakukan secara komunal atau massal serta ritualnya yang mirip-mirip hari pertama perayaan Idul Fitri.
Ada ritual shalat dhuha berjamaah di masjid-masjid pada pagi hari, sesaat setelah matahari beranjak di ufuk timur yang menyerupai shalat Id, sebelum dilanjutkan tradisi saling anjangsana antarwarga, kerabat dan sesama muslim setempat dengan berbagi hidangan makanan kupat atau ketupat plus sayur secara gratis.
Dulu, menurut pengasuh Ponpes Babul Ulum, Durenan KH Fattah Muin, tradisi kupatan hanya berlaku di lingkungan keluarga kakeknya yang dikenali sebagai tokoh penyebar agama Islam di wilayah Durenan-Trenggalek, KH Abdul Mashir atau Mbah Mesir.
Saat itu, tradisi santap kupat yang diperkenalkan Sunan Kalijaga dilakoni Mbah Mesir dengan mengundang santri dan warga sekitar sebagai bentuk syukur setelah menjalani ibadah puasa sunah Syawal selama enam hari berturut, mulai H+2 bulan Syawal atau sehari setelah Hari Raya Idul Fitri.
Dalam perjalanan waktu, sejak kebiasaan melakoni puasa syawal itu diajarkan Mbah Mesir sejak pertengahan abad 19 (Mbah Mesir meninggal pada 1861 Masehi) di lingkungan Ponpses Babul Ulum, Desa Durenan, tradisi itu menyebar di lingkungan pondok dan masyarakat sekitar.
Hampir dua abad tradisi itu bertahan bahkan terus berkembang, kini nilai-nilai kearifan lokal itu menyebar hampir di semua desa di Kecamatan Durenan.
Kemasan Budaya
Bahkan, dalam satu dasawarsa terakhir budaya kupatan juga digelar di beberapa titik lingkungan/desa di luar Durenan, seperti di Tugu, Gandusari dan Kelurahan Kelutan Kabupaten Trenggalek, Boyolangu dan Jepun Kabupaten Tulungagung dan beberapa daerah lain.
Esensi acaranya secara umum sama, yakni berbagi kupat atau ketupat secara gratis dengan sanak-famili, kerabat, serta warga sesama muslim.
Hanya, kemasan masing-masing lingkungan berbeda. Di Kelurahan Kelutan Trenggalek, misalnya, tradisi Lebaran Ketupat dibumbui aneka hiburan seni budaya seperti karnaval atau pawai ketupat, kesenian jaranan, seni tiban, barongsai hingga hiburan elekton dan musik dangdut.
Menurut warga, kemasan tambahan dalam perayaan Lebaran Ketupat sengaja dilakukan untuk menarik animo warga berkunjung ke kampung mereka. Dalihnya, kata Wakil Bupati Trenggalek Mochammad Nur Arifin, adalah untuk memecah konsentrasi massa yang setiap Lebaran Ketupat membanjiri Kecamatan Durenan.
Upaya itu berhasil. Lebaran Ketupat di wilayah Kelutan yang berada di pinggiran pusat Kota Trenggalek selalu ramai dan diklaim mampu mengurangi kepadatan pengunjung di Durenan yang selalu macet parah.
Namun bumbu-bumbu acara yang dinilai tidak islami itu menuai pro-kontra.
Sebagian mengkritik aneka pegelaran seni seperti jaranan, tiban dan musik dangdut yang merusak pakem ajaran Islam, namun tak sedikit pula yang mendukung dengan alasan akulturasi budaya atau sekedar hiburan rakyat tanpa motif tertentu.
"Di Durenan, tradisi asli ini akan kami pertahankan. Jadi warga yang datang ke sini (Durenan) niatnya hanya satu, yakni anjangsana dengan sanak-famili, kerabat atau sesama saudara muslim dalam rangka Lebaran Ketupat. Tidak ada motif lain seperti di daerah luar Durenan," kata KH Abdul Fattah Muin.
Tradisi lain yang belakangan menjadi tren masyarakat adalah budaya melepas balon udara atau balon asap berbagai ukuran di berbagai pelosok desa.
Tradisi tambahan ini sempat dilarang polisi dengan alasan membahayakan keamanan karena berisiko memicu kebakaran.
Namun larangan yang belakangan diralat Kapolres Trenggalek AKBP Made Agus Permana dengan istilah imbauan itu akhirnya memicu pro-kontra masyarakat.
Sebagian mengkritik kebijakan tersebut karena dinilai berlebihan dan mengekang nilai budaya daerah, namun tak sedikit pula yang mendukung dengan pertimbangan keamanan.
