Hermen Malik tak pernah membayangkan bila pembangunan pusat pendidikan di pinggir hutan yang digagasnya empat tahun lalu adalah wujud membangun dari pinggiran yang kini didorong oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Pada 2012, Bupati Kaur, Provinsi Bengkulu itu memulai program "membangun peradaban" dengan menjemput anak-anak korban konflik tenurial di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di perbatasan Bengkulu dengan Provinsi Lampung, lalu menyediakan pendidikan gratis bagi mereka.
"Orangtua mereka menduduki kawasan hutan dan anak-anak ini tidak mendapat pendidikan," ungkapnya di Kaur, pekan lalu.
Wilayah pinggiran Kabupaten Kaur yang terletak di bagian paling selatan Bengkulu merupakan kawasan taman nasional, Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi (HP).
Tidak sedikit warga yang tinggal di dalam kawasan tersebut. Pendataan pihak Balai TNBBS pada 2012 menyebutkan sebanyak 970 kepala keluarga bermukim di hutan itu.
Sementara pemerintah Kabupaten Kaur mendata ratusan kepala keluarga telah menduduki kawasan HP dan HPT yang berada di tiga kecamatan yakni Maje, Nasal dan Muara Sahung.
Di wilayah hutan negara tersebut kata Hermen, keberadaan fasilitas pendidikan pun diharamkan. Akibatnya, banyak anak-anak yang tidak mendapat pelayanan pendidikan.
"Padahal, semua anak bangsa berhak mengenyam pendidikan. Karena itu perlu terobosan yang tidak lazim untuk memecah kebuntuan ini," ucapnya.
Sebelum memutuskan menjemput anak-anak dari kawasan hutan dan membangun asrama serta layanan pendidikan gratis, Hermen sudah mencoba berbagai terobosan.
Terobosan awal adalah program "guru kunjung" dengan menyiapkan 100 orang guru yang dikirim ke talang atau permukiman penduduk di dalam hutan. Masing-masing guru dilengkapi fasilitas sepeda motor.
Para guru itu dituntut piawai mengendarai sepeda motor di jalan tanah berlumpur untuk mendatangi anak-anak di perbukitan dan menjadikan gubuk petani sebagai ruang kelas untuk mengajar.
Metode mengajar dilakukan seperti belajar membaca Al Quran di mana seorang guru mengajar anak-anak untuk beberapa kelas yang disesuaikan dengan umur dan kemampuan mereka.
Dengan metode ini, waktu belajar mengajar sangat bergantung dengan kehadiran guru. Alhasil, jam belajar bisa pagi, siang atau sore, bahkan pada malam hari.
"Kalau membutuhkan ijazah maka mereka ikut ujian paket A," kata pria berlatar belakang akademisi dari Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu ini.
Setelah berlangsung beberapa bulan, program ini dianggap tidak efektif, sebab banyak guru mengeluhkan kondisi jalanan ekstrem yang harus dilalui untuk menjangkau anak didik.
Program guru kunjung pun diakhiri lalu Dinas Pendidikan setempat memprogramkan sekolah kecil kelas jauh. Secara administrasi, sekolah tersebut terdaftar pada sekolah reguler terdekat.
Tujuannya sama, menghadirkan pendidikan bagi anak-anak di dalam kawasan hutan. Sebab, secara aturan, pemerintah tidak mungkin mendirikan gedung sekolah di dalam kawasan itu.
"Karena itulah maka bangunan sekolah kecil kelas jauh ini didirikan secara mandiri oleh masyarakat," ujar suami Lilik Hanifah ini.
Pendidikan Khusus
Sekolah kecil kelas jauh ini pun ternyata tidak menjawab persoalan sebab anggaran pembangunan gedung belajar sangat terbatas sehingga layanan pendidikan tidak optimal.
Berbagai kendala yang dihadapi justru menginspirasi pemerintah daerah Kaur mendirikan sekolah negeri berasrama yang disebut Pendidikan Khusus Layanan Khusus (PKLK).
