Pekanbaru (ANTARA News) - Keteguhan hati seorang anak di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, bisa meluluhkan hati semua orang termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia adalah Bulan Karunia Rudianti, anak yang tidak pernah menyerah untuk berjuang, meski dilahirkan tanpa kedua kaki.

Tidak ada yang menyangka sebuah surat yang ditulis tangan pada akhir bulan Maret 2018 itu bisa membuat kehebohan. Dengan bahasa yang sederhana, Bulan punya satu permohonan untuk orang nomor satu di Republik Indonesia itu.

"Saya menulis surat itu karena saya sering lihat di televisi Pak Presiden Jokowi memberi hadiah sepeda untuk anak-anak. Tapi saya sadar tidak punya kaki, makanya berharap dapat hadiah kursi roda dari Presiden Jokowi. Itu akan jadi hadiah yang luar biasa buat saya," kata Bulan kepada Antara di Pekanbaru.

Surat yang diunduh Bulan di akun pribadi Instagramnya itu kemudian "viral", dan menjadi pusat pemberitaan sejumlah media. Ia sebenarnya sudah memiliki kursi roda yang kini sudah mulai kekecilan, dan diletakan disekolahnya untuk belajar setiap hari.

Sementara itu, ketika di rumah, Bulan beraktivitas menggunakan papan luncur ketika bermain diluar rumah.

Tidak butuh lama permohonan siswa kelas 3 SDN 88 Kota Pekanbaru itu terkabul, karena sebuah kursi roda baru warna merah marun dari Presiden Jokowi langsung diantarkan untuk Bulan disekolahnya.

Siapa sebenarnya Bulan, dan kenapa dia begitu berani untuk anak yang berusia 10 tahun? Surat permohonan ke Presiden Jokowi itu akhirnya membuka kisah hidupnya yang penuh cobaan sejak lahir.

Bulan adalah anak ketiga dari pasangan Purwanti dan Rudi Arifin. Ia lahir pada 7 Juli 2007 dalam keadaan tanpa kaki, diduga terserang tokso saat kandungan ibunya berusia delapan bulan.

"Sejak kandungan lima sampai tujuh bulan, ketika diperiksa dokter, semua anggota tubuh anak saya lengkap. Tapi ketika umur delapan bulan kakinya tidak kelihatan lagi. Dokter menduga karena posisi badannya `lipat pandan` atau tertekuk," kata Purwanti, ibu kandung Bulan.

Purwanti masih ingat ketika dirinya dalam kondisi setengah sadar usai menjalani operasi cesar disebuah rumah sakit swasta di Pekanbaru. Ia melihat asisten dokter menangis disebelahnya. Ia sempat bertanya, bagaimana kondisi anaknya.

"Asisten dokter itu hanya mengatakan anak ibu cantik," kata Purwanti mengisahkan saat kelahiran Bulan.

Perempuan itu menanti satu hari, dua hari, hingga hari kelima untuk bisa berjumpa dengan anaknya. Pihak rumah sakit mengatakan bayinya harus ditempatkan di inkubator karena kondisi tertentu. Saat perjumpaan itu tiba, Purwanti tidak bisa membendung lagi air matanya. Tangisnya pecah, dan nama Bulan terucap langsung dari mulutnya.

"Saya hanya lihat sepotong badannya bergerak, dan saya langsung menangis. Saya belum kasih dia nama, tapi saya langsung sebut nama Bulan Karunia artinya supaya dia terang hidupnya," ucapnya.

"Sabar ya, Bulan. Saya tak akan sembunyikan kamu, kita harus kuat," lanjut Purwanti mengulang janji yang diucapkan untuk anaknya.


Korban Diskriminasi dan Rundung

Kekurangan fisiknya membuat Bulan harus menjalani hidup ekstra keras dibandingkan dengan anak seusianya. Peran orangtua sangat besar untuk membentuk kepercayaan dirinya. Pernah suatu hari Bulan bersembunyi di balik pintu ketika kawan ibunya bertandang ke rumahnya.

Dia merasa orangtuanya akan malu kalau ada orang lain melihat kondisi fisik Bulan. "Dia takut mamanya malu. Tapi saya selalu katakan ke dia, mama tidak malu dan akan mama kenalkan ke semua orang," ujarnya.

Bulan tumbuh sebagai anak yang cantik dengan ukuran badan atasnya normal, meski tanpa kaki. Purwanti mengatakan anaknya punya daya tangkap dan rasa keingintahuan tinggi. Bulan mengikuti les privat untuk belajar baca-tulis dan berhitung. Sejak kecil Bulan sudah belajar menggunakan komputer yang kini berguna untuk mengasah hobi menggambarnya.

"Hobinya menggambar dan membuat komik. Dia punya harapan kalau komiknya terjual, uangnya untuk membantu kawan-kawannya yang tidak sanggup beli seragam sekolah," kata Purwanti.

