Andreas Simotiaref tengah serius menghaluskan potongan kayu dengan mesin ketamnya saat ditemui di bengkel kerjanya pada Oktober 2018 lalu. Sisa serutan kayu bercampur debu terbang ke arah tubuhnya sehingga ia pun harus menutup hidup dengan saputangan lebar. 
   
Meski debu juga menutupi tangannya, Andreas tetap berkonsentrasi ke papan kayu di depan matanya demi menghasilkan pesanan mebel bagi tetangganya.
   
Andreas adalah anggota Koperasi Serba Usaha (KSU) Tetom Jaya, Distrik Bonggo,  Kabupaten Sarmi, Papua. Dari sekitar 20 anggota koperasi itu, ada tiga orang yang aktif bekerja untuk menghasilkan mebel. 
   
Ia bersama dengan anggota KSU Tetom Jaya lainnya bekerja sama untuk mengolah pohon dari hutan adat untuk menjadi mebel yang lebih bernikai ekonomi. Hutan adat itu adalah milik marga Bagre, Jok, Korman, Karos, Doran, Kumbuai dan suku lainnya.

"Tapi hutannya itu jauh sekali, sekitar 10 kilometer dari sini," kata Andreas di bengkel kerjanya yang berlokasi di tepi jalan Kabupaten Sarmi.
   
Bila musim kemarau tiba, ia dan teman-temannya berhenti memotong kayu karena kayu-kayu tidak dapat diangkut. Hal itu karena satu-satunya media pengangkut kayu adalah melalui sungai. Belum ada jalan tembus dari hutan ada ke jalan raya.
   
KSU Tetom Jaya memiliki hak untuk mengambil kayu sebanyak 200 meter kubik selama setahun yang berasal dari pengalian 20 meter kubik per orang yang memiliki sertifikat untuk mengambil hasil hutan.
   
"Untuk pesanan mebel baru sekitar 5,5 meter kubik yang baru bisa diangkut, kalau ada pesanan saja kami langsung angkut kayu dari hutan," kata Andreas.
   
Setelah diangkut, kayu-kayu itu mulai diolah sesuai pesanan, termasuk untuk menjadi mebel. Ciri mebel buatan KSU Tetom Jaya menurut Andreas adalah pahat ukir yang ada di kaki meja. Selain itu Andreas dan kawan-kawannya juga menjual ukiran akar kayu yang pemasarannya dibantu oleh WWF.
   
Sedangkan Hendrik Kulang selaku Ketua KSU Jibogol, Kampung Guryat serta Distrik Unurum Guay Kabupaten Jayapura mengaku bahwa semasa masyarakat belum punya izin untuk mengolah kayu dari hutan mereka sendiri, warga hanya menerima Rp200 ribu sebagai kuli angkut dari perusahaan pemilik HPH (Hak Pengelolaan Hutan).
   
"Ternyata 1 meja dengan 4 kursi hanya butuh 5 lembar papan, dan sudah bisa dijual hingga sekitar Rp3 juta. Satu meter kubik kayu itu bisa menjadi sekitar 50 lembar papan. Artinya bisa memproduksi 20 meja kursi," katanya.

Jadi warga bisa mendapat nilai tambahnya, seperti yang banyak melakukan itu orang Jawa, Manado dan Bugis. "Sedangkan masyarakat Papua itu hanya sekitar dua persen saja yang bisa mengolah hasil hutan. Itu pun hanya bekerja sebagai buruh kasar," kata Hendrik.
   
Hendrik juga mengalami kesusahan untuk mengangkut kayu dari hutan adatnya.
   
"Kami tersendat di mesin dan kendala sungai musim kemarau tidak bisa lewat, dari lokasi kayu ke jalan pemerintah butuh tiga jam itu juga pakai 'long boat' dan sesuai aturan tidak boleh pakai alat berat," ungkap Hendrik.
   
Hendrik yang tadinya adalah pekerja kasar di perusahaan HPH dan ikut merusak hutan dengan alat berat mengaku sudah "bertobat" sejak 2008, ketika WWF datang untuk mulai memberikan pelatihan kepada masayrakat. 
   
"Mebel paling cepat diolah, tinggal dibuat dari bahan baku yang ada di sekitar sini, nanti bapak-bapak WWF sebagai pendamping yang mencari pasaran," kata Hendrik.
   
Hendrik maupun Andreas berharap agar bisnis mebel mereka pun dapat berkembang keluar kabupaten bahkan bisa mungkin mencapai pasar ekspor.
   
"Harapan saya adalah agar kami dapat bersaing di pasar, karena orang luar juga bisa, kenapa kita tidak bisa? Toh sama-sama kita makan nasi, apa salahnya kita kelola hasil hutan kita sendiri? Saya ingin agar warga Papua bisa mengelola hutan sendiri, bisa terjun ke bisnis," kata Andreas. 

