Padang (ANTARA News) - Konsep wisata halal mulai menjadi perbincangan hangat di Sumatera Barat saat provinsi itu berhasil meraih dua penghargaan dari The World Halal Tourism Award 2016 yaitu World`s Best Halal Destination dan World`s Best Halal Culinary Destination.

Pengembangan pariwisata daerah itu seakan tiba-tiba memperoleh kompas penunjuk arah sehingga semua potensi yang ada diarahkan untuk bergerak pada satu titik tujuan. Kabupaten dan kota juga didorong untuk memiliki visi pengembangan yang sama, wisata halal.

Sayangnya, konsep wisata halal tersebut masih sangat bias untuk diterapkan. Bahkan Dinas Pariwisata Sumbar yang paling bertanggung jawab untuk dunia pariwisata di provinsi itu, masih gagap untuk merumuskan konsep ini.

Ya, meski telah menerima dua penghargaan bergengsi pariwisata halal dunia pada 2016, namun Sumbar sebenarnya belum pernah mengenal konsep wisata halal sebelumnya.

Hal itu terlihat dari upaya pemerintah daerah mengumpulkan sejumlah tenaga ahli guna merumuskan konsep wisata halal yang sesuai untuk Sumbar, yang membedakannnya dari konsep yang telah terlebih dahulu diterapkan dan diklaim sukses di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Hasil rumusan itu diharapkan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan mengembangkan potensi pariwisata ke arah wisata halal.

Sebenarnya jika merujuk pada hasil survei perusahaan riset Dinar Standard pada 2014 yang menyebutkan makanan halal merupakan pertimbangan utama para wisatawan muslim untuk berkunjung ke suatu negara, maka Sumbar sudah sangat memenuhi syarat untuk menjadi salah satu destinasi unggulan wisata halal di Indonesia.

Karena sebagai daerah yang memiliki falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah atau adat bersendikan agama, agama bersendikan Al Quran, memang hampir semua kuliner yang ada di Sumbar adalah halal, kecuali beberapa hal yang bersifat khusus karena adanya keragaman etnik dan agama.

Wisatawan yang datang tidak perlu khawatir tentang kehalalalan saat berbelanja, menyantap kuliner atau menginap di daerah itu. Semuanya terjamin.

Tetapi konsep wisata halal ternyata tidak hanya menyaratkan kuliner, tetapi juga adanya daya tarik objek wisata religi atau tempat wisata ziarah dan yang terpenting harus ada fasilitas pendukung, seperti hotel, restoran, spa maupun fasilitas lainnya yang memenuhi standar syariah Islam.

Hal itu harus ditunjang lagi dengan promosi secara on line (daring) dan of line atau dari mulut ke mulut agar jumlah kunjungan ke destinasi wisata halal bisa meningkat.

 
Foto udara kawasan wisata Mandeh di Kab.Pesisir Selatan, Sumatera Barat, Senin (24/4/2017). Dinas Pariwisata Sumbar menyatakan, kawasan Mandeh seluas 18.000 Ha yang terdiri dari sejumlah pulau dan masuk dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional (RIPPNAS) bersama Biak dan Bunaken itu, pembebasan lahannya ditargetkan tuntas hingga penghujung 2017, sehingga pada 2018 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandeh bisa diwujudkan. (ANTARA /Iggoy el Fitra )


Sejak digaungkan pada 2016 harus diakui dukungan terhadap wisata halal di Sumbar mulai terasa, di antaranya melalui produk paket wisata yang dijual oleh perusahaan perjalanan wisata.

Organisasi berkaitan dengan wisata halal itu juga bermunculan. Demikian juga pembenahan sumber daya manusia untuk menunjang penerapan konsep itu nantinya.

Tetapi tiga tahun sejak dimulai pada 2016, geliat wisata halal itu masih amat lemah, cenderung stagnan. Lonjakan kunjungan wisatawan muslim ke Sumbar yang menerapkan konsep itu, tidak pernah terjadi sehingga mulai menyurutkan semangat pemangku kepentingan dalam pengembangan konsep itu.

