Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Ahmad Basarah mengatakan perbedaan yang ada di Indonesia adalah sebuah anugerah dari Tuhan Yang Mahakuasa dan hendaknya dijadikan sebagai kekuatan untuk terus merajut persatuan dan kesatuan nasional.

"Mari kita jadikan perbedaan sebagai sarana perekat persatuan dan kesatuan nasional karena bangsa ini didirikan bukan untuk satu golongan, bukan untuk satu agama atau suku," kata Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Ahmad Basarah dalam peringatan 73 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Jumat.

Menurut Basarah, pesta demokrasi berupa pemilihan kepala daerah dan pemilu presiden tidak boleh merusak persatuan dan kesatuan nasional. Adanya perbedaan sikap dan pandangan politik adalah hal yang lumrah.

"Jangan sampai perbedaan tersebut menjadi runcing dan mengoyak persatuan dan kesatuan nasional," katanya. 

Ia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara satu untuk semua, semua untuk satu dan semua untuk semua yang diikat oleh konsensus berbangsa dan bernegara, Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan itu melanjutkan, ada hal menarik dalam peringatan kemerdekaan Indonesia sejak awal Pemerintahan Presiden Jokowi termasuk peringatan HUT Ke-73 RI, yaitu penggunaan berbagai macam pakaian adat bangsa Indonesia.

Baca juga: Presiden kenakan busana adat Aceh dalam upacara perayaan HUT RI ke-73

Menurut Basarah hal tersebut harus dipahami sebagai penegasan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku, golongan masyarakat, dan agama.

"Ini adalah tradisi positif sekaligus pengakuan dan penegasan bahwa kemerdekaan Indonesia ditujukan untuk semua. Indonesia, satu buat semua dan semua buat satu," kata Basarah.

Menurut dia tradisi peringatan kemerdekaan dengan menghadirkan beragam pakaian dan adat serta budaya bangsa ini perlu untuk terus dipelihara dan dilestarikan sebagai sebuah tradisi kebangsaan yang dapat menjadi rujukan generasi-generasi yang akan datang.

"Oleh siapa pun presidennya. Apalagi, mengingat beberapa waktu belakangan ini muncul fenomena penumpang gelap demokrasi ," kata Basarah menegaskan. 

Pendiri Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) tersebut melanjutkan bahwa peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 telah melahirkan Indonesia sebagai sebuah negara bangsa. Artinya, seluruh loyalitas primordial yang sebelumnya ditonjolkan seperti identitas kesukuan, kedaerahan, maupun agama kini melalui momentum proklamasi kemerdekaan bersepakat untuk tunduk pada loyalitas nasional bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

"Di dalam NKRI tersebut, tugas semua anak bangsa untuk terus menerus merawat identitas keindonesiaan kita, salah satunya yang dilakukan Presiden Jokowi dengan menghadirkan pesan-pesan simbolik berupa pakaian adat untuk memelihara memori kolektif kita sebagai sebuah bangsa yang meski berbeda-beda tetapi tetap satu," kata Basarah.

 Sejarah telah membuktikan sejak peristiwa kebangkitan nasional pada tahun 1908 kemudian peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928 dan selanjutnya adalah Proklamasi Indonesia tahun 1945 hingga saat ini, eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara bangsa masih tetap kokoh berdiri karena semua menempatkan persatuan Indonesia di atas berbagai perbedaan yang ada, katanya.

"Rentetan peristiwa bersejarah itulah yang menjadi saksi perjuangan bangsa Indonesia. Dengan menempatkan persatuan dan kesatuan maka cita cita besar bangsa dapat terwujud. Penjajah dapat diusir dari tanah air dan Indonesia merdeka. Oleh karenanya tepat apa yang disampaikan proklamator bangsa, Bung Karno untuk jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, Jas Merah," katanya.

Baca juga: Gaya Jan Ethes, cucu Presiden Jokowi saat upacara kemerdekaan
 

Pewarta: Jaka Sugiyanta
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2018