Jakarta (ANTARA News) - Pemeriksaan hormon di urine merupakan salah satu cara yang lebih mudah dan murah untuk mendukung diagnosis kekurangan enzim 5 alfa-reduktase tipe 2 (5AR2) yang menyebabkan kelamin ambigu dalam perkembangan sistem reproduksi menurut peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Dr. dr. Nanis Sacharina Marzuki Sp.A(K).

Menurut hasil penelitian Nanis, hasil pemeriksaan hormon di urine pasien yang diduga mengalami kekurangan enzim 5AR2 dan salah satu keluarga dekatnya dapat digunakan untuk secara cepat dan akurat mendeteksi kondisi kelainan genetik yang menyebabkan gangguan perkembangan sistem reproduksi sehingga pasien dapat terdiagnosis lebih dini. 

"Dan yang lebih penting tersedia di Indonesia," katanya kepada wartawan di Lembaga Eijkman, Jakarta, Kamis.

Nanis mengatakan selama ini diagnosis kondisi kekurangan enzim 5AR2 dilakukan melalui pemeriksaan hormon DHT di luar negeri yang berbiaya mahal dan memakan waktu karena di Indonesia layanan pemeriksaan itu belum tersedia.

Sekarang, kekurangan enzim 5AR2 dapat diketahui secara mudah dan dengan biaya lebih terjangkau melalui pemeriksaan hormon di urine, yang dapat dilakukan di laboratorium kesehatan daerah Jakarta. 

Metode tersebut dapat menggantikan pemeriksaan hormon darah dalam mendeteksi kondisi kekurangan enzim 5AR2 sebagai penunjang diagnosis awal. 

"Apabila salah satu pasien atau keluarga dekatnya, bisa ibu, ayah atau saudara kandungnya, dianggap positif (kekurangan enzim 5AR2), maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan analisis DNA untuk memastikan diagnosis," jelas Nanis. 

Ia menjelaskan kekurangan enzim 5AR2 menyebabkan gangguan perkembangan sistem reproduksi (Disorders of Sex Development/DSD), yang mana tanda seks primer dan sekunder tidak berkembang sebagaimana seharusnya. 

Masalah kelamin ambigu terlihat dari tidak jelasnya alat kelamin luar yang menandakan bayi perempuan atau laki-laki. 

Ada yang terlihat seperti alat kelamin perempuan tetapi ternyata benjolan di lipatan paha atau di bibir kelaminnya, atau klitoris terlihat lebih besar daripada umumnya bayi perempuan sehingga menyerupai penis. 

Baca juga: Peneliti ungkap penyebab gangguan perkembangan seksual

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019