Jakarta (ANTARA Sumsel) - Makassar--ibukota provinsi Sulawesi Selatan--menawarkan demikian banyak atraksi yang menarik hati para pelancong.
Tidak hanya wisata kulinernya yang pasti membuat pecinta seafood ngiler, Makassar juga kota yang nyaman untuk konferensi atau seminar.
Wisata lain yang juga pantas dilakoni di Makassar adalah jelajah kota tua, terutama berziarah ke benteng-benteng bersejarah.
Sebagai kota tepi pantai, Makassar memiliki sederetan koleksi benteng pelindung kota dari serangan musuh yang datang dari laut.
Benteng-benteng di Makassar berjumlah sekitar 20 buah dan asli buatan putra putri Nusantara, pada masa kejayaan Kerajaan Gowa (1545-1667).
Benteng utama Kerajaan Gowa adalah Benteng Somba Opu, yang menurut ilmuwan Inggris William Wallace adalah benteng terkuat yang pernah dibangun di Indonesia.
Benteng Induk Somba Opu dilindungi oleh Benteng Kale Gowa, Benteng Panakkukang, Benteng Barombong, Benteng Garassi, Benteng Mangara Bombang, dan Benteng Ana' Gowa--yang sayangnya hari ini telah rata dengan tanah.
Di antara benteng-benteng Kerajaan Gowa tadi, Benteng Ujung Pandang adalah yang paling gagah berdiri dan dapat dinikmati sisa-sisa sejarahnya.
Benteng itu dinamakan Ujung Pandang karena letaknya yang di sebuah tanjung--yang dalam bahasa Makassar disebut 'ujung'--dan pada masa lampau di sekitar benteng terdapat hutan 'pandang' atau pandan.
Selain sebutan Benteng Ujung Pandang, tak jarang benteng ini disebut sebagai Benteng Pannyuwa atau penyu, karena bentuknya yang menyerupai penyu dan menghadap ke Selat Makassar.
Masyarakat Gowa memandang penyu sebagai binatang yang merepresentasikan cita-cita Kerajaan Gowa, yaitu berusia panjang dan berjaya di darat maupun lautan.
Didirikan oleh Raja Gowa IX Daeng Matanre Karang Manguntungi Tumaparisi Kallonna dan diselesaikan oleh raja berikutnya pada tahun 1545 Masehi, Benteng Ujung Pandang berbentuk seperti penyu yang memiliki lima sudut.
Sejak Belanda berhasil menaklukkan Gowa (18 November 1667), benteng ini sajalah yang dibiarkan berdiri kokoh dan dipakai sebagai tempat penyimpanan komoditas jual beli, pemukiman pejabat-pejabat pemerintahan penjajah, dan penjara buat pejuang Nusantara.
Pemberian nama Fort Rotterdam oleh Belanda didasarkan kepada kota kelahiran Cornelis Speelman--yang memimpin Belanda berperang di bumi Makassar.
Salah satu pejuang yang sempat "mencicipi" angkuhnya dinding-dinding tebal benteng ini adalah Pangeran Diponegoro--yang sebelumnya bernama Pangeran Antawiryo--seorang keturunan Raja Yogyakarta.
Belanda dengan liciknya menjebak Pangeran Diponegoro dengan dalih diajak berunding dan memenjarakannya di Manado. Baru pada tahun 1834 Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Benteng Ujung Pandang sampai hari ia meninggal dunia pada 8 Januari 1855.
Khusus napak tilas penjara Pangeran Diponegoro, pengunjung benteng dapat melihat sel penjara yang memiliki dua lengkungan. Satu lengkungan yang tinggi dan besar lengkap dengan jeruji. Satunya lagi adalah lengkungan yang sangat pendek sebagai pintu masuk ke sel.