Hutan Lestari
Dalam buku "Masyarakat Adat dan Pengelolaan Hutan Lestari di Provinsi Papua" karya Sustainable Forest Development Coordinator WWF-Indonesia Program Papua Piter Roki Aloisius Puang dan Prasetyo disebutkan bahwa hutan Papua terdiri dari berbagai kayu dengan nilai jual tinggi dan menjadi primadona.
   
Contohnya, kayu merbau (instia sp), matoa (Pometia sp), linggua (Pterocarpus indicus), kayu cina (Podocapus sp) dan berbagai jenis kayu komersial lainnya.    
Namun masyarakat adat hanya menjadi penonton karena keuntungan hutan diambil oleh pihak lain padahal sumber hidup mereka sehari-hari bergantung pada kelestarian hutan tempat tinggal.
   
Disebut penonton karena awalnya kebijakan pengelolaan hutan Papua sejak 1999 dilakukan pemerintah pusat dengan pengeluarkan HPH bagi perusahaan kayu. Tercatat pada pertengahan 1997, jumlah ada 59 perusahaan pemilik HPH dengan target produksi kayu bulat sebanyak 3.744.819 meter kubik.

Selain itu juga beroperasi pengusahaan hutan dengan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan Izin Sah lainnya (ISL) pada areal seluas 12.851 hektare dengan produksi kayu bulat sebanyak 404.173 meter kubik.
   
Namun dinamika politik Indonesia mendorong terjadinya otonomi daerah menyebabkan perubahan beberapa kebijakan pengelolaan hutan di antaranya perubahan dari "state based forest management" ke "community based forest management" dan dari "timber management" ke araha "ecosystem based forest" 
   
Perubahan kebijakan ini berawal dari diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah serta UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
   
Provinsi Papua juga menerbitkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dan Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakt Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.
   
Dampak dari aturan-aturan tersebut adalah munculnya harapan untuk membuka lebih banyak lapangan kerja, peningkatan nilai pajak daerah, peningkatan keterampilan dan keahlian masyarakat adat di Papua dan peningkatan taraf hidup masyarakat adat Papua karena memberikan kesempatan untuk penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA) dan Izin Usaha Industri Kayu Rakyat Masyarakat Hukum Adat (IUIKR-MHA)

Pendapingan   
Sejak 2006, WWF Indonesia-Program Papua telah melakukan pendampingan terhadap 4 koperasi serba usaha (KSU) yang dibentuk masyarakat untuk pengelolaan hutan. Yaitu KSU Mo Make Unaf di Kampung Kaliki, Distrik Kurik (Kabupaten Merauke); KSU Jibogol di Kampung Guryat serta Distrik Unurum Guay (Kabupaten Jayapura), KSU Tetom Jaya di Kabupaten Sarmi dan KSU Yera Asai di Kabupaten Yapen.

Keempatnya juga sudah mendapat IUPHHK-MHA dan IUIKR-MHA. Pendampingan itu dimulai dari persiapan kelembagaan, perizinan, pengembangan kapasitas kelompok dengan beberapa kegiatan pelatihan hingga mempersiapkan rencana pengelolaan.
   
KSU Jibogol dibentuk pada 9 Juni 2008 oleh masyarakat, tokoh masyakat dan tokoh adat kampung Guriad. Ada 2 suku besar yang tinggal di Kampung Guriad. Pertama, Suku Tratra yang terdiri atas marga Kulang, Kaya dan Birawa dan kedua Suku Sigi yang terdiri atas dua marga, yaitu Bunggu dan Mawere. 
   
Selain kelompok marga tersebut masih ada beberapa marga yang tingggal di Kampung Guriad, antara lain, marga Bargue, Sobor, Dias, Dorebia, Sanggra, Bunggu, Hawi dan Guer.
   
Sedangkan KSU Tetom Jaya merupakan hutan hak ulayat dari 15 marga yang tinggal di kampung Armopa, Ke-15 marga yang ada di sana adalah Nemnai, Aboway, Bagre, Baunik, Beneftar, Kubuan, Ketjeway, Wendey, Sernay serta Suku Marenggi yang terdiri atas marga Jok, Korman, Karos, Doran dan Kumbuai.
   
Kegiatan pertama yang dilakukan adalah memberikan pelatihan pemetaan partisipatif, yaitu metode menempatkan masyakat sebagai pelaku pemetaan wilayah sekaligus penentu perencanaan wilayah mereka sendiri sehingga masyarakat sadar akan hak atas tanah dan sumber daya alam mereka. 
   
Kegiatan kedua adalah membuat basis studi sosial, ekonomi dan budaya dengan merinci data masyarakat di kampung mulai dari jumlah penduduk, jenis kelami, jumlah kepala keluarga, tingkat pendidikan dan jenis mata pencaharian penduduk.
   
Ketiga, menentukan areal kelola untuk mendapatkan pengakuan hak masyarakat atas wilayah adat dan ruang kelola secara adil antarmarga hingga pemberian kompensasi. KSU Jibogol, misalnya, punya luasan rencana areal kerja seluas 5.400 hektare.