Lulusan Mississippi State University, Amerika Serikat itu membawa gagasan tersebut ke Pemerintah Pusat dan mendapat restu dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Bisa dikatakan program ini yang pertama di Indonesia yaitu sekolah negeri berasrama," imbuhnya.
Kini, empat sekolah negeri berasrama sudah berdiri di Kaur yakni SD Negeri 126 PKLK dan SMP Negeri 36 PKLK di Desa Sinar Pagi Kecamatan Kaur Selatan.
Dua sekolah ini berada di satu gedung berlantai dua dengan jumlah siswa SD sebanyak 45 orang dan siswa SMP sebanyak 60 orang.
Selama proses pendidikan, para pelajar tersebut tinggal di asrama yang dibangun di belakang gedung sekolah.
"Kami menyediakan pengasuh karena beberapa anak masih kecil, terutama anak kelas 1 SD yang belum mandiri mempersiapkan kebutuhan sekolahnya," ungkap Kepala SD dan SMP PKLK, Mustakimah.
Saat libur sekolah kata dia, para siswa diperbolehkan kembali ke pertalangan, tapi tidak sedikit juga orangtua siswa yang berkunjung ke asrama.
Berikutnya SMP Negeri 35 Berasrama yang dibangun di Gedung Sako II yang menerima siswa angkatan pertama pada 2013 dengan jumlah siswa sebanyak 450 orang.
Sistem pendidikan yang diberikan tidak berbeda dengan sekolah reguler, namun di sekolah itu siswa diajarkan berbagai keterampilan antara lain beternak, bertani dan lainnya.
Tidak berhenti di situ, Hermen juga membangun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri berasrama yakni SMK Negeri 7 Technopreneur di Kecamatan Maje yang tahun ini akan menerima siswa angkatan kedua.
Sekolah ini juga menyediakan asrama bagi siswanya dan menyediakan seluruh fasilitas pendidikan secara gratis. Para siswa di SMK ini dibekali pendidikan formal yakni edukatif dan produktif.
"Para pelajar diberi keterampilan mengolah hasil pertanian dan perikanan menjadi berbagai jenis produk yang dipasarkan langsung oleh siswa," tutur Kepala SMK Negeri 7, Japilus.
Untuk mencetak calon ilmuwan, Hermen mendirikan satu lagi sekolah berasrama yang bernama SMA Negeri 10 Pentagon di Kompleks Gedung Sako II Kecamatan Kaur Selatan.
Seleksi masuk sekolah ini cukup ketat. Calon siswa baru yang diseleksi adalah mereka yang mendapat ranking satu hingga tiga di tingkat SMP.
Nama Pentagon disematkan, sebab bangunan sekolah memiliki lima sisi yang melambangkan lima karakter yang membangun peradaban yakni Iman dan Taqwa (Imtaq), Etika, Estetika, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dan Harmoni.
Sekolah ini dilengkapi laboratorium komputer, nanoteknologi, energi, bioteknologi dan robotic dengan pengajar tamu dari Universitas Bengkulu, Universitas Gajah Mada dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Para siswa juga diwajibkan memiliih dua dari empat program ekstrakurikuler yang disediakan yakni nanoteknologi, bioteknologi, energi terbarukan dan robotik.
"Seluruh biaya pendidikan digratiskan tapi siswa harus membayar biaya asrama sebesar Rp1,1 juta per bulan," jelas Kepala SMA Negeri 10 Pentagon, Yeye Hendri.
Pemerintah daerah juga menyediakan beasiswa kuliah ke luar negeri untuk dua orang lulusan terbaik sekolah ini.
Tak sampai di situ, sejak 2012 Pemkab Kaur merilis program "bintang jemput bintang" yakni beasiswa bagi dua orang lulusan terbaik tingkat SMA untuk melanjutkan pendidikan ke berbagai universitas di luar negeri antara lain NewCastle University, Inggris, University of Kentucky di Amerika Serikat dan Universitat Unhalt di Jerman.
Hermen mengatakan anggaran untuk membiayai seluruh terobosan itu hanya mengambil Rp2 miliar dari lebih Rp900 miliar APBD Kabupaten Kaur.