Tahun ini, Lebaran Ketupat di Kecamatan Durenan maupun daerah-daerah lain luar Durenan digelar pada Rabu (13/7), tepat sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada 1 Syawal atau Rabu (6/7).
Suasananya tak banyak berubah dibanding perayaan Lebaran ketupat pada tahun-tahun sebelumnya, sangat ramai. Ribuan warga dari berbagai pelosok daerah memadati jalan raya maupun jalan perkampungan di Kecamatan Durenan.
Sebegitu banyaknya pengunjung yang datang, Satlantas dan Dinas Perhubungan Kabupaten Trenggalek sampai harus melakukan rekayasa arus lalu lintas agar tidak macet.
Beberapa kali 'contra-flow system' atau (sistem buka-tutup jalur) diberlakukan untuk mengurai kendaraan yang menyemut di jalur provinsi Trenggalek-Tulungagung tersebut.
"Tahun ini suasana Lebaran Ketupat lebih ramai dibanding dua-tiga tahun sebelumnya. Mungkin karena masa libur yang lebih panjang," kata Bintang, anggota komunitas sepeda gunung yang hari itu sengaja datang jauh-jauh dari Pare, Kediri bersama rekan-rekannya untuk menikmati suasana Lebaran Ketupat di Durenan.
Salah satu ritual yang diburu Bintang dan pengunjung lain adalah acara purak (rebutan) gunungan kupat usai diarak keliling kampung pada pagi hari usai shalat dhuha berjamaah di Masjid Jamik Ponpes Babul Ulum, Durenan.
Bersama rekan-rekannya pecinta sepeda yang sebagian warga keturunan Tionghoa, Bintang juga menyempatkan singgah ke beberapa rumah penduduk yang membuka "open house" atau menyediakan hidangan santap kupat gratis.
Bintang dan kawan-kawan terlihat senang. Mereka aktif beramah-tamah dengan tuan rumah sekedar membahas tradisi Lebaran Ketupat yang menurutnya sangat membudaya khas Durenan Trenggalek.
"Sudah lima tahun terakhir setiap Lebaran Ketupat kami selalu ke Durenan. Olahraga sambil menikmati tradisi budaya, sayang tahun ini kami agak kesiangan sehingga tidak mendapat moment purak gunungan kupat," ujar Adi Santoso, pecinta sepeda gunung lain dari Pare.
Wacana Kontribusi Daerah
Di era kepemimpinan Bupati/Wakil Bupati Trenggalek Emil Elestianto Dardak dan Mochammad Nur Arifin, muncul wacana kontribusi pemerintah daerah dalam rangka lebih menyemarakkan tradisi Lebaran Ketupat di Durenan maupun kelutan.
Jika selama ini tradisi dan aneka kegiatan dalam rangkaian perayaan Lebaran ketupat merupakan hasil swadaya masyarakat sekitar, wabup Mochammad Nur Arifin dalam satu kesempatan wawancara dengan wartawan menjanjikan kontribusi nyata pemerintah daerah.
Tidak sekedar kehadiran fisik para pejabat ke tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat yang merayakan, tetapi juga membantu menyemarakkan kemasan budaya sehingga lebih tertata dan menarik dari sisi kepariwisataan.
"Ke depan akan kami proyeksikan alokasi APBD untuk mendukung tradisi budaya Kupatan seperti ini, dengan tanpa mengurangi apalagi mengubah kearifan lokal yang ada," kata Arifin atau biasa disapa Gus Ipin sesaat setelah silaturahim di kediaman KH Abdul Fattah Muin, pengasuh Ponpes Babul Ulum Durenan.
Beberapa usulan kemasan tambahan yang dimaksud Arifin antara lain adalah lomba membuat cangkang ketupat dari bahan daun kelapa muda, subsidi penyediaan gunungan kupat serta rangkaian pawai taaruf yang bernuansa Islam.
Wacana kontribusi daerah menurut Arifin atau Gus Ipin tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Durenan yang menjadi asal-muasal budaya kupatan, tetapi juga di lingkungan masyarakat Kelurahan Kelutan yang menjadi pusat keramaian kedua setiap Lebaran Ketupat.
Harapannya, kata Arifin, tradisi kupatan di masa mendatang lebih memiliki daya tarik pariwisata, sehingga berdampak ekonomi yang besar bagi masyarakat Trenggalek termasuk pemerintah daerah.
Setiap tahun ada, bahkan kearifan lokal itu terus menyebar (menular) ke daerah-daerah lain di sekitarnya melalui simpul tali kekerabatan serta jaringan alumni pondok pesantren yang berakar di Durenan.
