Jakarta (ANTARA News) - Peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Dr Nanis Sacharina Marzuki Sp.A(K) mengungkapkan bahwa penyebab gangguan perkembangan sistem reproduksi (Disorders of Sex Development/DSD) salah satunya kelainan genetik akibat kelainan pada enzim 5alfa-reduktase tipe 2 (5AR2) yang berfungsi mengubah testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT). 

Dihidrotestosteron (DHT) merupakan androgen yang sepuluh kali lipat lebih kuat daripada testosteron dan berperan penting dalam pembentukan alat kelamin luar dan prostat janin laki-laki. 

"Tidak jarang ditemukan adanya kelainan dalam perkembangan seksual, misalnya ada yang lahir dianggap perempuan sehingga dididik dan dibesarkan sebagai perempuan tapi ketika beranjak pubertas, pada saat remaja mulai muncul tanda laki-laki seperti suara tambah berat, muncul jakun, dan rambut tumbuh di dada," kata Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio kepada wartawan di Lembaga Eijkman, Jakarta, Kamis. 

Amin berharap hasil riset peneliti Eijkman memberikan mendapatkan informasi yang lebih baik tentang DSD dan latar belakangnya kepada masyarakat sehingga mereka dapat melakukan deteksi dini untuk mengetahui kemungkinan adanya kelainan enzim 5AR2.

Harapannya, dengan pengetahuan lebih luas tentang DSD masyarakat bisa memberikan perlakuan lebih tepat terhadap individu yang mengalaminya sehingga tidak menganggu perkembangan fisik dan psikoligis individu tersebut karena kemudian jenis kelaminnya disesuaikan dengan kelamin individu secara genetik.

Kelamin Ambigu

Dalam disertasi berjudul "46,XY Disorders of Sex Development dengan Penyebab Defisiensi 5 Alfa-Reduktase Tipe 2 di Indonesia: Pola Mutasi, Hubungan Genotipe-Fenotipe, Akurasi Rasio Testosteron/Dihidrotestosteron dan Rasio Etiokolanolon/Androsteron Urin dalam Diagnosis", Nanis mengungkapkan bahwa kelainan genetik merupakan salah satu penyebab gangguan perkembangan sistem reproduksi seperti masalah kelamin ambigu.

Pada kenyataannya, tidak semua bayi lahir dengan alat kelamin luar yang jelas menandakan bayi itu perempuan atau laki-laki.  

Nanis mengatakan dalam hal ini ada yang terlihat memiliki alat kelamin seperti perempuan, tetapi ternyata karena ada benjolan di lipatan paha atau di bibir kelaminnya, atau klitoris terlihat lebih besar daripada umumnya pada bayi perempuan sehingga menyerupai penis. 

Ada juga fenomena di mana anak perempuan berubah menjadi lelaki saat mencapai usia pubertas, atau anak perempuan yang payudaranya tidak tumbuh dan tidak mengalami menstruasi sampai usia dewasa. 

"Awalnya 'perempuan', begitu masuk ke masa pubertas hormon testosteron keluar, sehingga testisnya muncul," kata Nanis saat berbincang dengan wartawan di Lembaga Eijkman.

Kondisi tersebut dinamakan gangguan perkembangan sistem reproduksi atau DSD, yang menyebabkan tanda seks primer dan sekunder tidak berkembang dengan baik atau disebut juga atipikal. 

Nanis mendapati kesimpulan demikian berdasarkan penelitian selama kurang lebih 3,5 tahun pada 37 pasien dari seluruh Indonesia yang mengalami kekurangan enzim 5AR2, yang menyebabkan gangguan perkembangan sistem reproduksi. 

Pasien yang terlibat dalam penelitian itu berusia 40 hari sampai 47 tahun, termasuk tiga bayi dan 11 orang berusia 18 tahun lebih, yang antara lain berasal dari Medan, Palembang dan Makasar. 

Nanis menuturkan pada janin dengan kelainan enzim 5AR2, dihidrotestosteron (DHT) tidak diproduksi atau berkurangnya produksinya sejak di dalam kandungan. 

Bayi yang secara genetiknya 46,XY seharusnya lahir menjadi bayi laki-laki, dan bayi 46,XX seharusnya menjadi bayi perempuan.

Tetapi dalam kasus gangguan perkembangan sistem reproduksi yang atipikal, dapat terjadi bayi 46,XY lahir dengan bentuk kelamin luar seperti perempuan sehingga mangalami resiko dibesarkan sebagai perempuan.

Saat pubertas, bayi "perempuan" itu akan mengalami perubahan fisik menjadi laki-laki karena hormon laki-laki yang baru meningkat di usia pubertas itu. 

Menurut Nanis satu dari 2.000 bayi yang lahir di dunia mengalami kelainan genitalia.


 

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019