Jayapura (ANTARA) - Kementerian Kesehatan RI per Juli 2019 lalu merilis sebanyak 615 rumah sakit dari total 2.170 rumah sakit yang bekerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami turun kelas.

Hal ini terjadi karena rumah sakit yang bersangkutan tidak memenuhi kriteria berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit untuk rumah sakit umum dan Lampiran II Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit untuk rumah sakit khusus yang meliputi kriteria Sumber Daya Manusia (SDM), sarana, prasarana, dan alat kesehatan.

Selama tiga bulan, Kementerian Kesehatan telah memberikan waktu kepada rumah sakit di seluruh Indonesia untuk memperbaharui data rumah sakitnya, sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/373/2019 tentang pedoman peninjauan kelas rumah sakit.

Dalam SK Menkes 373 itu dijelaskan bahwa tujuan peninjauan rumah sakit itu untuk memperoleh gambaran secara riil kemampuan pelayanan rumah sakit, menata peta jalan pelayanan kesehatan di rumah sakit sesuai dengan klasifikasi rumah saki.

Selain itu, untuk memperoleh gambaran sebaran sumber daya manusia (SDM) meliputi dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dokter gigi spesialis, dan dokter subspesialis, tenaga kesehatan lain, dan tenaga non kesehatan, memperoleh gambaran tingkat pemenuhan sarana, prasarana, dan alat kesehatan di rumah sakit, serta untuk memberikan kemudahan dalam pemetaan sistem rujukan nasional.

Di Provinsi Papua, sebanyak 14 rumah sakit turun kelas, terdiri dari tujuh rumah sakit milik pemerintah daerah, lima rumah sakit milik TNI/Polri dan dua rumah sakit milik swasta.

Kepala Dinas Kesehatan Papua drg Aloysius Giyai di Jayapura, Selasa, mengemukakan pada Senin (5/7) pihaknya menggelar pertemuan dengan jajaran direksi dari ke-14 rumah sakit ini di ruang kerjanya.


Ragam masalah

Sejumlah direksi rumah sakit pun satu per satu mengungkapkan alasan utama fasilitas kesehatan yang dipimpinnya mengalami penurunan kelas.

Direktur RSUD Nabire dr. Andreas Pekey, Sp.PD mengatakan alasan rumah sakit yang dipimpinnya turun kelas dari C ke D karena terlambat validasi data.

"Kami kurang update, kurang input data. Padahal, secara SDM, ASPAK kami sangat oke. Kami jamin setelah memperbaiki ini, kelasnya bisa kembali semula," kata dr. Pekey.

Direktur RSUD Wamena dr. Felly Sahureka mengatakan, salah satu penyebab sanksi turunnya kelas yang dialami rumah sakitnya adalah sikap lamban bahkan terkesan malas tahu dari pihak Dinas Kesehatan Jayawaijya dalam melakukan validasi data rumah sakit yang dipimpinnya.

"Data kami sudah update tapi tidak divalidasi oleh Kepala Dinas Kesehatan. Kami mohon Dinas Kesehatan Provinsi dorong agar Kepala Dinas Kabupaten Jayawijaya bisa kooperatif. Ini tugas dan wewenang mereka. Supaya kelas rumah sakit dikembalikan seperti semula," katanya.

Sedangkan, Direktur RSUD Dekai dr. Rachel Madao mengatakan, problem yang dialaminya adalah jaringan. "Kita terlambat update data rumah sakit secara daring (online). Kita di Dekai, jaringan memang kurang bagus sehingga saat update data, petugas rumah sakit kesulitan. Semua ini sistem daring jadi persoalan untuk memperbaharui data saja," katanya.

Menurut Rachel, sesungguhnya pihaknya justru menyiapkan agar RSUD Dekai naik kelas dari kelas D ke kelas C. Sebab baik dari Aplikasi Sarana Prasarana dan Peralatan Kesehatan (ASPAK), Sumber Daya Manusia (SDM) maupun SIMRS, dan RSUD Dekai sudah siap.

"Untuk kelas D, kita sudah lewati persyaratan. Kita sudah punya tujuh dokter spesialis dan 12 dokter umum. Lalu di rawat inap sudah ada 90-an tempat tidur. Target satu minggu waktu sanggah ini kami yakin dapat kembali ke D," ujarnya.

Kasus berbeda dialami RS Marthen Indey. Di rumah sakit milik TNI AD, masalah biaya menjadi kendalanya.

"RS Marthen Indey, alasannya karena kami tidak update data. Data terakhir itu tahun 2017. SIMRS juga baru sedang dibangun, itu juga jadi kendala. Kami ada kendala di TNI, tidak ada dana khusus sementara SIMRS ini mahal. Tahun lalu kami alokasikan hanya Rp 400 juta dan tidak bisa tuntaskan," kata Kepala Rumah Sakit Marthen Indey.


Terlambat perbaharui

Sementara RS Provita memiliki kasus lain. Manajer Penunjang Medis RS Provita drg. Fansca Titaheluw dan Manajer Mutu dan Akreditasi Renny Tatali yang hadir pada pertemuan itu mengakui, rumah sakitnya mengalami turun kelas karena pihaknya terlambat memperbaharui.

"Kami terlambat update data. Nah, masalahnya, batas akhir yang diberikan ini bersamaan dengan batas akhir akreditasi paripurna rumah sakit. Jadinya, akreditasi kita gol tapi malah kelasnya yang turun karena terlambat memutakhirkan data ASPAK dan SDM kami sudahmutakhirkan lengkap dan dokumen peninjauan kelas dan sudah kami serahkan ke dr Ira langsung dari Kemenkes. Jadi sudah tidak ada masalah, tinggal tunggu pengumuman September," katanya.

Turut hadir dalam pertemuan itu Hosen Pasaribu dari Kementerian Kesehatan RI. Ia diundang oleh Dinas Kesehatan Papua untuk menjadi pemateri dalam kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan ASPAK dan SIRS Online di kabupaten/kota di Provinsi Papua.

"Saran saya, bangun sistem kolaborasi di RS dengan Dinkes Kabupaten. Buatkan saja surat pernyataan jika Dinkes tidak sanggup, ya, ambil alih validasi. Yang penting ada saksi karena waktu tinggal satu minggu. Bagi rumah sakit yang masih kurang secara SDM, terutama dokter spesialis, buatlah pendekatan dan segera lakukan MoU dengan rumah sakit terdekat," kata dia.*

Baca juga: Kemenkes: Pengawasan rumah sakit makin ketat di era JKN

Baca juga: Kemenkes rekomendasi 21 rumah sakit di Aceh turun kelas

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019