Tradisi Lebaran Ketupat, yang ditandai dengan acara informal berbagai kupat atau ketupat memang bukan monopoli masyarakat Durenan. Di berbagai daerah lain, bahkan komunitas muslim di luar Jawa juga ada tradisi berbagi ketupat antarwarga muslim.
Bedanya yang mungkin tidak ditemukan adalah proses penyelenggaraan yang dilakukan secara komunal atau massal serta ritualnya yang mirip-mirip hari pertama perayaan Idul Fitri.
Ada ritual shalat dhuha berjamaah di masjid-masjid pada pagi hari, sesaat setelah matahari beranjak di ufuk timur yang menyerupai shalat Id, sebelum dilanjutkan tradisi saling anjangsana antarwarga, kerabat dan sesama muslim setempat dengan berbagi hidangan makanan kupat atau ketupat plus sayur secara gratis.
Dulu, menurut pengasuh Ponpes Babul Ulum, Durenan KH Fattah Muin, tradisi kupatan hanya berlaku di lingkungan keluarga kakeknya yang dikenali sebagai tokoh penyebar agama Islam di wilayah Durenan-Trenggalek, KH Abdul Mashir atau Mbah Mesir.
Saat itu, tradisi santap kupat yang diperkenalkan Sunan Kalijaga dilakoni Mbah Mesir dengan mengundang santri dan warga sekitar sebagai bentuk syukur setelah menjalani ibadah puasa sunah Syawal selama enam hari berturut, mulai H+2 bulan Syawal atau sehari setelah Hari Raya Idul Fitri.
Dalam perjalanan waktu, sejak kebiasaan melakoni puasa syawal itu diajarkan Mbah Mesir sejak pertengahan abad 19 (Mbah Mesir meninggal pada 1861 Masehi) di lingkungan Ponpses Babul Ulum, Desa Durenan, tradisi itu menyebar di lingkungan pondok dan masyarakat sekitar.
Hampir dua abad tradisi itu bertahan bahkan terus berkembang, kini nilai-nilai kearifan lokal itu menyebar hampir di semua desa di Kecamatan Durenan.
Kemasan Budaya
Bahkan, dalam satu dasawarsa terakhir budaya kupatan juga digelar di beberapa titik lingkungan/desa di luar Durenan, seperti di Tugu, Gandusari dan Kelurahan Kelutan Kabupaten Trenggalek, Boyolangu dan Jepun Kabupaten Tulungagung dan beberapa daerah lain.
Esensi acaranya secara umum sama, yakni berbagi kupat atau ketupat secara gratis dengan sanak-famili, kerabat, serta warga sesama muslim.
Hanya, kemasan masing-masing lingkungan berbeda. Di Kelurahan Kelutan Trenggalek, misalnya, tradisi Lebaran Ketupat dibumbui aneka hiburan seni budaya seperti karnaval atau pawai ketupat, kesenian jaranan, seni tiban, barongsai hingga hiburan elekton dan musik dangdut.
Menurut warga, kemasan tambahan dalam perayaan Lebaran Ketupat sengaja dilakukan untuk menarik animo warga berkunjung ke kampung mereka. Dalihnya, kata Wakil Bupati Trenggalek Mochammad Nur Arifin, adalah untuk memecah konsentrasi massa yang setiap Lebaran Ketupat membanjiri Kecamatan Durenan.
Upaya itu berhasil. Lebaran Ketupat di wilayah Kelutan yang berada di pinggiran pusat Kota Trenggalek selalu ramai dan diklaim mampu mengurangi kepadatan pengunjung di Durenan yang selalu macet parah.
Namun bumbu-bumbu acara yang dinilai tidak islami itu menuai pro-kontra.
Sebagian mengkritik aneka pegelaran seni seperti jaranan, tiban dan musik dangdut yang merusak pakem ajaran Islam, namun tak sedikit pula yang mendukung dengan alasan akulturasi budaya atau sekedar hiburan rakyat tanpa motif tertentu.
"Di Durenan, tradisi asli ini akan kami pertahankan. Jadi warga yang datang ke sini (Durenan) niatnya hanya satu, yakni anjangsana dengan sanak-famili, kerabat atau sesama saudara muslim dalam rangka Lebaran Ketupat. Tidak ada motif lain seperti di daerah luar Durenan," kata KH Abdul Fattah Muin.
Tradisi lain yang belakangan menjadi tren masyarakat adalah budaya melepas balon udara atau balon asap berbagai ukuran di berbagai pelosok desa.
Tradisi tambahan ini sempat dilarang polisi dengan alasan membahayakan keamanan karena berisiko memicu kebakaran.
Namun larangan yang belakangan diralat Kapolres Trenggalek AKBP Made Agus Permana dengan istilah imbauan itu akhirnya memicu pro-kontra masyarakat.
