Jakarta (ANTARA News) - Deforestasi dan degradasi hutan besar-besaran terjadi di akhir 1997.

Hampir tujuh juta hektare (ha) hutan disetujui untuk dikonversi menjadi perkebunan, meski tidak semuanya langsung berubah menjadi kebun.

Jauh sebelumnya, di periode 1960-an sampai dengan 1990-an, program transmigrasi untuk mengurai kepadatan populasi Pulau Jawa telah mengonversi hutan sekitar dua juta ha.

Sedangkan produksi industri pengolahan kayu dalam 30 tahun era Orde Baru (Orba) menempatkan Indonesia sebagai produsen utama kayu bulat, kayu lapis, pulp dan kertas. Tidak ada istilah kata keberkelanjutan, banyak dari perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) semata-mata mengejar produksi, membuat hutan terdegradasi.

Lalu ada pula yang ilegal. Hasil pembalakan liar yang konon menembus angka jutaan ha luasan hutan pada masa itu untuk mencukupi industri pengolahan kayu yang sedang naik daun namun ternyata HPH tidak mampu mencukupi bahan baku.

Muncullah hutan tanaman industri (HTI) yang digadang-gadang mampu menyediakan pasokan untuk industri pengolahan kayu. Namun sayangnya teknik pembukaan lahan yang digunakan justru kebanyakan membuat lahan semakin terdegradasi, memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang memunculkan asap.

Setali tiga uang dengan HPH dan HTI, maka pengembangan pertanian dan perkebunan besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan pangan populasi yang semakin bertambah entah itu di Jawa, Sumatera atau Kalimantan juga ternyata menimbulkan masalah terhadap kondisi lingkungan.

Kegagalan Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektare di Kalimantan Tengah menjadi contoh dari masa lalu yang hingga kini belum sepenuhnya dapat diperbaiki, yang mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat di sana akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Lahan gambut yang terdegradasi dan kerap terbakar memunculkan asap yang mengganggu kesehatan, pendidikan, ekonomi masyarakat.

Masa telah berubah. Dunia mulai satu suara soal keberlanjutan demi lingkungan hidup yang layak, yang mampu mendukung kehidupan populasi penduduk bumi yang semakin bertambah dan diperkirakan mencapai 9,8 miliar di 2050

Sejak 21 Oktober 2015, negara-negara lintas pemerintahan telah mencanangkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) pada resolusi PBB sebagai ambisi bersama hingga 2030. Ada 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan PBB sebagai agenda dunia sebagai upaya menciptakan planet bumi yang layak huni.

Target SDGs ini kemudian diperkuat dengan adanya Kesepakatan Paris (Paris Agreement) hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB di Konferensi Para Pihak (Conference of Parties/COP) ke-21 Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) di Paris, Prancis, 2015, yang menyepakati untuk melakukan upaya bersama menekan peningkatan suhu bumi hingga di bawah dua derajat Celsius dari 2020 sampai dengan 2030.


Merancang pembangunan hijau

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro di the 5th Singapore Dialogue on Sustainable World Resources di Singapura, Jumat (18/5), mengatakan perubahan iklim menjadi tantangan yang perlu dijawab dengan strategi kebijakan pembangunan berkelanjutan.

Bagaimanapun, lanjutnya, Indonesia masih perlu bersaing untuk membuat pertumbuhan ekonomi, tetapi perlu seimbang dalam hal pertumbuhan ekonomi, sosial dan keberlanjutan lingkungan hidup.

"Di 2030, kami akan menghadapi masalah demogratif jika kami gagal memanfaatkan bonus demografi, dan ini akan pengaruhi pertumbuhan ekonomi. Upaya pembangunan keberlanjutan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara tekanan urbanisasi dan aktivitas di kota menjadi persoalan," lanjutnya.

Peningkatan suhu di perkotaan juga terjadi, dan perubahan iklim mempengaruhi tekanan terhadap lingkungan, dampaknya karhutla yang juga menjadi ancaman keanekaragaman hayati, ujar Bambang.

Degradasi lingkungan hidup berada pada tahap terparah, maka perlu kebijakan yang pas dan strategi yang seimbang antara pemanfaatan sumber daya untuk ekonomi dan lingkungan yang keberlanjutan.

Maka Bappenas, menurut dia, sedang menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang memperhitungkan daya dukung dan daya tampung, yang kerangka teknokratifnya akan selesai akhir 2018 atau awal 2019.

Untuk bisa menghasilkan RPJMN "hijau" tersebut ia mengatakan Bappenas mengembangkan model untuk menentukan daya dukung dan daya tampung, sehingga perencanaan pembangunan daerah termasuk setiap di sektornya menjadi jelas.

Selama ini, menurut dia, baru ada kajian-kajian terbatas atau parsial terkait daya dukung dan daya tampung satu wilayah, namun kali ini kajian akan dibuat secara menyeluruh.

