Jakarta (ANTARA News) - Ina Yus, ibu rumah tangga di desa adat di Wee Patando, kecamatan Wewewa Tengah kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Nusa Tenggara Timur, merindukan kembalinya nyala listrik.

Ia dan suaminya, Lukas Bulubeleka menyerahkan sebagian lahan kebun mereka untuk dipergunakan sebagai tempat pembangunan sarana pembangkit listrik tenaga surya yang merupakan bagian dari program "Sumba Iconic Island" (SII) dalam bidang penyediaan energi terbarukan.

"Bulan April listrik sudah menyala, dan tiap rumah mendapat masing-masing tiga bohlam (lampu pijar)," kata Ina Yus yang rumahnya di ujung kanan perkampungan adat berpenduduk 32 kepala keluarga, kepada Antara yang mengunjungi desa tersebut pertengahan Juli lalu.

Namun, kenikmatan tersebut hanya berlangsung dua bulan, karena suatu saat petir menyambar peralatan di pusat pembangkit listrik tersebut dan desa mereka kembali gelap gulita.

Matanya menerawang memandang panel surya lebar yang masih menampung cahaya terik, tetapi kabel-kabel dan baterainya tidak lagi mampu mengubah panas matahari menjadi daya listrik.

"Kami menunggu petugas datang untuk memperbaikinya," tutur perempuan itu serta menjelaskan bahwa di lahan tersebut dulu dia memiliki pepohonan jeruk dan kemiri yang hasil panennya bisa dijual.

"Dulu kami bisa mendapat cahaya lampu setiap pukul enam sore hingga enam pagi, dengan membayar hanya Rp10.000,- se bulan," ungkap Margarita Tamboina (27) ibu dari empat anak, tetangga Ina Iyus.

Tanpa listrik tersebut warga kembali memakai lampu dengan bahan bakar minyak tanah yang harus di beli di luar desa dengan harga Rp8.000,-/liter untuk pemakaian paling hemat satu pekan.

"Kalau memakai pelita dua atau tiga maka satu liter hanya cukup dua hari, untuk membeli minyak tanah juga perlu ongkos karena kiosnya jauh," ucapnya dengan menambahkan bahwa ia memiliki bayi sehingga lebih boros memakai lampu pelita.

Warga mengaku sangat berharap pemerintah segera memperbaiki pembangkit listrik yang rusak tersebut agar mereka bisa menikmati cahaya lampu kembali.

Lukas yang kini menjadi pemegang kunci dan penjaga PLTS di Wee Patonda hanya pasrah menunggu perbaikan.

PLTS tersebut dibangun PAA 2012 oleh pelaksana PT Surya Energi Indotama bisa membagikan 260 watt daya listrik bagi 32 KK warga desa setempat.

Mimpi menjadi ikon
Sumba adalah salah satu pulau yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), letaknya di sebelah barat Pulau Timor, di selatan pulau Flores dan di sebelah timur dari Pulau Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Pulau yang dikenal memiliki kuda-kuda sandelwood yang gagah itu berada di tepi Samudera Indonesia, jauh di atas Benua Australia.

Seperti diakui oleh Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distambem) Kabupaten Sumba Barat Daya, Nyoman Agus S program "Sumba Iconic Island" yang semula direncanakan hingga tahun 2025, telah diubah menjadi lebih cepat hingga 2020.

SII akan membuat Sumba menjadi satu-satunya pulau di Indonesia bahkan di Asia Tenggara yang akan menyediakan penerangan dengan 100 persen mengandalkan sumber-sumber energi yang dapat diperbarui yaitu tenaga surya, mirkohidro, tenaga angin dan biogas.

"Kami optimistis tujuan tersebut dapat tercapai, meskipun program utama kabupaten adalah pada pembangunan pertanian," tutur Wakil Bupati SBD Nelara Tanggu Kaha.

Program pembangunan daerah yang dicanangkan oleh bupati SBD saat ini adalah revolusi pertanian guna mencapai swasembada pangan, mengingat wilayah ini sekarang masih bergantung pada kabupaten Dompu di NTB untuk konsumsi hasil bumi.

Gagasan SII diprakarsai oleh lembaga HIVOS di Belanda yang kemudian disetujui oleh Pemerintah Indonesia sejak 2012, dan dalam pelaksanaannya dijalankan dengan membentuk dua kelompok kerja yang menangani masalah teknis implementasi penggunakan energi dan regulasi.

Pelaksanaan pembangunan berlangsung secara pararel antara proyek pemerintah pusat, pemerintah daerah dalam hal ini empat kabupaten di Pulau Sumba yaitu kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya serta pihak terkait dengan LSM dalam dan luar negeru, khususnya yang digerakkah oleh HIVOS.

"Targetnya pada akhir program yaitu 2020, Pulau Sumba sudah bisa memenuhi 100 persen kebutuhan elektrifikasi untuk penerangan," ujar Robert Irwanto dari pokja 2 Kabupaten Sumba Barat Daya.

Sampai dengan akhir 2014 di SBD yang berpenduduk lebih dari 63 ribu jiwa, baru 21.000 atau sekitar 30 persen yang sudah terjangkau listrik, sehingga masih ada 42.000 warga lagi yang harus mendapat listrik dalam lima tahun mendatang.

"Dengan mengabaikan pertumbuhan penduduk, maka tiap tahun harus ada penambahan listrik bagi 7.000 warga," kata Robert dengan menambahkan bahwa kementerian ESDM memproyeksikan penambahan tenaga listrik untuk seribu warga per tahun.

"Sisanya diharapkan dapat dipenuhi oleh pemangku kepentingan yang lain," imbuh Robert yang juga optimistis program tersebut dapat tercapai bila seluruh masyarakat dan pemerintah bersama-sama melakukannya.

Ia menjelaskan bahwa pembangunan pembangkit listrik dengan tenaga terbarukan memerlukan investasi yang sangat tinggi, misalnya, untuk satu pembangkit tenaga mikrohidro dengan kapasitas 30 kilowatt listrik yang bisa dimanfaatkan untuk 50 kepala keluarga diperlukan biaya sekitar Rp1,5 miliar.

Pulau Sumba kaya akan cahaya matahari sepanjang tahun sehingga sumber energi terbarukan yang terbanyak adalah matahari, meskipun pembangunan sarana energi matahari juga relarif mahal yaitu dengan dana sekitar Rp1,5 miliar dapat memproduksi lima kilowatt listrik.

Lima tahun bukan waktu yang panjang untuk mengejar mimpi mewujudkan kemandirian elektrifikasi dengan energi terbarukan di Sumba dan diperlukan kerja yang sungguh-sungguh dari seluruh pemangku kepentingan untuk mencapainya.

Oleh Maria D. Andriana
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015