Jakarta (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mempertanyakan kelanjutan program perhutanan sosial di lahan gambut yang hingga semester pertama 2019 masih terdapat 237.472 hektare (ha) usulan belum mendapat kejelasan.

Manajer Kajian Kebijakan Ekskutif Nasional Walhi Boy Jerry Even Sembiring dalam diskusi Perhutanan Sosial di Lahan Gambut Mau dibawa kemana? di Jakarta, Selasa, mengatakan jika mengacu pada definisi Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 maka program perhutanan sosial seharusnya termasuk di dalamnya.

Definisi pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor3 tahun 2016 menyebutkan di mana Program Strategi Nasional merupakan progaram yang dilaksanakan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah,

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mempertanyakan kelanjutan program perhutanan sosial di lahan gambut yang hingga semester pertama 2019 masih terdapat 237.472 hektare (ha) usulan belum mendapat kejelasan.

Dalam Pasal 1 angka 1 Permen LHK Nomor P.83/MenLHK/Setjen/KUM.1/2016 tentang Perhutanan Sosial menyebutkan bahwa perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak atau hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan.

Dengan demikian konsekuensinya, Boy mengatakan pemerintah melakukan percepatan pelaksanaan proyek serta memangkas beberapa kendala regulasi yang menjadi faktor penghambat pelaksanaan program perhutanan sosial yang dijalankan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga dapat dipangkas.

Sejumlah kendala seperti belum adanya peraturan menteri (permen) terkait program perhutanan sosial khusus di lahan gambut untuk mengatur model dan skema perhutanan sosial di eksosistem gambut, menurut dia, harus segera dipecahkan. Permen tersebut untuk memberikan kepastian hukum wilayah kelola rakyat di wilayah gambut.

Akiat (45), salah seorang warga Desa Kepaubaru, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, mengatakan 35 Kepala Keluarga (KK) dari desanya telah mengusulkan Hutan Kemasyarakatan seluas 4.850 ha ke KLHK sejak 2014. Hingga saat ini belum ada kelanjutan dari pemerintah.

Menurut Akiat, warga Desa Kepaubaru merupakan Suku Akit yang sudah tinggal di lahan gambut di wilayah yang ditinggalinya sekarang secara turun-temurun bahkan sebelum warga Desa Sungai Tohor hadir. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2015 yang terjadi di wilayah gambut Sungai Tohor juga terjadi di desanya dan menghabiskan hutan sagu yang mereka budidayakan.

"Semua habis dalam hitungan dua hari satu malam. Api datang dari arah perusahaan," kata Akiat.

Namun demikian berdasarkan pendataan Walhi, Ketua Tim Adhoc Politik Keadilan Ekologis Walhi Khalisah Khalid mengatakan hingga saat ini baru dua SK Menteri LHK untuk perhutanan sosial khusus di wilayah gambut yang diberikan. Salah satunya untuk Desa Sungai Tohor di Riau dan Desa Buntoi di Kalimantan Tengah.

"Masih tertatih capaiannya. Baru dua izin dikeluarkan di gambut, di Sungai Tohor, Riau dan di Buntoi, Kalteng. Pemerintahan periode 2014-2019 masih berjalan hingga Oktober, kita ingin tahu apakah perhutanan sosial ini akan dilanjutkan atau tidak sebagai bagian penyelesaian konflik," ujar dia.

Baca juga: Potret pengelolaan hutan tanaman rakyat di Lubuk Seberuk

Baca juga: Walhi harapkan pemerintah maksimalkan perhutanan sosial

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019