"Tidak terlalu mahal, asalkan ada niat memperbaiki kualitas pendidikan kita," tukas Hermen.
Pada 2012, Bupati Kaur, Provinsi Bengkulu itu memulai program "membangun peradaban" dengan menjemput anak-anak korban konflik tenurial di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di perbatasan Bengkulu dengan Provinsi Lampung, lalu menyediakan pendidikan gratis bagi mereka.
"Orangtua mereka menduduki kawasan hutan dan anak-anak ini tidak mendapat pendidikan," ungkapnya di Kaur, pekan lalu.
Wilayah pinggiran Kabupaten Kaur yang terletak di bagian paling selatan Bengkulu merupakan kawasan taman nasional, Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi (HP).
Tidak sedikit warga yang tinggal di dalam kawasan tersebut. Pendataan pihak Balai TNBBS pada 2012 menyebutkan sebanyak 970 kepala keluarga bermukim di hutan itu.
Sementara pemerintah Kabupaten Kaur mendata ratusan kepala keluarga telah menduduki kawasan HP dan HPT yang berada di tiga kecamatan yakni Maje, Nasal dan Muara Sahung.
Di wilayah hutan negara tersebut kata Hermen, keberadaan fasilitas pendidikan pun diharamkan. Akibatnya, banyak anak-anak yang tidak mendapat pelayanan pendidikan.
"Padahal, semua anak bangsa berhak mengenyam pendidikan. Karena itu perlu terobosan yang tidak lazim untuk memecah kebuntuan ini," ucapnya.
Sebelum memutuskan menjemput anak-anak dari kawasan hutan dan membangun asrama serta layanan pendidikan gratis, Hermen sudah mencoba berbagai terobosan.
Terobosan awal adalah program "guru kunjung" dengan menyiapkan 100 orang guru yang dikirim ke talang atau permukiman penduduk di dalam hutan. Masing-masing guru dilengkapi fasilitas sepeda motor.
Para guru itu dituntut piawai mengendarai sepeda motor di jalan tanah berlumpur untuk mendatangi anak-anak di perbukitan dan menjadikan gubuk petani sebagai ruang kelas untuk mengajar.
Metode mengajar dilakukan seperti belajar membaca Al Quran di mana seorang guru mengajar anak-anak untuk beberapa kelas yang disesuaikan dengan umur dan kemampuan mereka.
Dengan metode ini, waktu belajar mengajar sangat bergantung dengan kehadiran guru. Alhasil, jam belajar bisa pagi, siang atau sore, bahkan pada malam hari.
"Kalau membutuhkan ijazah maka mereka ikut ujian paket A," kata pria berlatar belakang akademisi dari Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu ini.
Setelah berlangsung beberapa bulan, program ini dianggap tidak efektif, sebab banyak guru mengeluhkan kondisi jalanan ekstrem yang harus dilalui untuk menjangkau anak didik.
Program guru kunjung pun diakhiri lalu Dinas Pendidikan setempat memprogramkan sekolah kecil kelas jauh. Secara administrasi, sekolah tersebut terdaftar pada sekolah reguler terdekat.
Tujuannya sama, menghadirkan pendidikan bagi anak-anak di dalam kawasan hutan. Sebab, secara aturan, pemerintah tidak mungkin mendirikan gedung sekolah di dalam kawasan itu.
"Karena itulah maka bangunan sekolah kecil kelas jauh ini didirikan secara mandiri oleh masyarakat," ujar suami Lilik Hanifah ini.
Pendidikan Khusus
Sekolah kecil kelas jauh ini pun ternyata tidak menjawab persoalan sebab anggaran pembangunan gedung belajar sangat terbatas sehingga layanan pendidikan tidak optimal.
Berbagai kendala yang dihadapi justru menginspirasi pemerintah daerah Kaur mendirikan sekolah negeri berasrama yang disebut Pendidikan Khusus Layanan Khusus (PKLK).
Lulusan Mississippi State University, Amerika Serikat itu membawa gagasan tersebut ke Pemerintah Pusat dan mendapat restu dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Bisa dikatakan program ini yang pertama di Indonesia yaitu sekolah negeri berasrama," imbuhnya.
