Jakarta (ANTARA News) - Hujan dipandang sebuah berkah oleh beberapa kebudayaan di dunia, hingga muncul ungkapan "Hujan membawa berkah".

Hal tersebut bisa benar adanya, karena memang hujan dengan air yang dibawanya, merupakan salah satu perkara terpenting bagi kehidupan makhluk hidup di muka bumi sebagai prasyarat bagi kelanjutan aktivitas kehidupan.

Dari air hujan yang membasahi dan masuk ke tanah, memenuhi sumber air, mengaliri sungai, dan mwnghidupi pepohonan dan makhluk hidup lainnya.

Bagi Indonesia, berkah hujan itu rutin menyambangi setiap akhir tahun, termasuk 2018 ini.

Namun, alih-alih menjadi berkah, musim hujan seperti menjadi momok menakutkan bagi masyarakat yang tersebar dari Sabang hingga Merauke ini, terutama di kota-kota besar, termasuk Jakarta.

Di Jakarta, ketika hujan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dari para pemangku kepentingan termasuk warga ditingkatkan. Alasannya satu, yaitu kemungkinan banjir yang membuat was-was warga dan memusingkan setiap kepala daerah di Ibu Kota.



Banjir Jakarta

Mengutip dari buku Batavia Kota Banjir, karangan dari jurnalis ternama Alwi Shahab dan buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun karya Susan Blackburn, Jakarta sudah dilanda banjir sejak zaman kolonial, bahkan sejak zaman kerajaan Tarumanegara.

Hal ini dapat dibuktikan dengan Prasasti Tugu di Jakarta Utara yang kini disimpan dalam Museum Sejarah Jakarta, yang menerangkan pada masa Raja Purnawarman, sang raja memerintahkan penggalian Kali Chandrabagha (Sekarang Bekasi) dan Kali Gomati (Sekarang Tangerang) sepanjang 12 km untuk mengatasi persoalan banjir.

Namun, persoalan banjir tidak selesai di situ. Zaman kolonial Belanda, tercatat sebanyak 66 Gubernur Jenderal menghadapi persoalan banjir, dan tidak satupun di antara mereka yang bisa menyelesaikannya.

Bahkan pada 1872, Jakarta yang saat itu bernama Batavia mengalami banjir besar di seluruh kawasan utama. Kali Ciliwung meluap dan merendam pertokoan serta hotel di Jl. Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Tidak hanya itu, kawasan Harmoni, Rijswik (Jalan Veteran), dan Noordwijk (Jalan Juanda) juga mengalami kelumpuhan.

Selepas kuasa kolonial angkat kaki dari Nusantara, banjir tidak kunjung angkat kaki dari ibu kota, bahkan kali ini lebih sering terjadi. Tercatat pada periode ini, banjir besar di Jakarta terjadi pada 1979, 1996, 1999, 2002 dan 2007.

Berbagai kajian dan penelitian dilakukan guna mengetahui penyebab dan cara menanggulangi banjir di kota yang telah berumur 491 tahun ini.

Susan Blackburn dalam tulisannya menyebut Jakarta terbentuk oleh endapan lumpur yang terbawa dari pegunungan berapi di selatan, sebuah dataran aluvial yang membentang berbentuk kipas dan dilintasi beberapa kali yakni Cisadane, Angke, Ciliwung, Bekasi dan Citarum.

Lama-kelamaan, pantai yang berupa dataran rendah berawa-rawa yang berada di pinggiran alluvial ini semakin meluas ke utara karena lumpur sungai yang hanyut.

Selain itu, secara umum Jakarta terletak di dataran rendah dengan ketinggian rata-rata berkisar 8 mdpl yang bahkan, sekitar 40 persen wilayah Provinsi DKI Jakarta berada di bawah permukaan laut. Sifat dan karakteristik inilah yang menyebabkan Jakarta rentan tergenang air pada musim hujan.

Dengan karakteristik itu, beberapa ahli menyebut prilaku masyarakat yang tidak memiliki jiwa kuat menjaga kebersihan lingkungan termasuk sungai, menjadi penyebab banjir. Ada juga yang menyebut lemahnya pengawasan dan ketidak tegasan pemerintah dalam menerapkan aturan soal lingkungan menjadi penyebabnya.

Tak sedikit juga yang menyebut persoalan infrastruktur penanggulangan banjir yang tidak sesuai dengan wilayah dan tidak mengimbangi pertambahan serta pertumbuhan penduduk yang menjadi sebab.

Namun semuanya bersepakat bahwa perubahan drastis lahan di Jakarta yang awalnya berupa rawa-rawa, kini seolah tidak menyisakan lahan serapan memadai, menjadi penyebab banjir tidak kunjung tertanggulangi ini.

Sejarah Penanggulangan
Dipusingkan dengan persoalan banjir, pemerintah Kolonial Belanda, pada 1895 merancang rancangan besar (grand design) untuk menanggulangi soal banjir.

Rancangan besar ini meliputi pembangunan di daerah hulu kawasan Puncak hingga hilir daerah Jakarta Utara. Pembangunan 16 kanal di dalam kota untuk memecah aliran sungai, pemanfaatan danau (situ) sebagai resapan dan pembangunan kanal yang mengalihkan aliran CIliwung mengelilingi Jakarta (Kanal Barat) pada 1913-1919 dan disempurnakan hingga 1922.

Hal itu cukup efektif, terbukti dari catatan sejarah bencana di Jakarta, setelah banjir 1918 pada masa kolonial, banjir besar di Jakarta baru terjadi lagi pada 1979 saat era Republik Indonesia.

