Yogyakarta (ANTARA) - Indonesia dan Australia memperkuat dan memperluas kerja sama bilateral bidang lingkungan dan penanggulangan perubahan iklim menjelang pelaksanaan Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-25 (COP25) di Santiago, Chile, pada November 2019.

Pertemuan bilateral yang membahas penguatan kerja sama tersebut dilakukan Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPI KLHK) Ruandha Agung Sugardiman selaku pimpinan Delegasi Republik Indonesia (Delri) dengan Ambasador untuk Lingkungan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia Patrick Suckling di akhir negosiasi minggu pertama forum Bonn Climate Change Conference (BCCC) di Bonn, Jerman.

Dalam keterangan tertulis diterima di Yogyakarta, Kamis, Ruandha mengatakan kedua belah pihak sepakat untuk meningkatkan dan memperluas kerja sama di bidang lingkungan hidup dan perubahan iklim. Penguatan kerja sama akan dibentuk dalam payung nota kesepahaman terkait isu-isu lahan gambut, karbon biru dan kelautan.

Dalam pertemuan itu Ruandha juga menyampaikan perihal pendanaan Deskripsi Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC). Pendanaan harus seimbang antara mitigasi dan adaptasi.

Selama ini pendanaan untuk mitigasi lebih dominan dibandingkan untuk adaptasi perubahan iklim. Padahal, ia mengatakan ke depan adaptasi perubahan iklim menjadi satu hal yang sangat penting untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim yang semakin nyata.

Isu yang juga dibahas pada pertemuan bilateral tersebut mengenai pandangan Australia dan Indonesia terkait dengan alotnya negosiasi artikel 6 dalam Paris Agreement untuk memastikan kesepakatan iklim tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

Menurut Suckling, apabila negosiasi dan keputusan artikel 6 tersebut tidak dapat diselesaikan sebelum 2020 tentu akan menjadi ganjalan para anggota di COP25 Santiago de Chile akhir tahun 2019. Hal tersebut dapat menjadikan pasar bebas akan menentukan jalannya sendiri dan menjadi hal yang sangat krusial dan belum bisa diprediksi oleh negara-negara anggota.

Suckling juga menyoroti ketidakseimbangan antara pendanaan utama dan pendanaan tambahan dimana pertumbuhan dana tambahan berjalan jauh lebih cepat dibandingkan dengan dana utama.

Ini, menurut dia, akan berakibat terhadap mekanisme finansial di UNFCCC semakin sulit. Negara-negara donor mengharapkan adanya penguatan di dana utama.


Baca juga: Forum perubahan iklim siapkan pelaku lingkungan ke Polandia

Baca juga: PBB puji kinerja Indonesia melindungi laut


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019