Jakarta (ANTARA News) - Pencemaran sungai dan danau kini banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Beragam cara dan upaya telah dilakukan tetapi persoalan tersebut tampaknya masih menjadi persoalan serius.
   
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga menghadapinya. Pada 13 sungai yang mengalir di wilayah Jakarta umumnya pencemaran secara kasat mata terjadi akibat limbah perkantoran, industri dan rumah tangga.     
   
Tak perlu teknologi pun adanya persoalan pada air di sungai di Jakarta dan juga di berbagai kota lainnya, tercemarnya sebuah sungai atau danau bisa secara kasat mata terlihat. Air yang keruh dan bahkan hitam sudah lebih dari cukup untuk menilai bahwa air itu tercemar.
   
Apalagi umumnya pencemaran itu disertai bau tak sedap. Kalau meluap, air sungai itu bukan hanya bau tetapi juga kotor.
   
Yang lebih memprihatinkan, sungai-sungai di DKI tidak saja tercemar akibat limbah cair buangan dari rumah tangga, industri dan perkantoran. Sampah plastik telah cukup lama menjadi persoalan aliran 13 sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta di Jakarta Utara.  
   
Tetapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diyakini tidak tinggal diam terhadap persoalan itu. Salah satunya adalah dengan menguji coba penggunaan tanaman eceng gondok untuk menjernihkan air yang tercemar. 
   
Eceng gondok dengan nama Latin "Eichhornia crassipes" merupakan tumbuhan mengapung yang banyak tumbuh di sungai, rawa-rawa dan danau. Tumbuhan liar ini memiliki perkembangan cepat, ekspansif  dan mampu tumbuh di air yang keruh atau kotor.
   
Entah bagaimana sejarah dan apa alasan yang menjadi latar belakang pemberian nama "eceng gondok" atas tumbuhan ini di Indonesia. Yang pasti, tanaman ini bukan tumbuhan asli nusantara.
   
Sebuah catatan menyebutkan bahwa eceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius. Dia adalah seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 menemukan tumbuhan ini ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil.
   
Data sejarah dan informasi mengenai eceng gondok baru sampai pada tahap itu. Entah bagaimana awal mulanya tumbuhan ini bisa begitu banyak dan tersebar di Indonesia. 

Baca juga: Indonesia tularkan ilmu olah eceng gondok ke Mesir
Laboratorium Lingkungan Hidup Daerah (LLHD) Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta pada pengujian sampel air saringan tanaman eceng gondok yang berada di saluran penghubung Inlet 3 Waduk Sunter Utara, Jakarta Utara, Senin (7/1/2019). Petugas memeriksa dua parameter pengukuran kualitas air. (ANTARA News/Devi Nindy)


Dua Sisi

Selama ini, eceng gondok dipandang dalam dua sisi. Pertama, pertumbuhannya yang cepat menyebabkan genangan atau wilayah perairan menjadi cepat tertutup. Karena itu, eceng gondok kadang dipandang sebagai tanaman pengganggu atau gulma.
   
Tanaman ini juga dipandang mengganggu aliran air dan mengakibatkan pendangkalan karena busuknya seluruh batang yang kemudian mengendap di dasar air. 
   
Kalau dikatakan mengganggu aliran air sebenarnya karena komposisi air yang mengalir sering disertai sampah. Sampah yang mengalir termasuk plastik "menabrak" tumbuhan eceng gondok sehingga aliran air tersendat.
   
Karena itu, sebenarnya tersendatnya aliran air bukan semata-mata karena eceng gondok tetapi karena adanya sampah. Hal ini karena sifat eceng gondok yang mengapung dan mampu mengadaptasi ketinggian air. 
   
Namun pertumbuhannya yang cepat mengakibatkan permukaan air tertutup sehingga menghalangi sinar matahari menjangkau dasar perairan. Akibatnya, kandungan oksigen di air yang ditumbuhi eceng gondok dinilai tidak memadai untuk pertumbuhan ikan.
     
Sebaliknya, kondisi itu memacu pertumbuhan nyamuk. Sedangkan pendangkalan yang terjadi akibat batang-batang eceng gondok yang busuk dan juga surutnya air akibat penyerapan yang cepat untuk pertumbuhan tanaman ini. 
   
Kedua, keberadaannya yang mengapung memiliki akar yang langsung ke air menyerap sumber-sumber pertumbuhan. Air yang kotor justru menjadi potensi yang baik bagi eceng gondok untuk tumbuh.
   
Tanaman inipun dipandang memiliki kemampuan menyerap polutan dan bahan-bahan kimia dari limbah industri, perkantoran dan rumah tangga yang larut di dalam aliran air. Bahan polutan dan zat kimia dalam limbah itu berasal dari sisa produksi, aktivitas rumah tangga dan aktivitas perkantoran seperti beragam sabun, pembersih dan detergen.
   