Gubernur Sumbar Irwan Prayitno menyebut konsep pariwisata halal pada satu sisi memang baik karena itu terus dilakukan oleh daerahnya, tetapi pada sisi lain, kata-kata "halal" malah menjadi "tembok" pembatas bagi wisatawan asing sehingga menjadi ragu untuk datang ke Sumbar.

Wisatawan asing itu sebagian bukan muslim, karena itu penggunaan kata halal yang merujuk pada terminologi islam membuat mereka ragu untuk datang, karena seakan-akan pariwisata di Sumbar hanya ditujukan bagi wisatawan muslim.

Ditambah lagi, wisatawan Timur Tengah atau negara-negara islam yang diharapkan datang ke Sumbar yang mengedepankan wisata halal ternyata lebih memilih Bali sebagai tempat untuk berlibur.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumbar, sejak Mei hingga September 2018 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke daerah itu relatif meningkat. Namun, dari sebaran kewarganegaraan wisatawan yang datang, sebagian besar masih didominasi oleh Malaysia, Australia, AS, Prancis, Tiongkok, Inggris, Singapura, Taiwan dan Thailand. Sementara wisatawan asal Timur Tengah yang menjadi bidikan wisata halal masih sangat minim.

Wisatawan Malaysia datang ke Sumbar lebih karena kedekatan budaya, bukan karena Sumbar adalah destinasi wisata halal.

Ketua Asosiasi Pengusaha Perjalanan Wisata (ASITA) Sumbar Ian Hanafiah menyebut promosi yang dilakukan pemerintah daerah untuk wisata halal tersebut memang masih sangat minim dan belum mencapai sasaran, yaitu negara-negara yang komunitas muslimnya cukup besar seperti negara-negara Timur Tengah.

Ia menyebut beberapa kali memenuhi undangan ke negara-negara Timur Tengah, sangat sedikit sekali yang mengenal Sumbar sebagai sebuah tujuan wisata halal di Indonesia.

Sebagian besar masih menfavoritkan Bali sebagai tujuan wisata di Indonesia.

Butuh promosi yang lebih intens dan tepat sasaran agar Sumbar bisa lebih dikenal dan dijadikan daerah tujuan wisata bagi wisatawan negara-negara Islam tersebut.

Mungkin, perkembangan yang lambat itulah yang kemudian membuat Sumbar tergoda dengan konsep wisata lain yaitu Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) atau Pertemuan, Insentif, Konvensi, dan Pameran.

MICE merupakan wisata konvensi yang menyediakan jasa pertemuan, perjalanan insentif, dan pameran dengan memberikan pelayanan bagi pertemuan sekelompok orang baik dalam skala besar maupun kecil mulai dari transportasi, akomodasi dan tempat untuk melakukan kegiatan.

Bentuk sederhana MICE adalah ketika suatu perusahaan yang memiliki kantor cabang di seluruh Indonesia ingin melakukan pertemuan rutin selama tiga hari. Maka pertemuan tersebut dilakukan di salah satu hotel, kemudian satu hari digunakan oleh peserta untuk berwisata dengan mengunjungi sejumlah objek wisata yang ada di daerah itu.

MICE menjadi salah satu fenomena dalam industri pariwisata yang memberi jasa pelayanan bagi pertemuan dalam jumlah besar baik bisnis, pemerintahan, ilmu pengetahuan dan lainnya. MICE juga akan terkait langsung dengan usaha pariwisata lainnya seperti transportasi, akomodasi, hiburan, dan kunjungan wisata peserta konvensi.

Salah satu syarat utama suatu daerah layak dijadikan pusat kunjungan MICE adalah tersedianya kamar hotel yang cukup, ruang pertemuan besar dapat menampung orang dalam jumlah banyak, transportasi yang memadai, objek wisata yang menarik serta sejumlah sarana pendukung lainnya.

