Palembang (ANTARA Sumsel) - Komoditas kopi saat ini masih menjadi salah satu andalan utama masyarakat Sumatera Selatan (Sumsel), namun sayangnya volume ekspor dari komoditas kopi itu masih rendah.
"Volume ekspor kopi Sumsel hingga saat ini masih rendah dibandingkan dengan komoditas lainnya seperti karet dan kelapa sawit atau minyak sawit mentah (CPO)," kata Kadisperindag Sumsel, Permana, di Palembang, Jumat.
Disperindag Sumsel selama lima tahun terakhir mencatat provinsi itu hanya mampu mengekspor kopi sebanyak 160 ton per tahun dengan rata-rata sekitar 10-14 ton per bulan.
Padahal, kata dia, secara kualitas dan potensi tanaman kopi di Sumsel sangat besar, karena masih menjadi salah satu penghasilan utama masyarakat di beberapa kabupaten dan kota di provinsi tersebut.
"Melihat kondisi demikian, kami mengupayakan proses hilirisasi bagi kopi Sumsel yang nantinya akan diolah menjadi merek dagang milik Sumatera Selatan tanpa mencantumkan nama kedaerahan," kata Permana.
Selanjutnya, melalui upaya menekan penjualan kopi dalam bentuk bijian dengan memperkenalkan berdasarkan kualitas dan ukuran serta bentuk kemasan merek dagang.
"Kita di sini harus ada satu merek dagang kopi khas Sumsel atau Palembang, seperti di Aceh terkenal dengan kopi gayohnya, dan diharapkan dengan keragaman kopi di sini dapat disatukan menjadi merek dagang yang menjadi ciri khas daerah," katanya.
Ia berharap, dengan mulai mengurangi mata rantai perdagangan kopi yang selama ini terjadi, pemerintah akan mampu menciptakan perdagangan dan promosi lebih menguntungkan petani.
Serta membuat kopi Sumsel tidak kehilangan identitasnya yang selama ini diolah menjadi campuran kopi-kopi bermerEk di pasaran, katanya.
"Volume ekspor kopi Sumsel hingga saat ini masih rendah dibandingkan dengan komoditas lainnya seperti karet dan kelapa sawit atau minyak sawit mentah (CPO)," kata Kadisperindag Sumsel, Permana, di Palembang, Jumat.
Disperindag Sumsel selama lima tahun terakhir mencatat provinsi itu hanya mampu mengekspor kopi sebanyak 160 ton per tahun dengan rata-rata sekitar 10-14 ton per bulan.
Padahal, kata dia, secara kualitas dan potensi tanaman kopi di Sumsel sangat besar, karena masih menjadi salah satu penghasilan utama masyarakat di beberapa kabupaten dan kota di provinsi tersebut.
"Melihat kondisi demikian, kami mengupayakan proses hilirisasi bagi kopi Sumsel yang nantinya akan diolah menjadi merek dagang milik Sumatera Selatan tanpa mencantumkan nama kedaerahan," kata Permana.
Selanjutnya, melalui upaya menekan penjualan kopi dalam bentuk bijian dengan memperkenalkan berdasarkan kualitas dan ukuran serta bentuk kemasan merek dagang.
"Kita di sini harus ada satu merek dagang kopi khas Sumsel atau Palembang, seperti di Aceh terkenal dengan kopi gayohnya, dan diharapkan dengan keragaman kopi di sini dapat disatukan menjadi merek dagang yang menjadi ciri khas daerah," katanya.
Ia berharap, dengan mulai mengurangi mata rantai perdagangan kopi yang selama ini terjadi, pemerintah akan mampu menciptakan perdagangan dan promosi lebih menguntungkan petani.
Serta membuat kopi Sumsel tidak kehilangan identitasnya yang selama ini diolah menjadi campuran kopi-kopi bermerEk di pasaran, katanya.