"Kita kan ingin keberlanjutan dari pembangunan kita dan daya dukung daya tampung itu cara menjaga keberlanjutan itu tadi. Kita harus melihat kondisi sekarang, kita tidak bisa melihat satu daerah masih kosong. Kita berangkat dari kondisi sekarang, kita lakukan simulasi dengan model, seberapa jauh itu bisa ditingkatkan daya dukung daya tampungnya," lanjut Bambang.

Dengan adanya kajian menyeluruh tentang daya dukung dan daya tampung bisa menjelaskan kondisi suatu wilayah.

"Dan jika memang masih bisa digunakan untuk pertanian misalnya, ya dijalankan saja, ekonomi bisa berkembang dan masyarakat tetap bisa mendapatkan manfaat".

Contohnya, di Jawa mungkin untuk digunakan pertanian kondisi lahannya sudah jenuh, namun untuk perkebunan mungkin di beberapa tempat sudah jenuh, sehingga harus ada fokus peremajaan misalnya.

"Daripada buka lahan baru lebih baik peremajaan dari yang sudah ada".

"Kita pakai model kuantitatif, tapi nanti digabungkan dengan persepsi," kata Bambang saat ditanya model yang digunakan menentukan daya dukung dan daya tampung.

Pada akhirnya ia mengatakan agar tidak ada dualisme konflik antara menjaga lingkungan dengan kegiatan ekonomi lokal, intinya keseimbangan. ?Kita tidak mendahulukan satu atau lainnya yang penting seimbang?.


Pendanaan hijau

Direktur World Resources Institute Indonesia (WRI) Tjokorda Nirarta Samadhi mengatakan dalam menyusun RPJMN 2020-2024 untuk pertama kalinya Bappenas memasukkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) supaya ada pertautan antara pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan lingkungan.

KLHS di RPJMN mendatang berusaha untuk mengaitkan keduanya. Salah satu modalitas yang dilakukan adalah membuat "thematic studies" atas beberapa sektor diantaranya pertanian dan kehutanan, energi dan transportasi, perikanan, gambut dan air.

Gambut menjadi sektor terpisah yang dipelajari karena emisi yang dihasilkan bisa mencapai 42 persen dari yang dihasilkan secara nasional, sehingga sangat signifikan untuk dikelola secara tersendiri, lanjutnya.

"Thematic studies" ini, menurut dia, bertujuan untuk menangkap gagasan-gagasan investasi hijau, opsi bisnis dan bagaimana pendanaan tersebut bisa dilaksanakan.

Pendanaan hijau ini, menurut dia, menjadi penting karena ini berangkat dari pemahaman bahwa pendanaan yang dimiliki Pemerintah hanya bisa mendanai 17 sampai dengan 20 persen dari kebutuhan pembangunan RPJMN 2020-2024.

"Nah yang 80 persen siapa yang membiayai? Sudah pasti bukan pemerintah kan. Jadi pemerintah harus cermat dalam menggunakan dananya untuk bisa `leveraging? yang 80 persen," ujar dia.

Menurut dia, ini logis, di dalam melakukan proses "leveraging" pemerintah tidak boleh tidak mengajak sektor swasta.

"Thematic studies" tadi akan menangkap gagasan-gagasan dari sektor swasta untuk ikut melakukan pendanaan hijau.

"Mereka ini maunya apa? Masyarakat Adat seperti apa? Masyarakat maunya bagaimana? ini yang akan ditangkap. Bisa saja kan saat kita bicara soal energi pemangku kepentingan mengatakan kita harus menghapuskan batu bara kemarin, bukan hari ini," lanjutnya.

Jadi, ia mengatakan RPJMN 2020-2024 akan menjadi jauh lebih berorientasi investasi hijau karena dikembangkan dengan cara seperti di atas tadi. Dan ini akan berada dalam arah yang sama dengan "RPJMN" sektor swasta sesuai agenda The World Business Council for Sustainable Development (WBSCD) pada 2050.

Pendanaan restorasi gambut 2,4 juta ha diperkirakan membutuhkan dana sekitar 4,6 miliar dolar AS, sedangkan dana yang ada di pemerintah dan donor baru mencapai sekitar 200 juta dolar AS. Padahal dari 2,4 juta ha lahan yang harus direstorasi 1,4 juta ha merupakan area konsesi namun mereka masih menganggap restorasi sebagai beban.

Dengan RPJMN mendatang maka pihak swasta diajak berpikir agar restorasi justru menjadi sebuah peluang investasi. Maka permodelan berdasarkan pendekatan sains yang akan dilakukan Bappenas, menurut dia, akan memberikan gambaran secara luas bagaimana hasil pendanaan hijau jika dilakukan dalam kurun waktu lima, 10 atau 20 tahun mendatang.

Pewarta: Virna Puspa S
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018