 
Wisata Sejarah Lubang Jepang Sejumlah wisatawan mengunjungi wisata sejarah Lubang Jepang di Bukit Tinggi, Sumbar, Sabtu (7/2). Lubang Jepang merupakan sebuah terowongan (bunker) perlindungan yang dibangun tentara pendudukan Jepang sekitar tahun 1942 untuk kepentingan pertahanan yang dijadikan salah satu tujuan wisata sejarah di Bukit Tinggi. (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)




Konsep MICE sebenarnya bukan hal baru bagi Sumbar. Sebelum gempa besar 2009, daerah itu telah mulai mengembangkan potensi wisata MICE dan mendapat respon positif.

Namun gempa yang meluluhlantakkan Padang pada 2009 membuat pengembangannya terganggu bahkan terhenti, karena kamar hotel dan ruang konvensi sebagian besar hancur karena gempa.

Pascarekonstruksi, berlahan geliat MICE kembali dirasakan, bahkan dalam tiga tahun terakhir Sumbar terbukti sukses menggelar sejumlah kegiatan berskala nasional dan internasional dengan peserta lebih dari 3000 orang.

Dua kegiatan terakhir yang sukses di gelar di Sumbar adalah Hari Pers Nasional (HPN) 2018 dengan peserta 3000 orang dan Pertemuan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) dengan tamu sekitar 1500 orang.

Gubernur Irwan Prayitno mengatakan MICE lebih logis untuk dikembangkan di Sumbar dan pihaknya mendukung penuh bahkan memberikan sambutan khusus bagi pihak yang menggelar acara-acara besar di Sumbar.

"Gubernur akan langsung menyambut dan menjamu seluruh tamu yang datang menggelar acara nasional dan internasional di Sumbar," katanya.

Konsep wisata itu didukung oleh infrastruktur hotel dan ruang konvensi yang memadai. Data BPS Sumbar pada 2018 jumlah hotel di daerah itu sebanyak 374 unit dengan 8.280 kamar.

Jumlah itu terbagi atas 58 unit hotel bintang satu hingga bintang lima, sedangkan 316 unit lainnya merupakan jasa akomodasi lainnya, seperti pondok wisata, dan hotel jenis melati.

Selama di Sumbar tamu bisa menikmati seni budaya, wisata kuliner dan destinasi yang beragam mulai dari laut, perbukitan, ngarai, danau serta pegunungan.

Ketika berada di Padang, pungunjung dapat menikmati keindahan pantai Padang atau pantai Air Manis, lengkap dengan legenda Malin Kundang-nya.

Selanjutnya, pada rute Padang-Bukittinggi, mereka akan melihat Anai resort -tempat pemandian dan olahraga golf-, air terjun, dan sampai di Padangpanjang ada kuliner khas sate.

Di Kota Bukittinggi, ada Ngarai Sianok, Jam Gadang, Lubang Jepang, di Limapuluh Kota ada Lembah Harau dan Ngalau, lalu ke Agam dapat melihat Danau Maninjau, dan Puncak Lawang.

Kemudian kalau ke Tanah Datar, mereka dapat melihat Rumah Gadang Istano Basa Pagaruyung dan berbagai kegiatan budaya tradisional yang menjadi daya tarik, seperti Pacu Jawi, Pacu Itik dan Pacu Kuda.

Pengunjung juga dapat melihat keindahan Danau Singkarak, dan Danau di Atas serta di Bawah di Kabupaten Solok, kemudian pencinta selancar bisa menikmati ombak laut Mentawai.

Meski mulai "berpaling" pada "MICE" tetapi Irwan menyebut konsep wisata halal akan tetap dikembangkan di provinsi ini.*


Baca juga: Jalan akses wisata Mandeh ditargetkan tuntas 2019

Baca juga: Di Pesisir Selatan ada paket wisata seputar durian



 

Pewarta: Miko Elfisha
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018