Menghadapi kembali ancaman banjir, sejak Gubernur pertama di era Republik Indonesia, Jakarta kembali berbenah untuk mengatasi banjir di Jakarta mulai normalisasi dan penataan sungai, termasuk pembangunan Kanal Timur yang sudah direncanakan sejak 1973, dan baru dibangun pada 2003-2010.

Jakarta yang kini memiliki dua kanal pengendali besar yaitu Kanal Barat yang dibangun sejak zaman kolonial dan Kanal Timur yang memiliki panjang puluhan kilometer, nyatanya tidak bisa melepaskan rasa was-was masyarakat.

Pasalnya banjir masih kerap terjadi di kawasan-kawasan yang sudah terkenal langganan terendam seperti di Kampung Melayu, Cipinang Melayu dan Cipinang Muara hingga menyebabkan ratusan rumah terendam dengan ribuan jiwa di dalamnya terdampak.

Drainase Vertikal sebagai Jawaban
Masalah banjir di Jakarta yang tak kunjung selesai, juga menjadi PR sekaligus perhatian pemerintah DKI saat ini di bawah Gubernur Jakarta periode 2017-2022, Anies Baswedan, dengan beberapa program yang digulirkannya dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Dalam jangka pendek, Anies berfokus pada kesiapsiagaan perangkat pemerintah hingga ke tingkat terbawah untuk mengantisipasi banjir untuk mengurangi dampaknya, dengan penyediaan logistik dan lokasi pengungsian.

Sementara dalam jangka panjang Pemprov DKI Jakarta setidaknya memiliki dua program, yakni naturalisasi sungai dan Drainase Vertikal.

Naturalisasi Sungai, mengubah format proyek penataan sungai dari normalisasi yang menurut mantan Menteri Pendidikan ini mempercepat aliran sungai dan mengurangi peresapan, ke naturalisasi yang mempertahankan ekosistem pinggiran sungai dan kontur sungai dengan tujuan memperlambat arus agar teresap sejak dari kawasan hulu yang programnya akan dimulai 2019 di Situ Babakan.

Sementara Drainase Vertikal, merupakan program saluran air yang dibangun untuk mengalirkan air hujan dari permukaan ke dalam tanah, selain mengalirkannya ke laut yang diyakininya bisa mengurangi volume air ke sungai.

Bahkan program drainase vertikal yang direncanakan akan dibangun sebanyak 1.333 di seluruh Jakarta kecuali Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu tersebut, digadang-gadang bisa memperbaiki keadaan tanah di Jakarta yang terus turun karena sumber air bawah tanah yang hilang akibat pengangkatan air tanah yang berlebihan.

"Selama pengambilan air tanah itu terus dilakukan dan air tidak dimasukkan ke dalam tanah juga, maka kita akan merasakan penurunan. Itulah sebabnya mengapa sekarang kita masif menyiapkan untuk drainase vertikal. Harapannya pada saat musim hujan, selain mencegah banjir, kita membantu mengisi tanah-tanah kita dengan air yang cukup," ujar Anies pada Rabu (21/11).

Drainase vertikal itu sendiri, saat ini masih dalam tahap uji coba oleh Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta, yang menurut Anies berlangsung dengan positif.

"Hujan deras saat Kamis (22/11) itu menguji infrastruktur ini dan sejauh ini saya mendapatkan laporan yang positif," ujar Anies Jumat (23/11).

Kendati digadang-gadang mampu menanggulangi penyakit menahun, banjir Jakarta, efektifitas drainase vertikal masih menimbulkan tanda tanya besar bagi beberapa ahli, salah satunya adalah Pengamat Tata Kota Nirwono Joga.

Nirwono memprediksi jika pembuatan drainase vertikal ini tidak akan efektif jika empat strategi penanganan banjir di ibu kota tidak dijalankan oleh Pemprov DKI Jakarta.

Empat strategi tersebut adalah penataan bantaran 13 sungai di Jakarta, baik dengan naturalisasi maupun normalisasi; revitalisasi waduk, danau dan situ; rehabilitasi saluran air; serta mengembangkan ruang terbuka hijau (jalur hijau, taman, hutan dan kebun raya sebagai wilayah resapan yang saat ini baru mencapai 9,98 persen dari angka Ideal 30 persen.

"Jika empat strategi ini dijalankan berbarengan dengan program vertical drainage yang sebetulnya ecological drainage atau ekodrainase, banjir di Jakarta seharusnya bisa diatasi. Intinya selain di Jakarta, harus ada sinergi juga dari kawasan hulu agar air tidak langsung mengalir langsung ke Jakarta," kata Nirwono.

Berbagai program dan proyek telah dijalankan di kota terpadat di Indonesia ini sejak zaman kolonial, dan tidak ada satupun yang bisa benar-benar menghilangkan banjir dari Jakarta, dan rasa was-was masyarakat Jakarta akan banjir masih berlangsung hingga kini.

Kini giliran Anies Baswedan dengan program drainase vertikal serta program lainnya dalam waktu terbatas (hingga 2022) untuk mencoba membuktikan bisa mengatasi banjir Jakarta yang sudah menjadi penyakit menahun ini dan menghilangkan rasa was-was masyarakat serta memberikan keberkahan dari hujan.*


Baca juga: Camat Cengkareng bantah wilayahnya terdampak luapan Kali Angke

Baca juga: Delapan kelurahan di Jakarta Barat potensi banjir akibat luapan Pintu Air Angke Hulu

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018