Bulan juga belajar berenang secara otodidak meski tanpa kaki. Selain itu, ia juga mau membantu ibunya mencuci piring. "Dia serba belajar dengan otodidak," katanya.

Meski begitu, kendala bagi penyandang disabilitas adalah untuk mendapat akses pendidikan formal. Bulan sempat kesulitan mendapat sekolah dasar negeri karena kondisinya yang lahir tanpa kaki.

"Ada beberapa sekolah menolak Bulan dan disuruh ke SLB (Sekolah Luar Biasa) saja. Saya tak mau karena anak saya hanya fisiknya yang kurang, tapi dia sangat cerdas," kata Purwanti.

Diskriminasi pendidikan terhadap anak disabilitas itu berlangsung selama dua tahun. Bulan sempat mencoba sekolah di rumah (homeschooling), namun ia tidak betah karena merasa tidak bisa punya banyak teman seperti sekolah umum.

Bulan akhirnya bisa bersekolah di SDN 88, Kota Pekanbaru, meski terlambat ketimbang anak seusianya. Sekolah itu cukup jauh, berjarak sekira 15 kilometer dari rumahnya. Setiap hari Purwanti mengantar jemput Bulan dengan sepeda motornya.

Selain itu, cobaan hidup untuk Bulan juga datang dari kawan-kawannya di sekolah yang merundung kondisi fisiknya. Orangtua Bulan membuat kaki palsu dari paralon agar kondisi cacatnya tidak terlalu terlihat jelas. Keinginan untuk memasang kaki palsu agar Bulan bisa berjalan itu ada, namun Purwanti mengatakan biayanya sangat mahal.

"Dokter mengatakan Bulan harus menjalani operasi cangkok di pangkal pahanya untuk bisa menggunakan kaki palsu. Tapi biayanya sangat mahal, kabarnya mencapai Rp1 miliar," ujarnya.

Bulan juga merasa tidak perlu berkecil hati karena rundungan atau "bully" dari kawan-kawannya. Ia tidak pernah merasa dendam.

"Saya maafkan karena mereka kawan-kawan saya," kata Bulan.

Anak berusia 10 tahun itu berharap kondisi fisiknya tidak menghalanginya untuk bisa bersekolah setinggi-tingginya. "Saya ingin menjadi pelukis," kata Bulan tentang cita-citanya.


Berprestasi di Sekolah

Kepala Sekolah SDN 88, Eliana, mengatakan Bulan adalah murid dengan disabilitas pertama yang diterima disekolah itu. SDN 88 ditunjuk pemerintah sebagai sekolah inklusi sejak tahun 2016, yaitu sekolah negeri yang menerima anak berkebutuhan khusus.

"Bulan adalah murid pertama yang berkebutuhan khusus di sekolah ini," kata Eliana.

Meski terlambat mengenyam pendidikan formal, ia menilai Bulan sangat cerdas karena sudah bisa membaca, menulis bahkan cukup pandai berbahasa Inggris.

"Karena sudah pintar, Bulan hanya enam bulan di kelas 1 langsung naik ke kelas 2. Di kelas 2, dia juga hanya enam bulan langsung kelas 3," katanya.

Pihak sekolah memberikan perlakuan khusus kepada Bulan dengan memperbolehkan menggunakan kursi roda, pelajaran olahraga yang disesuaikan namun tidak membedakan dalam perihal nilai. Meski begitu, nilai akademik Bulan cukup menonjol dibandingkan siswa lainnya yang kondisi fisiknya normal.

"Dia dapat juara dua pada semester 1 di kelasnya sekarang," katanya.

Sementara itu, Maryati, wali kelas 3B tempat Bulan belajar mengatakan, kepercayaan diri Bulan sangat tinggi dan tidak takut untuk bersaing dengan murid lainnya.

"Bahkan, Bulan berani menjadi dirigen memimpin murid bernyanyi ketika upacara bendera. Lebih berani dibandingkan anak lainnya," kata Maryati.

Meski pun awalnya Bulan mendapat cemooh dari murid lain karena kondisi fisiknya, namun Bulan tetap sabar. Karena itu, sebagai guru Maryati merasa tertantang untuk memberikan pemahaman kepada murid-murid lainnya agar tidak merudung kondisi fisik Bulan.

Perhatian dari pemerintah kini mengalir untuk Bulan. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Mimi Nazir mengatakan, Kementerian Kesehatan memberikan perhatian penuh sejak surat Bulan ramai diperbincangkan di media sosial.

"Dari Pemprov Riau juga mengajak Bulan untuk memeriksakan kondisinya ke RSUD Arifin Achmad untuk bisa mendapat perawatan lebih lanjut untuk kakinya," kata Mimi.

Ia berharap ke depannya Bulan bisa dibantu agar bisa memiliki kaki palsu untuk aktivitasnya.

Pewarta: Febrianto Budi Anggoro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018