Limbah itu mengalir ke got atau drainase yang selanjutnya masuk saluran-saluran (tali) air. Lama-kelamaan aliran di got atau drainase menjadi bau, menimbulkan gatal dan iritasi kulit serta berwarna hitam.
   
Seperti itulah kondisi sungai-sungai yang melintasi Kota Metropolitan Jakarta. Tetapi sekali lagi diyakini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak membiarkan kondisi itu.

Baca juga: Eceng Gondok bisa diubah jadi bahan bakar
Petugas UPK Badan Air menanam eceng gondok (Eichhornia crassipes) di atas aliran Kali Inlet 3 di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (4/12/2018). Pemerintah Kota Jakarta Utara melakukan uji coba pemanfaatan eceng gondok untuk naturalisasi Kali Inlet 3 karena dianggap mampu menyerap partikel-partikel, membuat air menjadi jernih, dan memperbaiki kualitas air. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc. 

Uji Coba

Upaya menggunakan eceng gondok untuk mengatasi pencemaran sungai dipandang sederhana, namun diperkirakan akan mampu mengatasi persoalan tercemarnya air sungai. Kini DKI sedang menguji coba pengembangan eceng gondok di beberapa lokasi sebagai penyaring polutan dan bahan kimia di air sungai-sungai tersebut.     
   
Salah satunya di di Waduk Sunter Utara. Arah yang akan dituju dari uji coba ini adalah air menjadi lebih bersih dari bahan kimia dan polutan yang mencemari sungai dan waduk.
   
Walaupun ada juga yang meragukan karena belum pernah ada sebelumnya, namun tampaknya DKI serius melakukan hal itu. Keraguan itu juga didasarkan pengalaman daerah lain.
   
Salah satunya adalah eceng gondok di Rawa Pening, Semarang, Jawa Tengah. Di rawa ini, pertumbuhan eceng gondok sempat tak terkendali sehingga justru merusak potensi pengembangan wisata.
   
Kemudian dilakukan revitalisasi dan normalisasi sehingga bersih dari eceng gondok. Persoalan sebenarnya bukan pada peran eceng gondok untuk membersihkan polutan dan bahan kimia, tetapi pada pengendalian pertumbuhannya sehingga terkesan justru menjadi gulma yang merusak rawa itu.
   
DKI tampaknya tetap menilai eceng gondok adalah tanaman yang potensial untuk dikembangkan guna mengatasi pencemaran sungai. Maka dimulailah uji coba itu pada pekan pertama Desember 2018.
   
Sisi negatif eceng gondok diyakini bisa diatasi dengan langkah-langkah pengendalian. Dengan demikan, uji coba ini diarahkan untuk mencari dan menguji manfaat eceng gondok.
   
Misalnya, eceng gondok tidak dibiarkan tumbuh sembarang pada semua sisi sungai dan waduk, namun dipasang pembatas agar tidak tumbuh tanpa terkendali. Mungkin seperti penangkaran; ada lokasi dengan ukuran tertentu yang sengaja disediakan agar eceng gondok bisa tumbuh, namun pertumbuhannya tetap dalam pengendalian.
     
Kalau tanpa kemampuan mengendalikan pertumbuhannya, yang terjadi seperti di beberapa daerah. Yakni tertutupnya permukaan rawa, sungai, waduk dan danau akibat eceng gondok.
   
Ini karena eceng gondok cepat sekali pertumbuhannya sehingga dalam waktu tidak terlalu lama bisa menutup permukaan air. DKI berusaha untuk mampu mengendalikan invasi dan ekspansi tumbuhan ini sambil menemukan cara yang tepat untuk mengatasi pencemaran air sungai dan waduk.     
   
Beberapa hari lalu, petugas dari Laboratorium Lingkungan Hidup Daerah (LLHD) Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta melakukan uji air saringan tanaman eceng gondok pertama yang berada di saluran penghubung Inlet 3 Waduk Sunter Utara. Lokasi ini merupakan tempat uji coba dari beberapa yang sudah direncanakan. 
   
Menurut Ketua Satuan Pelaksana Unit Pelaksana Kerja Badan Air Jakarta Utara Lambas Sigalingging, pengujian terhadap air di kawasan tersebut untuk melihat kualitas air setelah sebulan ditanami eceng gondok. Kegiatan ini bekerjasama dengan LLHD untuk menguji kualitas air setelah ditanam eceng gondok. 
     
Dari penanaman eceng gondok selama sebulan, kemudian airnya diuji di laboratorium sehingga akan diperoleh data mengenai kualitas air yang dihasilkan. Diharapkan dua minggu yang akan datang diketahui hasilnya 
   
Pengujian tersebut akan dilakukan berkala, yakni sebulan sekali selama tiga periode setelah penanaman eceng gondok yang dilakukan mulai 7 Desember 2018. 
Secara kasat mata, tampak ada perubahan cukup signifikan pada perairan di kawasan tersebut. Yang semula memiliki bau tak sedap dan menyengat, menjadi tidak berbau sama sekali.
   
