Tidak banyak negara di dunia ini,  jarang di dunia ketika negara terkena bencana yang akhirnya mau menetapkan status bencana nasional karena itu menunjukkan kelemahan dari negara tersebut,
Jakarta (Antara) - Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan status bencana negara menunjukkan kelemahan negara dalam penanggulangan bencana.

"Tidak banyak negara di dunia ini,  jarang di dunia ketika negara terkena bencana yang akhirnya mau menetapkan status bencana nasional karena itu menunjukkan kelemahan dari negara tersebut," katanya dalam Konferensi Pers Update  Penanganan Dampak Gempa di Nusa Tenggara Barat, Jakarta, Selasa.

Sutopo mengatakan Indonesia merupakan negara yang kuat dan mampu menangani bencana gempa bumi yang ada di Lombok sehingga tidak perlu adanya penetapan bencana di Lombok sebagai bencana nasional. 

"Kita ingin menunjukkan bahwa kita sanggup mampu mengatasi bencana yang ada di Lombok. Potensi nasional masih sanggup, yang kita tegakkan bahwa Indonesia adalah negara yang kuat, negara yang tangguh menghadapi bencana. Perkara nanti bantuannya penuh dari pusat tidak apa-apa, kita tegakkan tetap keberfungsian pemerintah daerah," ujarnya. 

Status bencana nasional juga dapat menjadi  masalah kedaulatan negara. Jika ditetapkan sebagai bencana nasional, dia mengatakan dunia internasional dapat memandang Indonesia tidak mampu menangani bencana.

Padahal, Indonesia sendiri pernah meraih penghargaan Global Champion for Disaster Risk Reduction dari Badan Perserikatan Bangsa-bangsa karena Indonesia mampu menekan risiko penanganan bencana alam sendiri.

Apalagi negara lain juga belajar dari pengalaman Indonesia menanggulangi bencana.

"Kalau dinyatakan status bencana nasional pasti juga ada banyak desakan-desakan internasional untuk mengirim bantuan ke Indonesia. Tapi bantuan internasional bisa masuk atau tidak tergantung dari declare (pernyataan) dari presiden," ujarnya.

Dia mengatakan sekalipun pemerintah daerah Lombok Timur dan Barat menyatakan tidak sanggup, tapi Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat sendiri menyatakan mampu. Ini harus dihormati dan dipahami bahwa daerah sendiri mampu menangani bencana, tentu dengan didukung dan diperkuat oleh pemerintah pusat. 

"Status bencana nasional tidak diperlukan. Kenapa? Skala penanganannya saat ini adalah sudah skala nasional," tegasnya. 

Di dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kepala daerah adalah penanggung jawab utama penyelenggaraan penanggulangan bencana baik pra bencana, tanggap darurat hingga pascabencana.

"Pemerintah pusat mendampingi dan memperkuat daerah yang terkena bencana," tuturnya. 

Sutopo menuturkan kendala yang dihadapi di lapangan pascagempa bumi Lombok adalah keterbatasan jumlah terpal karena kebutuhan semakin banyak karena banyak warga mengungsi mandiri, tidak adanya alat pemotong besi di sejumlah penggunaan alat berat, jalur komunikasi belum normal dan belum pulihnya jaringan listrik di beberapa tempat. 

Namun demikian, pemerintah terus berupaya menanggulangi bencana gempa di Lombok dan melakukan pemulihan. Bantuan demi bantuan terus mengalir dan didistribusikan. Rehabilitasi rumah warga yang mengalami kerusakan juga akan segera dilakukan. 

Dalam peraturan perundang-undangan,  status bencana didasarkan pada lima variabel,  yaitu jumlah korban, kerugian, kerusakan sarana, cakupan luas wilayah, dan dampak sosial ekonomi.

Namun, Sutopo menuturkan ada satu indikator yang sulit diukur yakni kondisi pemerintah setempat baik keberadaan maupun fungsi apakah  pemerintah daerah collapse atau masih ada. 

Pada kenyataannya, pemerintah daerah setempat tidak lumpuh total dan menyatakan sanggup menangani bencana ini seperti yang disampaikan gubernur Nusa Tenggara Barat. Dan penanggulangan bencana, pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa bumi di Lombok tentu juga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. 

Baca juga: Warga Lombok berharap status bencana nasional
Baca juga: Status gempa Lombok tidak dinaikkan jadi bencana nasional

 

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2018