Jakarta (ANTARA News) - Amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan aturan perlindungan anak dalam proses pendidikan yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU Perlindungan Anak, serta Pasal 39 ayat (3) UU Guru dan Dosen konstitusional.

"Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU 35/2014 mengatur mengenai perlindungan anak dari tindak kekerasan atau kejahatan lainnya yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan," ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan pertimbangan hukum di Gedung MK Jakarta, Kamis.

Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU perlindungan anak dinilai Mahkamah merupakan wujud konkret Pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada setiap orang, terutama kepada anak sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.

"Kekerasan sebagai alat untuk mendidik pada masa sekarang ini sudah tidak relevan, hukuman dalam proses pendidikan harus digunakan dalam rangka mendidik, membimbing, dan mencerdaskan peserta didik," tegas Palguna.

Terkait dengan tindak pidana, baik yang dilakukan oleh pendidik maupun oleh peserta didik, hal itu dinilai Mahkamah tetap merupakan tindak pidana yang dapat diterapkan kepada kedua belah pihak baik pendidik maupun peserta didik.

Baca juga: KPAI: Pengaduan pendidikan terbanyak dari Jakarta
Baca juga: KPAI ungkap mayoritas kekerasan guru terjadi di lingkungan sekolah


Penyelesaian tindak pidana tersebut tentu mengedepankan penyelesaian secara kekeluargaan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan oleh akibat yang timbul karena adanya tindak pidana baik yang dilakukan oleh pendidik, peserta didik, orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi, ataupun pihak lain.

Mahkamah menilai keberadaan dan peran Dewan Kehormatan Guru haruslah dioptimalkan, sehingga bila terdapat indikasi tindak pidana yang dilakukan oleh pendidik, Dewan Kehormatan Guru dapat menyampaikan pendapat dan rekomendasinya.

"Pendapat dan rekomendasinya dilakukan sebelum adanya tindakan hukum oleh penegak hukum, sehingga penegakan hukum pidana benar-benar berfungsi sebagai upaya terakhir," ujar Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati membacakan pertimbangan Mahkamah.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum, sehingga Mahkamah menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.

Sebelumnya, Dasrul dan Hanna Novianti yang berprofesi sebagai guru menyatakan mengalami kriminalisasi akibat berlakunya pasal-pasal tersebut.

Dalam permohonannya, para pemohon menyatakan telah mengalami ketidakpastian hukum dan merasa tidak diperlakukan adil sehingga menjadikan posisi guru sulit untuk menjadi independen akibat tekanan dari berbagai pihak.

Baca juga: Tekanan ekonomi picu ibu aniaya anak hingga tewas

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018