Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meluncurkan buku panduan pencegahan korupsi untuk dunia usaha di sela-sela acara Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2018 di Jakarta, Rabu.

Hal tersebut terkait terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh korporasi. 

"Kalau kita lihat Undang-Undang KPK, mulai dari tahun 1999 sudah ada sebenarnya tanggung jawab pidana korporasi tetapi tidak ada satu sampai saya di KPK ini tidak ada satu perusahaan pun yang djadikan tersangka pidana korporasi. Padahal untuk bidang-bidang lain seperti lingkungan hidup, TPPU juga banyak," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.

Ia menyatakan setelah bertemu secara terbatas dengan para pakar salah satunya dengan mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, pihaknya menghitung sekitar ratusan Undang-Undang RI yang mengenal pertanggung jawaban pidana korporasi.

"Yang kedua banyak sekali korporasi itu dipakai sebagai alat menyembunyikan hasil korupsi. Contoh Nazaruddin (mantan Bendahara Umum Partai Demokrat) dia membuat 38 perusahaan untuk menyembunyikan korupsinya. Itu yang kita tahu, pasti banyak yang kami tidak ketahui," tuturnya.

Kemudian, kata dia, misalnya kasus yang menjerat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar yang juga banyak menyembunyikan hasil korupsinya itu dalam bentuk perusahaan.

"Dan perusahaannya juga aneh-aneh kalau kita lihat karena yang jadi direktur salah satunya sopirnya, keluarganya, dan lain-lain," ucap Syarif. 

KPK pun saat ini, lanjut Syarif, sudah mulai melakukan penindakan dan sudah menetapkan tersangka korporasi dalam kasus-kasus korupsi. 

"Dan yang sudah tahap penuntutan ada satu, rasanya tidak adil dong kalau KPK sudah mulai menindak sedangkan tidak ada panduan untuk perusahaan dan korporasi di Indonesia agar tidak terjerembab dalam hal-hal yang dilarang oleh undang-undang atas kesadaran itu lah sehingga hari ini kami akan meluncurkan panduan pencegahan korupsi untuk dunia usaha," ujarnya.

Dengan catatan, kata dia, panduan itu tidak cukup hanya diambil alih sebagai bagian dari program pencegahan yang ada di perusahaan tetapi harus dilaksanakan dengan efektif.

Sementara itu, perwakilan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Rahmat Junaedi menyatakan bahwa KPK sangat terbuka kepada KADIN karena telah diajak berdiskusi berkali-kali.

"Diskusi itu juga bukan diskusi yang mudah, mencoba mencari bukan jalan tengah tetapi mencari "implementable" itu yang kami utamakan. Teori bisa banyak tetapi apakah itu bisa diimplementasikan di dunia bisnis Indonesia secara langsung itu juga bukan hal yang mudah," kata Rahmat.

Pada waktu itu, kata dia, memang undang-undangnya dan Perma Nomor 13 Tahun 2016 semua sudah menggambarkan adanya kemungkinan perusahaan dikenakan hukuman terhadap suatu tindakan yang dianggap masuk dalam kategori korporasi.

"Kami terima itu undang-undang sudah ada tetapi memang yang kami minta kepada dan itu disampaikan Pak Laode tadi, tidak "fair" rasanya kok main hukum saja, harus dikasih tahu juga cara untuk menghindarinya. Kalau memang salah caranya salah seperti apa tunjukkan, kemudian bagaimana cara menghindarkannya tunjukkan," kata dia.

 

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018