Trenggalek (ANTARA News) - Ratusan warga, penggiat lingkungan dan pelajar ramai-ramai melepas 1.000 ekor tukik jenis penyu hijau (Chelonia Mydas) di Pantai Taman Kili-kili, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Selasa.

Aksi yang diprakarsai komunitas penggiat lingkungan dari Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Konservasi Penyu Taman Kili-kili itu dilakukan secara masal melibatkan berbagai elemen masyarakat yang diberi nama "tradisi ucul-ucul".

Selain melepas anakan penyu sejumlah 1.000 ekor lebih, tradisi ucul-ucul juga ditandai dengan pelepasan seratusan ekor burung berbagai jenis ke alam bebas.

"Tradisi ucul-ucul ini menjadi kegiatan tahunan setiap di akhir musim penyu bertelur yang biasanya berlangsung pada periode April-Juni," kata Sekretaris Pokmaswas Konservasi Penyu Taman Kili-kili, Kecamatan Panggul, Eko Margono.

Sebelum pelepasan tukik secara masal itu, Eko mengatakan Pokmaswas Konservasi Penyu Taman Kili-kili secara periodik telah melepas tukik-tukik yang lebih dulu menetas.

Selama periode musim bertelur tahun ini total ada sekitar 3.000 ekor tukik yang sudah mereka lepas liarkan ke laut bebas dengan cara melarungnya dari tepi Pantai Kili-kili (Taman Kili-kili).

"Saat ini masih ada satu kelompok telur yang belum menetas dan masih masa inkubasi di tempat khusus dan rutin kami awasi," kata Ari Gunawan, penggiat konservasi penyu yang lain menginformasikan.

Tidak semua telur penyu berhasil menetas. Dari total sekitar 3.600-4.000 butir telur penyu yang berhasil mereka evakuasi dari sejumlah titik lokasi di pantai setempat dan sekitarnya, Eko memperkirakan hanya skeitar 85 persen yang berhasil ditetaskan.

Selebihnya gagal menetas karena keterlambatan proses evakuasi atau pemindahan telur ke lokasi konservasi, dimana jika lebih dari 24 jam setelah induk penyu bertelur risiko gagal (menetas) tinggi.

"Tahun ini ada sekitar 54 induk penyu yang mendarat di Taman Kili-kili, untuk bertelur. Total ada skeitar 3.000 ekor tukik berhasil menetas. Mudah-mudahan dengan vegetasi pantai ang dilakukan, induk penyu ini akan semakin nyaman bertelur di sini," katanya.

Masa eram atau inkubasi telur penyu berkisar antara 49 hingga 53 hari. Rentang waktu itu biasanya menghasilkan tukik berjenis kelamin betina.

Pokmaswas juga membuat rekayasa agar masa inkubasi tersebut sedikit lebih lama dan menghasilkan tukik berjenis kelamin jantan.

"Ini ada yang masa inkubasinya lebih dari 60 hari, supaya menghasilkan tukik berjenis kelamin jantan," katanya.

Dijelaskan, ada empat jenis penyu yang biasanya mendarat di pantai kili-kili tersebut, yakni Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu Hijau (Chelonia Mydas), Penyu Sisik (Eretmochelys Imbricata) dan Penyu Belimbing (Dermochelys Coriacea).

Indukan penyu tersebut biasanya mulai mendarat untuk bertelur pada bulan april dan puncaknya pada bulan Juni. "Untuk jenis Belimbing ini terakhir kami temukan pada 2009, setelah itu sudah tidak pernah lagi," kata Eko.

Dikonfirmasi, Kepala Dinas Perikanan Syuhadak Abdullah mengatakan momentum pelepasan tukik seperti itu kemungkinan akan mulai dikurangi bertahap.

Ia beralasan, secara ilmiah tukik-tukik itu tidak boleh ditahan terlalu lama di penangkaran agar harapan hidup lebih tinggi.

"Setelah menetas kami akan langsung kasih jalan agar ke laut supaya bisa cepat beradaptasi dengan habitat aslinya," kata Syuhadak Abdullah.

Ia mengaku bersyukur, kegiatan konservasi penyu tersebut kini banyak didukung oleh berbagai pihak, baik BUMN, swasta, hingga LSM dan masyarakat umum.

Meningkatnya kepedulian itu berdampak positif karena ketergantungan terhadap pemerintah sudah mulai berkurang.

"Istilahnya keroyokan, dari pemerintah ada, provinsi ada, pusat ada, masyarakat juga mau turun tangan. Ini kan bagus namanya," kata Hadak, panggilan Syuhadak Abdullah.

Syuhadak menambahkan, penyu dikatakan dewasa atau bisa bertelur saat usia 25 sampai 30 tahun.

Dengan demikian, lanjut dia, tukik-tukik yang dilepaskan tersebut kemungkinan akan bisa berkembang biak lagi setelah usia 25-35 tahun.

Masalahnya, berdasar penelitian prosentase harapan hidup tukik hasil penangkaran yang dilepasliarkan hanya sekitar tiga (3) persen.

"Kenyataannya lebih rendah lagi akibat tingginya risiko (tukik) diserang predator alaminya seperti ikan, kepiting dan sebagainya," jata dia.

Selain itu, tak jarang tukik-tukik terdampak oleh aktivitas nelayan yang terkena jaring, pancing ataupun tersedot baling-baling kapal nelayan.

"Banyak faktor. Penilitian juga menyebut, meski penyu dikenal sebagai satwa yang mampu bermigrasi ribuan mil bahkan antarbenua, tukik yang dilepas di sini nantinya saat dewasa biasanya akan kembali bertelur dimana ia dulu berasal," kata Hadak.

Pewarta: Destyan HS
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017