Jakarta (ANTARA News) - Isu mengenai ekspansi perkebunan sawit di Indonesia yang berdampak negatif pada kelestarian lingkungan telah membangkitkan kesadaran konsumen terhadap aspek keberlanjutan dalam industri minyak sawit.

Sebagai komoditas ekspor utama Indonesia, sawit memang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan, tetapi dampaknya bagi deforestasi, hilangnya keragaman hayati, dan emisi gas rumah kaca tidak bisa dinafikan.

Data yang dihimpun World Wildlife Fund for Nature (WWF) Indonesia menunjukkan ancaman terbesar deforestasi akibat pembukaan lahan untuk perkebunan sawit justru berasal dari petani swadaya.

Sekitar 42 persen dari total 14 juta hektare perkebunan sawit di Indonesia dikelola oleh masyarakat, dimana 80 persen diantaranya adalah petani swadaya.

Pembukaan lahan sedikit demi sedikit dan tidak terkontrol dilatarbelakangi produktivitas kebun sawit petani yang tidak optimal.

Angka produktivitas kebun sawit rakyat sekitar 2-3 ton per hektare, sedangkan perkebunan sawit milik perusahaan swasta bisa memproduksi hingga 4 ton per hektare.

Rendahnya produktivitas kebun sawit rakyat disebabkan inefisiensi lahan, bibit kelapa sawit yang tidak berkualitas, pemupukan yang tidak tepat, sehingga pengelolaan perkebunan sawit menjadi tidak berkelanjutan.

Berangkat dari fakta ini, WWF-Indonesia yang terlibat dalam proyek Kemitraan Pertumbuhan Baik dan dibiayai Global Environment Facility melalui UNDP, membantu para petani swadaya di Sintang, Kalimantan Barat, untuk mengelola kebun sawitnya secara berkelanjutan.

Kabupaten Sintang terletak di lanskap Hulu Kapuas, salah satu dari lima lanskap yang menjadi fokus proyek pengelolaan sawit berkelanjutan WWF-Indonesia.

Proyek pendampingan petani yang dijalankan sejak 2017 bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Sintang dirancang untuk membantu petani mengadopsi praktik terbaik yang mencakup peningkatan input dan teknologi yang akan memungkinkan peningkatan produksi menggunakan lahan pertanian yang ada, tanpa perlu perluasan lahan. 

Salah satu kegiatan proyek adalah meningkatkan kapasitas petani kecil mandiri untuk menghasilkan minyak sawit berkelanjutan.

Proyek ini dijalankan di empat desa di dua kecamatan dan melibatkan 300 petani kecil yang dikategorikan sebagai petani swadaya skala kecil yang terkait dengan rantai pasokan melalui agen lokal (sekitar 1-2 hektare per rumah tangga) dan petani kecil mengelola plot terkait dengan perusahaan skema plasma (10-15 hektare).

Proyek ini berfokus untuk 300 pekebun mandiri yang dimiliki oleh 60 petani swadaya.

Terbantu

Tuslam, seorang petani kelapa sawit di Desa Telaga Satu, Kecamatan Binjai Hulu, Kabupaten Sintang, merasa terbantu dengan program pendampingan dari WWF-Indonesia.

Pria berusia 50 tahun itu baru satu tahun terakhir mencoba menanam kelapa sawit di kebun seluas 1,5 hektare, setelah bertahun-tahun sebelumnya menekuni usaha perkebunan karet.

"Kalau karet kan harus dipanen setiap hari, sedangkan sawit ini bisa dua minggu sekali. Umur pohonnya juga bisa sampai 20 tahun, jadi buat saya yang ingin kerja lebih santai ini pilihan menarik," kata Tuslam kepada Antara, di sela-sela kegiatan media trip mengenai sawit berkelanjutan di Sintang, pekan lalu.

Dengan pengelolaan yang tepat, Tuslam berharap hasil dari kebun sawit bisa mengangkat pendapatannya sebagai petani kecil, tanpa perlu merusak lingkungan.

Tuslam bersama ratusan petani mengikuti penyuluhan untuk pemupukan di plot-plot demonstrasi seluas 1 hektare di Kecamatan Binjai Hulu, pekan lalu.

Pemupukan menjadi aspek penting dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit karena jika dilakukan dengan tepat akan berpengaruh baik bagi kualitas daun dan buah, serta meningkatkan kandungan minyak dan ketahanan buah.
 

Seorang petani mempraktikkan teknik pemupukan di salah satu plot demonstrasi yang merupakan proyek pendampingan WWF-Indonesia untuk mendorong pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di Sintang, Kalimantan Barat, Jumat (23/11/2018). (ANTARA/Yashinta Difa)


Selain sektor hulu, para petani juga dibantu untuk memasarkan hasil panennya melalui koperasi.

Koperasi Produksi Rimba Harapan yang merupakan gabungan tujuh kelompok tani yang ada di Kabupaten Sintang, telah didampingi oleh WWF-Indonesia sejak 2014.

Dengan luas kebun 358,33 hektare dan 155 orang petani, Rimba Harapan dapat memproduksi 400 ton tandan buah segar (TBS) per bulan.

Rimba Harapan diharapkan menjadi daerah percontohan pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan bagi para petani swadaya di Sintang, dan diarahkan menuju sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada 2020.

Namun, upaya menanamkan prinsip-prinsip keberlanjutan dengan mengutamakan intensifikasi lahan kelapa sawit untuk menekan laju deforestasi bukannya tanpa hambatan.

