Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Melanie Yudiana Iskandar,Sp.A mengatakan anak-anak harus dipastikan siap mengikuti pembelajaran tatap muka (PTM) di sekolah, selain kesiapan pihak sekolah atau orang tua.

Menurut Melanie, dari sisi jenjang pendidikan, anak-anak yang duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar (SD) cenderung lebih siap menjalani PTM ketimbang anak kelas 1 atau 2 SD.

Baca juga: Titi Kamal sempat galau anak akan PTM

“Lihat anak apakah sudah siap? Anak kelas 6 SD itu cukup siap, dia sudah mengerti. Tetapi anak kelas 1 atau 2 SD rasanya belum siap,” ujar dia, Kamis.

Agar anak siap kembali belajar tatap muka, orang tua memiliki peranan yang tak bisa diabaikan dalam menerapkan protokol kesehatan khususnya menjaga jarak. Melanie mengatakan, biasanya motivasi anak ke sekolah bukan semata untuk belajar tetapi bertemu teman-teman mereka. Mereka berharap bisa berkegiatan di sekolah termasuk bermain seperti sebelum pandemi COVID-19.

Di sinilah orang tua perlu terus mengingatkan anak mengenai pentingnya menjaga jarak dan menjauhi kerumunan. Tetapi ini tak berarti mengabaikan protokol kesehatan lain seperti terbiasa mengenakan masker, rajin mencuci tangan usai memegang barang-barang terutama milik sekolah dan memegang masker.

Orang tua juga disarankan terus mengingatkan anak agar tidak menyentuh masker mereka, saling berbagi makanan bahkan alat tulis.

Mengenai penggunaan sarung tangan selama di sekolah, Melanie tak mengajurkannya. Menurut dia, ketimbang sarung tangan, anak lebih baik rutin mencuci tangan usai memegang sesuatu. Cuci tangan yang dianjurkan menggunakan air mengalir dan sabun.

Baca juga: PTM dilakukan saat masa pandemi demi menumbuhkan karakter anak

“Yang penting sering cuci tangan. Percuma kalau pakai gloves, virusnya menempel di gloves. Kalau masih pegang muka kita atau pegang barang percuma, yang penting sering cuci tangan, Kalau anak kecil, kulitnya masih sensitif, hati-hati penggunaan disinfektan, jadi cuci tangan di air mengalir dan sabun itu lebih bagus,”tutur Melanie.

Tak hanya soal protokol kesehatan, orang tua pun perlu memastikan anak sehat sebelum menghadiri PTM. Penuhilah kebutuhan nutrisi anak mulai dari karbohidrat, protein, lemak dan berbagai mikronutriennya termasuk vitamin dan zinc

Di sisi lain, pihak sekolah juga perlu menyiapkan fasilitas yang mendukung kegiatan belajar secara aman seperti menyediakan ruangan berventilasi yang baik dan mengkondisikan agar anak tak perlu melepas masker selama kegiatan belajar mengajar misalnya saat pelajaran menyanyi.

Sama seperti orang dewasa, anak juga berisiko terkena COVID-19 namun umumnya berasal dari kluster keluarga. Melanie berharap, dimulainya PTM tak menjadi sumber penularan untuk anak, sehingga orang tua dan pihak sekolah perlu memastikan protokol kesehatan tetap dijalankan anak selama belajar di sekolah.

Vaksinasi menurut studi diketahui membantu melindungi diri dari paparan COVID-19. Tetapi sejauh ini baru diberikan pada kelompok anak berusia di atas 12 tahun. Menurut Melanie, cukup berisiko bila vaksin dipaksakan diberikan pada anak usia di bawah 12 tahun sementara penelitian terkait ini terus berjalan. Demi mengurangi risiko anak terpapar COVID-19, mereka harus dipastikan menerapkan protokol kesehatan.

Sementara pada kelompok usia sekolah yang sudah bisa mendapatkan vaksinasi, seperti remaja, protokol kesehatan juga tetap harus dipastikan mereka terapkan. Khusus pada kelompok usia ini, ada dukungan untuk kesehatan jiwa juga diperlukan.

Dokter spesialis ilmu kesehatan jiwa konsultan kesehatan jiwa anak RSUI sekaligus staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr. Fransiska Kaligis, Sp.KJ(K), mengatakan, seiring kasus COVID-19 yang turun dan dimulainya kegiatan sekolah tatap muka secara terbatas, beberapa remaja mungkin akan kembali ke sekolah dalam kondisi stres, cemas, kesepian atau bahkan berduka akibat kehilangan anggota keluarga.

Remaja sendiri termasuk kelompok usia yang rentan mengalami masalah kesehatan jiwa akibat adanya perubahan psikososial, neurobiologis sirkuit otak, dan hormonal terjadi di fase usia ini. Menurut Fransiska, kondisi ini perlu dipahami orangtua dan orang lain yang berada di sekitar remaja, agar tidak bersikap judgemental atau memberikan label yang menambah perasaan tidak nyaman.

Lebih lanjut, untuk mendukung kesehatan jiwa remaja saat kembali ke sekolah, dia menyarankan para guru atau tenaga pengajar melakukan sejumlah hal antara lain: mendengarkan keluhan remaja, menunjukkan empati dan jika memungkinkan pihak sekolah dapat mengadakan diskusi one-on-one agar lebih memahami kebutuhan remaja.

Selanjutnya, tanyakan bagaimana kabar remaja, sediakan informasi yang akurat dan terpercaya terkait COVID-19 sesuai dengan usia mereka, minta masukan dan libatkan remaja untuk menciptakan suasana belajar yang aman dan nyaman, peka dan waspada terhadap perubahan tingkah laku remaja, dan ajak mereka berkegiatan dan berolahraga agar tercipta interaksi.

Fransiska mengatakan, perkembangan remaja sangatlah dinamis dan dipengaruhi oleh kondisi individu dan lingkungan, sehingga memerlukan perhatian khusus terhadap remaja dalam periode kembali ke sekolah.

Di sisi lain, tenaga pengajar juga perlu memastikan diri mereka dalam kondisi sehat jiwa ketika kembali mengajar di sekolah. Persiapan dan kerja sama semua pihak yang terkait perlu dilakukan dalam penyelenggaraan pendidikan di masa pandemi COVID-19.

Jadi, pada anak yang akan kembali ke sekolah, orang tua dan pihak sekolah perlu memastikan protokol kesehatan berjalan ketat, sementara bagi remaja mencakup juga dukungan kesehatan jiwa saat kembali belajar secara tatap muka di sekolah.



Baca juga: Disiplin protokol kesehatan agar tak tercipta klaster baru di sekolah

Baca juga: Kemenkes awasi Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga selama PTM

Baca juga: Peran orang tua dalam mendukung kelancaran PTM


Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021