Sebagian mengkritik kebijakan tersebut karena dinilai berlebihan dan mengekang nilai budaya daerah, namun tak sedikit pula yang mendukung dengan pertimbangan keamanan.
Tahun ini, Lebaran Ketupat di Kecamatan Durenan maupun daerah-daerah lain luar Durenan digelar pada Rabu (13/7), tepat sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada 1 Syawal atau Rabu (6/7).
Suasananya tak banyak berubah dibanding perayaan Lebaran ketupat pada tahun-tahun sebelumnya, sangat ramai. Ribuan warga dari berbagai pelosok daerah memadati jalan raya maupun jalan perkampungan di Kecamatan Durenan.
Sebegitu banyaknya pengunjung yang datang, Satlantas dan Dinas Perhubungan Kabupaten Trenggalek sampai harus melakukan rekayasa arus lalu lintas agar tidak macet.
Beberapa kali 'contra-flow system' atau (sistem buka-tutup jalur) diberlakukan untuk mengurai kendaraan yang menyemut di jalur provinsi Trenggalek-Tulungagung tersebut.
"Tahun ini suasana Lebaran Ketupat lebih ramai dibanding dua-tiga tahun sebelumnya. Mungkin karena masa libur yang lebih panjang," kata Bintang, anggota komunitas sepeda gunung yang hari itu sengaja datang jauh-jauh dari Pare, Kediri bersama rekan-rekannya untuk menikmati suasana Lebaran Ketupat di Durenan.
Salah satu ritual yang diburu Bintang dan pengunjung lain adalah acara purak (rebutan) gunungan kupat usai diarak keliling kampung pada pagi hari usai shalat dhuha berjamaah di Masjid Jamik Ponpes Babul Ulum, Durenan.
Bersama rekan-rekannya pecinta sepeda yang sebagian warga keturunan Tionghoa, Bintang juga menyempatkan singgah ke beberapa rumah penduduk yang membuka "open house" atau menyediakan hidangan santap kupat gratis.
Bintang dan kawan-kawan terlihat senang. Mereka aktif beramah-tamah dengan tuan rumah sekedar membahas tradisi Lebaran Ketupat yang menurutnya sangat membudaya khas Durenan Trenggalek.
"Sudah lima tahun terakhir setiap Lebaran Ketupat kami selalu ke Durenan. Olahraga sambil menikmati tradisi budaya, sayang tahun ini kami agak kesiangan sehingga tidak mendapat moment purak gunungan kupat," ujar Adi Santoso, pecinta sepeda gunung lain dari Pare.
Wacana Kontribusi Daerah
Di era kepemimpinan Bupati/Wakil Bupati Trenggalek Emil Elestianto Dardak dan Mochammad Nur Arifin, muncul wacana kontribusi pemerintah daerah dalam rangka lebih menyemarakkan tradisi Lebaran Ketupat di Durenan maupun kelutan.
Jika selama ini tradisi dan aneka kegiatan dalam rangkaian perayaan Lebaran ketupat merupakan hasil swadaya masyarakat sekitar, wabup Mochammad Nur Arifin dalam satu kesempatan wawancara dengan wartawan menjanjikan kontribusi nyata pemerintah daerah.
Tidak sekedar kehadiran fisik para pejabat ke tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat yang merayakan, tetapi juga membantu menyemarakkan kemasan budaya sehingga lebih tertata dan menarik dari sisi kepariwisataan.
"Ke depan akan kami proyeksikan alokasi APBD untuk mendukung tradisi budaya Kupatan seperti ini, dengan tanpa mengurangi apalagi mengubah kearifan lokal yang ada," kata Arifin atau biasa disapa Gus Ipin sesaat setelah silaturahim di kediaman KH Abdul Fattah Muin, pengasuh Ponpes Babul Ulum Durenan.
Beberapa usulan kemasan tambahan yang dimaksud Arifin antara lain adalah lomba membuat cangkang ketupat dari bahan daun kelapa muda, subsidi penyediaan gunungan kupat serta rangkaian pawai taaruf yang bernuansa Islam.
Wacana kontribusi daerah menurut Arifin atau Gus Ipin tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Durenan yang menjadi asal-muasal budaya kupatan, tetapi juga di lingkungan masyarakat Kelurahan Kelutan yang menjadi pusat keramaian kedua setiap Lebaran Ketupat.
Harapannya, kata Arifin, tradisi kupatan di masa mendatang lebih memiliki daya tarik pariwisata, sehingga berdampak ekonomi yang besar bagi masyarakat Trenggalek termasuk pemerintah daerah.