"Tantangannya adalah mendisiplinkan petani supaya bisa menerapkan prinsip budidaya yang berkelanjutan, dengan begitu pendapatan mereka akan bertambah meskipun luas lahannya tetap," ujar Market Transformation Initiative Coordinator WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat Muhammad Munawir.

Tingkat pendidikan petani yang bervariasi dengan lebih banyak didominasi tamatan sekolah dasar, diakui pengurus Rimba Harapan menjadi tantangan terberat untuk mengubah pola pikir para petani mandiri menuju ke arah keberlanjutan.

Selain itu, tantangan lain yang dihadapi petani swadaya adalah produktivitas yang jauh dari standar kuota tandan buah segar (TBS) yang bisa dijual ke perusahaan pengolah kelapa sawit, seringkali mengakibatkan harga TBS jatuh.

"Dengan gabungan tujuh kelompok tani saja produktivitas kami tidak sampai 400 ton per bulan, sementara target kuota minimal TBS dibeli perusahaan dengan harga yang ditetapkan pemerintah sebanyak 1.000 ton per bulan," ujar Sekretaris Rimba Harapan Maryono.

Karena itu Rimba Harapan berharap bisa merangkul para petani swadaya yang mengelola perkebunan sawitnya secara berkelanjutan untuk menambah kuota produksi dan meningkatkan nilai jual TBS mereka.


Komitmen

Pemkab Sintang memberlakukan regulasi pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dengan menyeimbangkan aspek ekonomi, konservasi, dan sosial budaya.

"Sawit harus dipandang sebagai komoditas yang dikelola secara berkelanjutan," kata Bupati Sintang Jarot Winarno.

Bersama dengan tujuh kabupaten lainnya, Sintang adalah pendiri Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), sebuah asosiasi pemerintah kabupaten yang bertujuan mendukung dan menerapkan produksi minyak sawit berkelanjutan.

Seperti banyak daerah di Indonesia, kelapa sawit adalah penggerak utama ekonomi di Sintang, yang menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat dan pekebun baik secara langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan data statistik 2017, produksi minyak sawit di Sintang mencapai 935.941 ton yang berasal dari 168.107 hektare lahan.

Sintang memiliki pekebun besar yang mengelola sekitar 9.000 hektare dan lebih dari 1.000 rumah tangga petani mandiri.

Pengembangan 2.000 hektare perkebunan kelapa sawit skala kecil tercantum dalam Rencana Strategis Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Sintang 2017-2021.

Saat ini, izin konsesi telah diberikan kepada 47 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mencakup 500 ribu hektare lahan, dengan 177 ribu hektare diantaranya yang telah dibudidayakan di Kabupaten Sintang.

Dari puluhan perusahaan tersebut, baru dua perusahaan yang memenuhi standar RSPO, sementara enam perusahaan lainnya telah tersertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

“Ke depannya sertifikasi harus terus didorong karena ini adalah masa depan industri sawit,” kata Jarot.

 

Bupati Sintang Jarot Winarno berbincang mengenai pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dengan beberapa wartawan peserta media trip WWF Indonesia di Sintang, Rabu (21/11/2018) malam. (ANTARA/Yashinta Difa)


WWF-Indonesia menilai komitmen politik seperti yang ditunjukkan Bupati Sintang sangat diperlukan dalam penerapan pengelolaan perkebunan kelapa sawit.

"Kalau kita ingin mendorong pengelolaan sawit berkelanjutan bisa diimplementasikan dengan baik di lapangan, salah satu faktor utama kunci suksesnya adalah kepemimpinan politik," kata Sustainable Palm Oil Program Manager WWF-Indonesia Putra Agung.

Selain keterbukaan dan kemauan berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan termasuk LSM, WWF-Indonesia juga mengapresiasi kebijakan Jarot mengeluarkan Peraturan Bupati Sintang Nomor 57 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pembukaan Lahan bagi Masyarakat untuk mengendalikan kegiatan pembakaran lahan demi mengakomodasi kepentingan adat.

Sintang telah ditetapkan sebagai daerah yang bebas deforestasi, dengan perlindungan penuh terhadap hutan primer dan sekunder, serta lahan gambut.

Sebagai organisasi internasional yang menangani masalah konservasi, penelitian dan restorasi lingkungan, WWF-Indonesia merasa perlu melakukan intervensi untuk mendukung pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, agar tidak memicu berkurangnya spesies dan perlindungan habitat.

"Ketika core business kami mengenai spesies dan perlindungan habitat, tidak akan berubah signifikan kalau kami tidak menyentuh faktor yang memengaruhi habitat seperti kelapa sawit," kata Agung.

Melalui intervensi ini diharapkan para pembeli juga dapat menekan produsen kelapa sawit untuk memperbaiki pola produksi supaya produk yang mereka beli benar-benar memenuhi standar sertifikasi RSPO.

"Kami inginkan adalah memutus deforestasi," Agung menjelaskan, dan menambahkan bahwa angka deforestasi akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit mencapai 11 juta hektare pada 2014, terdiri dari luas tanaman rakyat dan perkebunan besar. 

Baca juga: Sinergi berbagai pihak wujudkan pengelolaan sawit berkelanjutan

Baca juga: Artis Nadine Alexandra pilih sawit berkelanjutan

Baca juga: BPDP-KS sebut industri sawit bantu Indonesia capai SDGs


Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018