Jakarta (ANTARA News) - Ketua KPK Agus Rahardjo menjelaskan kronologis Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolanda Berutu.
   
"Pada 17 November 2018, sekitar pukul 23.55 WIB, tim mendapat informasi akan ada penyerahan kepada bupati. Tim pung mengamankan DAK (David Anderson Karosekali) di kediaman RYB (Remigo Yolanda Berutu) di kota Medan sesaat penyerahan uang," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Minggu.
   
Dari lokasi tersebut, tim mengamankan Rp150 juta yang dimasukkan ke dalam tas kertas.
   
Selanjutnya pukul 01.25 WIB pada 18 November 2018, tim lain mengamankan seorang swasta bernama Hendriko Sembiring di kediamannya di Medan.
   
"Kemudian sekitar pukul 04.00, tim bergerak menuju rumah S (Syekhani) di kota Medan dan mengamankan yang bersangkutan di kediaman," tambah Agus. Syekhani adalah pegawai honorer pada dinas Pekerjaan Umum kabupaten Pakpak Bharat.
   
Secara pararel, tim mengamankan ajudan bupati Pakpak Bharat Jufri Mark Bonardo Simanjuntak di mes Pakpak Bharat Jakarta Selatan pada 18 November 2018 pukul 02.50 dan terakhir sekitar pukul 06.00 WIB, tim mengamankan pihak swasta yaitu Reza Pahlevi di rumahnya di Pondok Gede.
   
Terhadap 4 orang yang diamankan di Medan, penyidik KPK lalu melakukan pemeriksaan awal di Medan lalu pada Minggu (18/11), diterbangkan ke Jakarta sekitar pukul 14.30 WIB untuk diperiksa lebih lanjut di gedung KPK.
   
Setelah melakukan pemeriksaan 1x24 jam, dilanjutkan gelar perkara, disimpulkan Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolanda Berutu, Plt Kepala Dinas PUPR kabupaten Pakpak Bharat David Anderson Karosekali (DAK) dan seorang pihak swasta Hendriko Sembiring (HS) sebagai tersangka dugaan penerimaan suap terkait proyek-proyek di dinas PUPR kabupaten Pakpak Bharat tahun anggaran 2018.
   
Remigo diduga menerima Rp550 juga yang diberikan pada 16 November 2018 sebesar Rp150 juta dan pada 17 November 2018 sebesar Rp400 juta.
   
"Uang tersebut diduga dingunakan untuk keperluan pribadi Bupati, termasuk untuk mengamankan kasus yang melibatkan istri Bupati yang saat ini sedang ditangani penegak hukum di Medan," tambah Agus.
   
Dari jumlah tersebut, pemberian Rp150 juta dari David Anderson kepada Remigo terkait dengan fee pelaksanaan proyek-proyek di lingkunga kabupaten Pakpak Bharat yang diduga berasal dari mitra yang sedang mengerjakan proyek-proyek di lingkungan Pemkab Pakpak Bharat.
   
"Diduga RYB (Remigo Yolando Berutu) menginstruksikan kepada para kepala dinas untuk mengamankan semua pengadaan proyek pada dinas masing-masing," ungkap Agus.
   
Remigo juga menerima pemberlan lain terkait proyek di Pemkab Pakpak Bharat melalui para perantada dan orang dekatnya yang bertugas untuk mengumpulkan dana.
   
Ketiga tersangka disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
   
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.
   
Dengan tertangkapnya Remigo tersebut, KPK sudah menangani total 104 kepala daerah dalam perkara suap.
   
"Ini kejadian banyak kali dan sudah menjadi kpk untuk memperbaiki. Permintaan uang tidak khusus di dinas PUPR walau bisanya angggarannya paling besar karena mengurus infrastruktur, tapi sebetulnya terkait pengadaan. Seharusnya dengan e-procurement semua orang bisa ikut menawar, yang jadi pertanyaan kenapa orang dari banyak tempat tidak datang? Kita minta asosiasi dunia usaha mendorong persaingan sehat," ungkap Agus.

Baca juga: KPK ciduk bupati Pakpak Bharat
Baca juga: KPK tetapkan Bupati Pakpak Bharat tersangka


 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018