Tingginya konflik antara satwa liar, terkhusus gajah dengan manusia serta jumlah gajah yang dibunuh semakin banyak, maka menjadikan sejumlah pihak terkait untuk mendirikan Conservation Response Unit (CRU).

Di Aceh, tempat pertama yang disepakati untuk mendirikan CRU pertama kali adalah Kabupaten Aceh Jaya, tepatnya CRU Sampoiniet ini, karena lokasinya rentan terjadinya konflik antara satwa dan manusia.

CRU Sampoiniet resmi berdiri Juli 2018. Empat individu gajah jinak didatangkan dari Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Saree, Kabupaten Aceh Besar ke CRU yang letaknya berbatasan langsung antara kebun masyarakat dengan hutan itu.

Penanganan konflik dan menggiring gajah liar menjauh dari kebun warga mulai rutin dilakukan.

Namun demikian, aktivitas di CRU Sampoiniet sempat terhenti pada tahun 2012. Ketika satu individu gajah liar ditemukan mati terbunuh di Kecamatan Sampoiniet, dan menimbulkan permasalahan antara petugas CRU dan juga masyarakat setempat, bahkan Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) memutuskan untuk mengembalikan gajah jinak yang ada di CRU ke PLG Saree.

Terhentinya aktivitas yang ada di CRU justru menyebabkan konflik gajah dengan manusia kembali terjadi, masyarakat tidak dapat berkebun karena petugas yang biasanya melakukan penggiringan sudah tidak ada, sehingga pada 28 Maret 2016 CRU Sampoiniet kembali diaktifkan.

Salah satu warga di Desa Ie Jeurangeh, Zahlul Akbar yang kerap menghabiskan waktunya di CRU Sampoiniet mengatakan, adanya CRU Sampoiniet sangat membantu masyarakat, karena letak perkampungan warga berdampingan langsung dengan hutan, maka konflik satwa dengan manusia rentan terjadi di tempat ini.

"Adanya CRU jelas membantu masyarakat di sini, karena sebelum adanya CRU ini masyarakat sering terlibat konflik dengan satwa. Kalau ada CRU ada yang menggiring satwa-satwa liar yang ada di sekitar sini," katanya.

Selain itu, menurutnya CRU menjadi alat pemberdayaan perekonomian masyarakat pinggir hutan yang berkawasan konservasi. Karena dengan adanya CRU yang kemudian menjadi ekowisata satwa, semakin meningkatkan kunjungan ke daerah yang berdampingan dengan CRU.

"Sekarang semakin banyak orang yang berkunjung ke sini. Mulai dari yang mau interaksi langsung dengan gajah, atau mahasiswa yang melakukan penelitian, belajar dan lain-lain. Efeknya sangat bagus untuk masyarakat juga. Misalnya, masyarakat bisa berjualan, karena di CRU nggak ada pedagang kuliner. Otomatis pengunjung sebelum ke sini singgah dulu untuk bawa bekal," kata dia.

Ekowisata satwa

CRU juga sebagai sentra pengembangan kapasitas masyarakat dan konservasi di tingkat umum. Konsep pengembangan CRU yang dilengkapai dengan fasilitas "basecamp" sebagai basis bagi masyarakat dan penggiat konservasi lokal untuk berkumpul dan mengembangkan berbagai kegiatan.

Fazil, yang merupakan salah satu mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Konservasi Fauna Kedokteran Hewan (KOFAKAHA) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh dan rekan UKM nya juga baru saja melakukan kegiatan di CRU ini.

Ia menceritakan, kegiatan yang dilakukan oleh UKM-nya adalah kegiatan yang berbentuk "fieldtrip", di mana metode itu merupakan cara belajar mengajar yang dilaksanakan dengan mengajak mahasiswa ke tempat atau objek yang bersangkutan dengan materi pembelajaran.

Ia dan rekannya memilih CRU sebagai tempat kegiatan mereka karena dirasa tepat dengan tujuan mereka untuk melakukan pendekatan dan mempelajari lebih lanjut dengan satwa yang ada di sini.

Fazil yang juga merupakan runner-up duta peduli rimba Aceh tahun 2015 mengatakan, menurutnya gajah adalah satwa liar yang harus dilindungi, mengingat populasinya yang semakin menurun, selain itu gajah juga termasuk hewan yang status konservasinya kritis (Critically Endangered) yang dikeluarkan oleh lembaga konservasi dunia International Union for Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN).

"Gajah sumatera adalah hewan endemic yang dimiliki oleh negara Indonesia dan tidak dimiliki oleh negara lain dan tentunya harus kita dilindungi," katanya.

Ia juga menjelaskan bahwa sebenarnya keberadaan gajah sumatera memiliki banyak manfaat untuk alam dan juga untuk manusia.

Gajah adalah penyeimbang ekosistem di alam bebas. Dapat juga diibaratkan dengan spesies payung (umbrella species). Disebut sebagai spesies payung, karena gajah merupakan hewan yang memiliki daerah jelajah sangat luas.

"Setiap lintasan hutan yang dilalui oleh gajah, akan subur, karena kotoran gajah juga sangat bagus jika dijadikan pupuk. Jika hutan yang dilewati oleh gajah terjaga, maka hewan yang ada di dalamnya juga otomatis akan terjaga," jelasnya.

Ia menambahkan, selain berfungsi sebagai penengah konflik antara gajah dengan manusia, CRU juga berfungsi untuk mengedukasi masyarakat tentang manfaat dari adanya gajah, sehingga gajah tersebut harus dilindungi.

Untuk mahasiswa kedokteran hewan sendiri, adanya CRU menjadi sangat penting.

"Adanya CRU sangat penting bagi kami mahasiswa kedokteran hewan, karena akan memudahkan kami mempelajari bagaimana cara melakukan pendekatan dengan gajah. Karena tentu jauh berbeda dengan mengobati manusia yang memiliki akal," jelasnya.

Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa gajah merupakan salah satu hewan yang memiliki daya ingat yang kuat serta daya jelajah yang luas. Hal ini menjadi alasan mengapa ada gajah yang kemudian masuk ke perkampungan warga. Mengingat semakin banyaknya populasi manusia tentu semakin meningkat pula tempat-tempat yang kemudian dijadikan permukiman.

"Mungkin perkampungan yang sekarang ini, dulunya adalah tempat lintasan gajah, sehingga mereka masih ingat, dan kembali lagi ke lintasan tersebut. Namun, ketika gajah ini kembali ternyata sudah dijadikan perkampungan. Itulah mengapa terjadi konflik dengan manusia, maka dari itu diperlukan CRU yang berdampingan dengan perkampungan dan juga hutan," tambahnya.

Kehadiran CRU selain untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan gajah juga menjadi ekowisata satwa serta edukasi.

Baca juga: Konflik Satwa dan Manusia di Aceh Jaya
Baca juga: Lampung tindaklanjuti penyelesaian konflik manusia dan gajah



 

Pewarta: Heru Dwi Suryatmojo
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019