Semarang (ANTARA Sumsel) - "Tang...Tang..." Bunyi alat-alat pertukangan beradu terdengar keras di kawasan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Kariadi Semarang di tengah suasana hening bangsal-bangsal yang dihuni pasien.

Alat berat juga nampak hilir mudik dengan instruksi aba-aba dari sang mandor. Rupanya RS terbesar di Jawa Tengah itu tengah melakukan proses pengembangan dengan membangun fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan baru.

Namun, suasana pengerjaan proyek pengembangan RSUP dr Kariadi pada Minggu (24/6) itu sedikit berbeda karena saat para pekerja mengepras bukit di sisi Barat RS milik pemerintah itu menemukan sebuah bangunan kecil.

Ya, bangunan bermuka oval itu mirip bungker, lubang persembunyian yang lazimnya berada di bawah tanah. Namun, yang ditemukan ini berada di lereng bukit lengkap dengan pintu besi yang sudah lapuk dimakan karat.

Para pekerja segera melapor ke pihak RS dan tak lama setelah itu diinstruksikan pengerjaan proyek di area itu segera dihentikan, sementara pengerjaan di areal-areal yang lain tetap berjalan seperti biasa.

Selang beberapa hari, tepatnya Rabu (27/6) RSUP dr Kariadi melayangkan surat ke Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jateng perihal bangunan mirip bungker yang ditemukan itu karena ada dugaan peninggalan perang.

Kepala Bagian Humas, Hukum, dan Pemasaran RSUP dr Kariadi Semarang dokter Darwito memastikan pengerjaan proyek di areal ditemukannya bangunan mirip bungker itu dihentikan sementara, menunggu kajian dari BP3 Jateng.

"Rencananya, areal ditemukannya bungker itu akan dibangun instalasi pengelolaan air limbah (IPAL). Namun, dengan ditemukannya bangunan ini dihentikan sementara," kata dokter spesialis bedah onkologi itu.

Darwito memastikan bahwa bangunan bungker itu tidak ada dalam denah induk RSUP dr Kariadi yang memiliki areal seluas 21 hektare sehingga muncul dugaan bahwa bungker itu peninggalan perang, apalagi tertimbun bukit.

Tim BP3 Jateng kemudian mengirimkan tim yang bertugas mengumpulkan data lapangan pada Kamis (28/6) untuk memperkuat laporan dari pihak RS, yakni arkeolog Muhammad Junawan didampingi staf bagian publikasi, Iwuk Trika.

Bangunan itu dipotret oleh tim BP3 Jateng pada beberapa sisi, diukur setiap bidangnya, dan disketsa ulang. Tak hanya itu, mandor yang bertugas di areal proyek itu juga dimintai keterangan perihal awal temuan bungker.

Mulyono, mandor "safety" proyek pengembangan RSUP dr Kariadi menceritakan bungker itu ditemukan secara tak sengaja saat alat berat mengepras bukit, dengan kondisi masih tertutup pintu yang termakan karat sangat parah.

Pintu itu hilang tak berbekas hancur bersamaan dengan tumpukan tanah yang digaruk begu, sejenis alat berat saat menggali tanah yang menutupi bangunan. Sebab, kondisi pintu memang hampir hancur karena serangan karat.

"Bagian depan bangunan itu juga terpaksa kami robohkan untuk manuver begu. Kalau tidak dirobohkan, begu susah untuk menyingkirkan tanah yang menutupi bangunan itu," kata Mulyono saat ditanya arkeolog BP3 Jateng Junawan.

Data yang dikumpulkan BP3 Jateng menyebutkan bungker itu memiliki tinggi tiga meter, panjang 4,12 meter, dan lebar sebesar 1,97 meter. Ketebalan dinding 42 centimeter, dengan pintu berketinggian 190 cm dan lebar 76 cm

Ternyata Cagar Budaya
Sepekan lebih setelah BP3 Jateng mengumpulkan data dan melakukan pengkajian akhirnya bungker yang ditemukan di RSUP dr Kariadi itu dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya yang memiliki nilai sejarah sangat penting.

Arkeolog BP3 Jateng Junawan saat dihubungi dari Semarang pada Selasa (10/7) mengatakan hasil kajian menyimpulkan bangunan itu memang bungker peninggalan pemerintah kolonial Belanda sekitar tahun 1939-1945.

"Rentang waktu itu Belanda memang sedang gencar-gencarnya membangun bungker untuk persembunyian dan pengaman objek vital, di tengah isu Perang Dunia II. Dari struktur bentuknya juga mirip bungker Belanda," katanya.

Bungker buatan Belanda, ungkapnya, memiliki ciri khas yang membedakannya dengan bungker Jepang, sebab bungker buatan Negeri Kincir Angin itu didesain dan dirancang secara matang dari aspek struktur bangunannya.

Kalau bungker Belanda, Junawan mengatakan dibuat dengan bangunan baru dan diperhitungkan, mulai dinding, lantai, dan atap, sementara bungker Jepang lebih sederhana dan cenderung memanfaatkan kondisi alam seadanya.

Belanda biasanya membangun bungker di sekitar gedung pemerintahan dan objek vital lainnya sebagai perlindungan sehingga kemungkinan berkaitan erat dengan RSUP dr Kariadi yang dibangun antara tahun 1920-1925.

"Setelah menetapkan bungker itu sebagai cagar budaya, pekerjaan kami selanjutnya adalah meneliti dan mengkaji lebih jauh bungker itu. Apakah bungker itu berdiri sendiri, atau ada bangunan penyertanya," katanya.

Bungker itu ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya karena memiliki nilai penting sebagai pengingat dan penanda peristiwa bersejarah masa Perang Dunia II sehingga harus tetap dijaga kelestariannya.

Dengan ditetapkannya sebagai bangunan cagar budaya, lanjut dia, BP3 Jateng akan memberikan rekomendasi kepada RSUP dr Kariadi untuk menjaga kelestarian bangunan itu, termasuk dari rencana pengembangan RS.

"Kami akan memberikan rekomendasi ke RSUP dr Kariadi Semarang yang menyatakan bahwa bungker itu cagar budaya. Suratnya (rekomendasi, red.) sudah kami siapkan, rencananya dikirim lusa (12/7)," kata Junawan.

Manajemen RSUP dr Kariadi Semarang melalui Kepala Bidang Humas, Hukum, dan Pemasaran dokter Darwito mengatakan akan menghormati rekomendasi BP3 Jateng yang menyatakan status bungker sebagai bangunan cagar budaya.

"Sampai saat ini, kami memang belum menerima surat rekomendasinya. Namun, kalau ternyata bungker itu cagar budaya ya kami hormati dan ikut melestarikan. Pembangunan IPAL bisa dialihkan ke lokasi lain," katanya.

Darwito mengatakan menunggu surat rekomendasi BP3 Jateng perihal status bangunan itu, sekaligus penetapan batas-batas areal yang dinyatakan sebagai cagar budaya sehingga tidak akan terganggu proyek pengembangan.

Proyek pengembangan RSUP dr Kariadi Semarang, meliputi pembangunan Gedung Garuda II, Gedung Rehabilitasi Medik, Gedung Diklat, dan bangunan berlantai tujuh yang akan digunakan untuk perawatan pasien kelas III.

Untuk pengelolaan bangunan cagar budaya itu ke depannya, Darwito mengatakan RSUP dr Kariadi perlu berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait, seperti BP3 Jateng dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang. (ANT-KR-ZLS/Z003)

Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor : Awi
Copyright © ANTARA 2024