Selain bau itu sudah tidak ada, secara kasat mata juga bisa dilihat awal air di sana, yakni ada perubahan yang sangat signifikan. Air terlihat lebih  jernih.
   
LLHD Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengambil sampel air di tiga titik, yakni titik awal hulu, titik saringan eceng gondok pertama dan titik terakhir saringan eceng gondok seluas 40x11 meter. Hal tersebut dimaksudkan untuk memantau seberapa luas jangkauan eceng gondok dapat menyaring kandungan polutan pada limbah di air kali itu.
   
Contoh air di tiga titik itu diambil dan diuji secara sederhana dengan water checker. Selanjutnya diuji kembali selama kurang lebih 14 hari di laboratorium. Hasil pengujian tersebut akan dijadikan bahan untuk upaya penjernihan air yang akan diterapkan di beberapa kali di Jakarta, termasuk rencana penerapan di Kali Sentiong. 

Baca juga: Eceng Gondok bisa diubah jadi bahan bakar
Laboratorium Lingkungan Hidup Daerah (LLHD) Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta melakukan uji hasil air saringan tanaman eceng gondok pertama yang berada di saluran penghubung Inlet 3 Waduk Sunter Utara laboratorium, Senin (7/1/2019). (ANTARA News/Devi Nindy)


Dua Parameter

Pada pengujian ini sampel air saringan tanaman eceng gondok di saluran penghubung Inlet 3 Waduk Sunter Utara, Jakarta Utara, LLHD DKI memeriksa dua parameter penting pengukuran kualitas air. Pengujian melalui laboratorium akan diperoleh detil kualitas air yang dihasilkan dari uji coba ini.
   
Staf Analisis Mikrobiologi LLHD Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Anita Andriyani menjelaskan, pengukuran secara kimia dan mikrobiologi diperlukan untuk melihat kinerja eceng gondok pada aliran air di kawasan itu. Prosesnya, diambil air yang diukur kimia dan mikrobiologinya.
   
Yakni ,pada insitu seperti oksigen terlarut, temperatur, tingkat keasaman dan salinitas. Parameter BOD (Kebutuhan Oksigen Biologi) juga  harus diuji di laboratorium.
   
Pemeriksaan tersebut juga termasuk pada pengukuran debit air, yang diketahui rupanya alirannya sangat rendah sehingga alirannya lambat. Pengujian dilakukan dengan mengambil sampel dua liter air untuk parameter kimia dan satu botol air berisi 100 mililiter untuk pengukuran secara mikrobiologi. 
   
Anita menyebutkan ada sedikit perubahan kualitas air dari hasil air saringan eceng gondok dibanding pada hari-hari pertama penanaman. Ada perubahan tetapi sedikit, signifikan hanya dari pengecekan mikrobiologi, ujar dia.
   
Meski begitu, belum bisa diindikasikan perubahan signifikan dari kualitas air jika hanya melakukan pengecekan di lapangan. Perlu beberapa kali uji laboratorium sehingga bisa diketahui pengaruh eceng gondok pada air di saluran penghubung Inlet 3 Waduk Sunter Utara. 
   
Proses uji coba dan pengujian masih berlangsung. Kalau ini berhasil yang dibuktikan dengan hasil laboratorium, maka bisa dipastikan bahwa eceng gondok benar-benar dapat dijadikan media untuk menjernihkan air yang tercemar.
   
Ke depan, jika hasil lab itu diterapkan dalam skala lebih luas kemudian berhasil, maka DKI bisa menjadi percontohan bagi daerah lain terkait penanganan pencemaran sungai, danau dan rawa-rawa dengan cara yang sederhana, yakni mengembangkan eceng gondok dengan pengendalian ketat agar tidak justru menjadi gulma.     
   
Di samping pencontohan bagi pemerintah daerah lain, keberhasilan itu akan menambah khazanah bagi dunia pendidikan dan menjadi objek wisata edukasi.
   
Kalau air yang mengalir di sungai bisa bebas dari bahan kimia yang mencemari, maka akan banyak planton yang bisa tumbuh. Tumbuhnya planton adalah sinyal bagi beragam jenis ikan-ikan dan udang untuk bisa hidup.
   
Kalau ikan bisa hidup dan berkembang baik di sungai atau waduk, maka potensi di masa mendatang yang bisa dikelola adalah wisata memancing.

Baca juga: Ganjar Pranowo harap eceng gondok Rawa Pening dimanfaatkan

Baca juga: Enceng gondok sebagai bahan pakan ikan alternatif

Baca juga: 17 orang dievakuasi karena terjebak eceng gondok

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019