Kini, empat sekolah negeri berasrama sudah berdiri di Kaur yakni SD Negeri 126 PKLK dan SMP Negeri 36 PKLK di Desa Sinar Pagi Kecamatan Kaur Selatan.
Dua sekolah ini berada di satu gedung berlantai dua dengan jumlah siswa SD sebanyak 45 orang dan siswa SMP sebanyak 60 orang.
Selama proses pendidikan, para pelajar tersebut tinggal di asrama yang dibangun di belakang gedung sekolah.
"Kami menyediakan pengasuh karena beberapa anak masih kecil, terutama anak kelas 1 SD yang belum mandiri mempersiapkan kebutuhan sekolahnya," ungkap Kepala SD dan SMP PKLK, Mustakimah.
Saat libur sekolah kata dia, para siswa diperbolehkan kembali ke pertalangan, tapi tidak sedikit juga orangtua siswa yang berkunjung ke asrama.
Berikutnya SMP Negeri 35 Berasrama yang dibangun di Gedung Sako II yang menerima siswa angkatan pertama pada 2013 dengan jumlah siswa sebanyak 450 orang.
Sistem pendidikan yang diberikan tidak berbeda dengan sekolah reguler, namun di sekolah itu siswa diajarkan berbagai keterampilan antara lain beternak, bertani dan lainnya.
Tidak berhenti di situ, Hermen juga membangun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri berasrama yakni SMK Negeri 7 Technopreneur di Kecamatan Maje yang tahun ini akan menerima siswa angkatan kedua.
Sekolah ini juga menyediakan asrama bagi siswanya dan menyediakan seluruh fasilitas pendidikan secara gratis. Para siswa di SMK ini dibekali pendidikan formal yakni edukatif dan produktif.
"Para pelajar diberi keterampilan mengolah hasil pertanian dan perikanan menjadi berbagai jenis produk yang dipasarkan langsung oleh siswa," tutur Kepala SMK Negeri 7, Japilus.
Untuk mencetak calon ilmuwan, Hermen mendirikan satu lagi sekolah berasrama yang bernama SMA Negeri 10 Pentagon di Kompleks Gedung Sako II Kecamatan Kaur Selatan.
Seleksi masuk sekolah ini cukup ketat. Calon siswa baru yang diseleksi adalah mereka yang mendapat ranking satu hingga tiga di tingkat SMP.
Nama Pentagon disematkan, sebab bangunan sekolah memiliki lima sisi yang melambangkan lima karakter yang membangun peradaban yakni Iman dan Taqwa (Imtaq), Etika, Estetika, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dan Harmoni.
Sekolah ini dilengkapi laboratorium komputer, nanoteknologi, energi, bioteknologi dan robotic dengan pengajar tamu dari Universitas Bengkulu, Universitas Gajah Mada dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Para siswa juga diwajibkan memiliih dua dari empat program ekstrakurikuler yang disediakan yakni nanoteknologi, bioteknologi, energi terbarukan dan robotik.
"Seluruh biaya pendidikan digratiskan tapi siswa harus membayar biaya asrama sebesar Rp1,1 juta per bulan," jelas Kepala SMA Negeri 10 Pentagon, Yeye Hendri.
Pemerintah daerah juga menyediakan beasiswa kuliah ke luar negeri untuk dua orang lulusan terbaik sekolah ini.
Tak sampai di situ, sejak 2012 Pemkab Kaur merilis program "bintang jemput bintang" yakni beasiswa bagi dua orang lulusan terbaik tingkat SMA untuk melanjutkan pendidikan ke berbagai universitas di luar negeri antara lain NewCastle University, Inggris, University of Kentucky di Amerika Serikat dan Universitat Unhalt di Jerman.
Hermen mengatakan anggaran untuk membiayai seluruh terobosan itu hanya mengambil Rp2 miliar dari lebih Rp900 miliar APBD Kabupaten Kaur.
"Tidak terlalu mahal, asalkan ada niat memperbaiki kualitas pendidikan kita," tukas Hermen.