Orang setempat meyakini pintu masuk yang sangat pendek itu sengaja dijadikan oleh kaum penjajah sebagai simbol agar sang Pangeran--yang konon bertubuh tinggi besar--tunduk dan patuh kepada Belanda. (ANT-E012)
Tidak hanya wisata kulinernya yang pasti membuat pecinta seafood ngiler, Makassar juga kota yang nyaman untuk konferensi atau seminar.
Wisata lain yang juga pantas dilakoni di Makassar adalah jelajah kota tua, terutama berziarah ke benteng-benteng bersejarah.
Sebagai kota tepi pantai, Makassar memiliki sederetan koleksi benteng pelindung kota dari serangan musuh yang datang dari laut.
Benteng-benteng di Makassar berjumlah sekitar 20 buah dan asli buatan putra putri Nusantara, pada masa kejayaan Kerajaan Gowa (1545-1667).
Benteng utama Kerajaan Gowa adalah Benteng Somba Opu, yang menurut ilmuwan Inggris William Wallace adalah benteng terkuat yang pernah dibangun di Indonesia.
Benteng Induk Somba Opu dilindungi oleh Benteng Kale Gowa, Benteng Panakkukang, Benteng Barombong, Benteng Garassi, Benteng Mangara Bombang, dan Benteng Ana' Gowa--yang sayangnya hari ini telah rata dengan tanah.
Di antara benteng-benteng Kerajaan Gowa tadi, Benteng Ujung Pandang adalah yang paling gagah berdiri dan dapat dinikmati sisa-sisa sejarahnya.
Benteng itu dinamakan Ujung Pandang karena letaknya yang di sebuah tanjung--yang dalam bahasa Makassar disebut 'ujung'--dan pada masa lampau di sekitar benteng terdapat hutan 'pandang' atau pandan.
Selain sebutan Benteng Ujung Pandang, tak jarang benteng ini disebut sebagai Benteng Pannyuwa atau penyu, karena bentuknya yang menyerupai penyu dan menghadap ke Selat Makassar.
Masyarakat Gowa memandang penyu sebagai binatang yang merepresentasikan cita-cita Kerajaan Gowa, yaitu berusia panjang dan berjaya di darat maupun lautan.
Didirikan oleh Raja Gowa IX Daeng Matanre Karang Manguntungi Tumaparisi Kallonna dan diselesaikan oleh raja berikutnya pada tahun 1545 Masehi, Benteng Ujung Pandang berbentuk seperti penyu yang memiliki lima sudut.
Sejak Belanda berhasil menaklukkan Gowa (18 November 1667), benteng ini sajalah yang dibiarkan berdiri kokoh dan dipakai sebagai tempat penyimpanan komoditas jual beli, pemukiman pejabat-pejabat pemerintahan penjajah, dan penjara buat pejuang Nusantara.
Pemberian nama Fort Rotterdam oleh Belanda didasarkan kepada kota kelahiran Cornelis Speelman--yang memimpin Belanda berperang di bumi Makassar.
Salah satu pejuang yang sempat "mencicipi" angkuhnya dinding-dinding tebal benteng ini adalah Pangeran Diponegoro--yang sebelumnya bernama Pangeran Antawiryo--seorang keturunan Raja Yogyakarta.
Belanda dengan liciknya menjebak Pangeran Diponegoro dengan dalih diajak berunding dan memenjarakannya di Manado. Baru pada tahun 1834 Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Benteng Ujung Pandang sampai hari ia meninggal dunia pada 8 Januari 1855.
Khusus napak tilas penjara Pangeran Diponegoro, pengunjung benteng dapat melihat sel penjara yang memiliki dua lengkungan. Satu lengkungan yang tinggi dan besar lengkap dengan jeruji. Satunya lagi adalah lengkungan yang sangat pendek sebagai pintu masuk ke sel.
Orang setempat meyakini pintu masuk yang sangat pendek itu sengaja dijadikan oleh kaum penjajah sebagai simbol agar sang Pangeran--yang konon bertubuh tinggi besar--tunduk dan patuh kepada Belanda. (ANT-E012)