Surabaya (ANTARA) - Pendiri Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengatakan saat ini Indonesia butuh aturan perlindungan anak dalam pariwisata, karena anak-anak banyak terlibat di dunia tersebut namun tidak mempunyai perlindungan.

"Pariwisata kita saat ini memang lagi booming dan menghasilkan banyak devisa, namun belum berfikir pada dampak buruk, salah satunya keterlibatan anak dalam dunia tersebut, sehingga harus ada kebijakan langsung perlindungan anak," kata Yuliati di Surabaya, Selasa.

Yuliati dalam acara diskusi "Human Trafficking Among the Vulnarable" yang digelar Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya mengatakan, undang-undang perlindungan anak yang ada saat ini tidak secara detail menyebut bagaimana pencegahan anak di sektor pariwisata.

Baca juga: Kak Seto: Seksi perlindungan anak seharusnya dibentuk sampai RT

Bahkan, kata dia, di sejumlah sekolah dan fasilitas umum di Indonesia juga belum memberikan perlindungan anak karena hal itu dianggap lewat, hal ini membuat anak-anak menjadi korban.

Yuliati mencontohkan beberapa kasus telah ditemukan seperti pada parisiwata Bali yang membuat anak-anak tereksploitasi secara seksual, hal ini terjadi karena lemahnya pemahaman masyarakat dan belum adanya penegakan hukum yang jelas.

"Bahkan karena kurang pahamnnya orang tua, anak secara tidak langsung sengaja dipekerjakan kepada wistawan asing yang tidak tahu asal dan identitasnya, hal ini sangat rawan terjadi eksploitasi seksual," tutur aktivis yang peduli terhadap masalah perempuan terpinggrirkan ini.

Baca juga: Kak Seto: Upaya perlindungan anak perlu pemberdayaan masyarakat

Proses terjadinya eksploitasi, kata dia, diawali dari proses transaksi melalui berbagai cara, salah satunya merawat kepercayaan anak melalui pemberian perhatian khusus, kemudian perkenalan lewat dunia maya yang berujung pada pesta di tempat hiburan atau wisata.

"Kalau tidak segera dibuat perlindungan, ke depan akan merugikan indonesia sendiri, sebab akan ada pelarangan dari dunia internasional karena tidak melindungi anak, sebab beberapa negara Internasional juga telah membuat dan memilik perlindungan tersebut," katanya.

Pendiri Desa Migran, Maizidah Salas yang juga menjadi narasumber dalam diskusi itu mengaku banyak cara negara asing melakukan eksploitasi terhadap perempuan Indonesia selain melalui pariwisata, salah satunya menjadikannya tenaga kerja wanita (TKW) untuk dikirim ke berbagai negara.

Baca juga: Kak Seto: Perlu sinergitas lindungi anak

Salas yang juga mantan pekerja migran dan selamat dari upaya perdagangan manusia itu mengatakan, banyak pekerja migran perempuan Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia namun jarang berani melapor karena takut kepada agen yang mengirim ke negara asing.

"Mereka saat hendak akan dikirim ke negara tujuan tidak diperkenankan para agen membawa telepon genggam atau bahkan mencatatnya saja nomor telepon keluarga tidak boleh. Dan ketika sampai di negara tujuan, paspor mereka disita dan tidak diperkankan dibawah ke tempat kerja," katanya.

Sementara itu, Konsul Jenderal AS Mark McGovern mengatakan Indonesia adalah bagian dari masyarakat global, dan sangat perlu aturan perlindungan anak dalam dunia pariwisata serta melindungi anak dari upaya perdagangan manusia.

"Kami juga masyarakat Amerika sangat peduli dengan Indoensia, karena perdagangan manusia adalah masalah global, dan Indonesia serta Amerika menjadi bagian dari itu," katanya.

Pewarta: A Malik Ibrahim
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019