Namun ketentuan luasan penguasaan hutan masyarakat adat adalah 2000-5000 hektare. Sementara arela kelola KSU Tetom Jaya seluas 4800 hektare.
   
Keempat, inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP), yaitu perincian keadaan penyebaran pohon yang meliuti jumlah, komposisi dan volume pohon yang akan ditebang. ITSP dibatasi hanya 2 persen 
   
Kelima, pembentukan koperasi masyarakat pemilik hak ulayat dan badan usaha milik masyarakat dalam bentuk KSU. KSU itu juga harus memiliki visi dan misi kelembagaan serta Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang sudah dikoordinasikan sebelumnya dengan Dinas Koperasi dan Dinas Kehutanan setiap kabupaten. 
   
Keenam, WWF bekerja sama dengan Dinas Kehutanan dan Konservasi Papua dan Balai Pemantauan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu wilayah XVII Jayapura melakukan penyiapan tenaga teknis (ganis) kehutanan untuk mengolah hasil hutan yang memenuhi syarat legalitas. Peserta yang mengikuti pelatihan dan dinyatakan lulus berhak pendapat Surat Tanda Tamat Pendidkan Pelatihan dan diangkat sebagai Tenaga Teknis Pengjui Kayu Bulat Rimba Indonesia (Ganis PKBRI) 
   
Ketujuh, pelatihan Best Management Practice (BMP) bidang produksi pengelolaan hutan lestari oleh masyarakat adat dengan melibatkan masing-masing perwakilan KSU. Anggota KSU diharapkan dapat memahami pengelolaan hutan bidan produksi yang meliputi kegiatan survei, pengelolaan areal kerja (PAK) sederhana, cruising, penataan usaha hasil hutan, dokumentasi laporan hasil produksi, hingga perawatan mesin "portable saw mill".
Andreas Simotiaref sedang bekerja di bengkel Koperasi Serba Usaha (KSU) Tetom Jaya, distrik Bonggo, kabupaten Sarmi, Papua. (ANTARA News/Desca Lidya Natalia)
Hendrik Kulang selaku Ketua KSU Jibogol, Kampung Guryat, Kabupaten Jayapura berpose dengan anggotanya. (ANTARA News/Desca Lidya Natalia)


Persoalan
Hal yang mengganjal saat ini tinggal belum keluarnya aturan mengenai norma, standar, prosedur, kriteria (NSPK) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. NSPK bertujuan memudahkan masyarakat yang mengurus perizinan hutan adat mereka sesuai UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 

Untuk menyamakan persepsi, maka regulasi daerah harus sama dengan regulasi nasional dalam bentuk NSPK. Penyelarasan itu, misalnya, dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 13 Tahun 2010 tidak hanya mengatur soal pengelolaan kayu, melainkan ada kewajiban masyarakat untuk setiap areal pohon yang ditebang diganti dengan tanaman baru. Satu pohon yang ditebang harus diganti dengan 10 pohon baru. 
   
Dalam pengelolaan hutan tersebut, masyarakat setempat tak diperbolehkan menggunakan alat berat, hanya bisa menggunakan portabel somel yang dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Pengelolaan potensi hasil hutan non-kayu pun jauh lebih besar, di antaranya gaharu, kemedangan, rotan, karet dan juga jasa lingkungan seperti tempat wisata yang bisa dikunjungi.
   
Bila NSPK tak kunjung terbit, maka hasil olahan hutan hanya beredar di tingkat lokal yaitu di dalam kabupaten yang sama.
   
"Selama ini kami hanya bisa mengambil 20 meter kubik saja per orang dan 20 meter kubik itu didapat sebetar saja bisa hanya butuh 3 hari karena 1 pohon bisa bobotnya 5 meter kubik," kata Hendrik.
   
Tapi karena yang punya sertifikat pengambilan hasil hutan itu ada 20 orang maka dalam satu KSU bisa mengambil sampai 200 meter kubik dalam setahun.
   
Artinya bila dihitung-hitung, 10 meter kubik dikalikan 3 hari, kayu yang legalitasnya jelas dapat habis dalam waktu 30 hari alias sebulan. Sedangkan izin masih berlaku untuk 11 bulan lainnya. Bila NSPK tidak keluar, KSU-KSU itu hanya akan mengulang pola yang sama tanpa bisa mengolah lebih banyak lagi.
   
"Masyarakat adat ingin melakukan kegiatan tapi ada yang mengganjal legalitas NSPK itu, padahal pemerintah memberikan HPH kepada perusahaan, kenapa tidak memberikan izin bagi masyarakat? Kalau kami tidak diberikan (izin), HPH juga seharusnya dicabut dari tanah Papua," kata Hendrik. 
   
Melestarikan hutan Papua memang bukan hanya menjadi urusan masyarkat adat tapi juga keberpihakan politik dan pemerintah dari tingkat daerah sampai pusat. 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018