MK dapat menolak permohonan pengujian konstitusionalitas pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara karena pemohon tidak mempunyai `legal standing` atas hal ini. Rujukan yang digunakan pemohon untuk menguji pas
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Hasan Bisri menyarankan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak permohonan terkait pengujian Undang-Undang Keuangan Negara yang diajukan oleh Forum Hukum BUMN dan Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia, antara lain mengenai konsep "kekayaan negara yang dipisahkan" pada BUMN.

"MK dapat menolak permohonan pengujian konstitusionalitas pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara karena pemohon tidak mempunyai `legal standing` atas hal ini. Rujukan yang digunakan pemohon untuk menguji pasal dalam undang-undang Ini hanya asumsi subjektif," kata Hasan Bisri di Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Rabu.

Pernyataan tersebut ia sampaikan saat memberi keterangan mengenai lingkup keuangan negara dan pemeriksaan BPK dalam sidang MK untuk pengujian konstitusionalitas pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang No.15 Tahun 2006 tentang BPK terhadap UUD 1945.

Menurut dia, para pemohon harus memahami dengan baik dan benar mengenai makna pernyataan "kekayaan negara yang dipisahkan" dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

"Jadi, makna `kekayaan negara yang dipisahkan` sedemikian yang dimaksud dalam Undang-Undang Kekayaan Negara bukan berarti dipisahkan dari kepemilikan dan pengelolaan keuangan negara, tetapi dipisahkan dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,red). Sebesar apa kepemilikan negara dalam kekayaan BUMN ya sebesar ekuitas yang dimiliki oleh negara," ujarnya.

Hasan mengatakan, bila mengikuti pendapat pemohon terhadap pengujian undang-undang tersebut maka keuangan daerah, pendapatan dan belanja daerah, serta kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dalam BUMD juga bukan bagian dari keuangan negara.

"Itu jelas salah. Tidak hanya itu, dengan pemahaman yang salah tentang `kekayaan negara yang dipisahkan`, semua dana APBN dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Khusus serta Dana Bagi Hasil yang sudah disalurkan ke kas daerah dan sudah masuk dalam sistem APBD menjadi bukan bagian dari keuangan negara," jelasnya.

Dengan pemahaman yang salah itu, kata Hasan, lembaga yang sumber keuangannya bukan dari APBN atau bukan hanya dari APBN, seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan juga bisa dianggap bukan bagian dari keuangan negara.

Selanjutnya, semua lembaga yang dibentuk dengan Undang-Undang dan dinyatakan bahwa kekayaannya adalah aset negara yang dipisahkan, seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan SKK Migas dengan sendirinya bukan lagi menjadi bagian dari keuangan negara, kata dia.

Oleh sebab itu, dia menegaskan MK dapat menolak permohonan para pemohon tersebut karena kekayaan yang dimiliki oleh BUMN sudah jelas merupakan bagian dari keuangan negara.

"Apabila permohonan pemohon dikabulkan oleh MK, maka dapat diartikan dalil pemohon bahwa bagian keuangan negara hanyalah APBN dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi," ujarnya.

Bila permohonan dengan dalil tersebut dikabulkan, Hasan khawatir hal itu akan berdampak sangat luas bagi lembaga-lembaga lain seperti yang telah ia sebutkan.

Selain itu, menurut dia, hal itu memungkinkan adanya permohonan dari masyarakat agar keuangan daerah juga dikeluarkan dari keuangan negara.

Dia khawatir hal itu memungkinkan pemerintah dan pemda akan ramai-ramai membentuk BUMN atau BUMD, kemudian badan usaha itu dijadikan ajang korupsi dan manipulasi yang semua kerugiannya akan dinyatakan sebagai risiko bisnis.

"Kalau seperti itu, aparat penegak hukum tidak dapat `menjerat` mereka dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena manipulasi dan penyelewengan yang terjadi pada perusahaan privat adalah tindak pidana umum. Tidak hanya itu, aparat akan sangat sulit `mengendus` adanya penyimpangan dalam perusahaan privat tanpa laporan dari direksi atau komisaris perusahaan ," jelasnya.

"Semua lembaga pengawas atau pemeriksa, baik internal maupun eksternal, seperti BPK tidak bisa memeriksa mereka sebab semua penyelewengan dan penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan kekayaan negara di luar APBN akan sulit dideteksi. Apabila penyelewengan itu diketahui, juga tidak dapat dijerat dengan Undang-Undang Anti Korupsi," tuturnya.

Oleh karena itu, Wakil Ketua BPK tersebut menegaskan tidak ada alasan yang tepat untuk menyatakan pasal 2 huruf g dan huruf i dalam UU Keuangan Negara sebagai peraturan yang inkonstitusional maka tidak ada alasan untuk pemisahan kekayaan BUMN dari kekayaan negara.
(Y012/S006)

Pewarta: Yuni Arisandy
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013