Jakarta (ANTARA News) - Penerapan wacana "full day school" yang digulirkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, bisa berisiko mematikan solidaritas sosial dan toleransi anak jika tidak dilakukan secara hati-hati, menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).

"Pak Menteri mengurangi keluasan pendidikan karakter pada kekuatan berkompetisi, yang bila tidak berhati-hati cenderung mematikan solidaritas sosial dan toleransi," ujar Koordinator Nasional JPPI, Abdul Waidl dalam keterangan tertulisnya, Selasa.

Menurut Waidl, ada penyempitan makna pendidikan karakter dalam wacana ini. Makna berkarakter adalah bahwa pendidikan harus mengupayakan agar siswa memiliki watak (karakter) secara pribadi maupun sosial. Kedua watak tersebut akan mendorong seorang peserta didik yang kuat secara pribadi dan terlibat aktif dalam solidaritas dan empati sosial.

Sementara "full day school", lanjut dia, mengurangi keluasan pendidikan karakter pada kekuatan berkompetisi. Hal inilah yang bisa berujung matinya solidaritas sosial dan toleransi.

Selain itu, ada kesan gagasan "full day school" bias kota dan kelas menengah. Waidl mengungkapkan, gagasan ini mengasumsikan semua orangtua memiliki pekerjaan yang memakan waktu sehari penuh dan ada jarak letak tempat kerja yang jauh antara otangtua dan anak (siswa).

"Di desa, tentu keadaan tersebut tidak berlaku, dan
bagi keluarga tidak mampu anak adalah bagian dari keluarga yang memiliki tugas lain selain bersekolah," kata dia.

Hal lainnya ialah adanya pengabaian pilar utama pendidikan, yakni keluarga dan masyarakat. Padahal, pendidikan karakter dapat matang karena hubungan keluarga dan sosial, bukan semata penguasaan formal materi pelajaran.

"Kematangan seorang siswa tentu bukan
hanya ditentukan oleh tembok sekolah, tapi oleh pergaulan yang ramah dan teladan dari orang tua, masyarakat dan guru," tutur Waidl.

Berkaca atas hal itu, Waidl meminta Mendikbud tak terburu-buru menindaklanjuti gagasan "full day school" dan lebih berhati-hati memahami keragaman, baik itu ekonomi, sosial, politik maupun geografi siswa.

"Tidak boleh diseragamkan dalam satu kebijakan (tunggal). Ini salah satu tugas seorang menteri, agar keragaman menjadi energi dan tetap terfasilitas kebutuhan akan pendidikan," ujar dia.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016