Gagasan ekonomi koperasi yang digagas Hatta juga memiliki kedekatan dengan ekonomi syariah yang dikenal saat ini.
Jakarta (ANTARA) -
Cendekiawan Muslim Yudi Latief menyebutkan sosok Soekarno dan Mohammad Hatta diibaratkan sepasang sayap Garuda Indonesia yang saling melengkapi satu sama lain.

"Termasuk di dalam ekspresi keagamaan keduanya yang kelak memainkan peran besar di dalam mencari cara rekonsiliasi dalam hubungan antara keislaman dan kebangsaan," kata Yudi Latief dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu.

Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini mengatakan bahwa Soekarno dan Hatta juga merupakan ikon perjuangan yang sangat penting bagi Indonesia.

Menurut Yudi dalam Talk Show "Pekan Bung Hatta" yang digelar oleh BKNP PDI Perjuangan, yang ditayangkan di Channel Youtube BKNP PDIP, Bung Hatta merupakan seorang yang punya keyakinan keagamaan yang teguh.
 
Tidak menyerang dan mengancam keluar, tetapi membawa berkah pada kehidupan. Sebuah ekspresi keagaaman yang Hatta gambarkan sebagai 'Islam garam' dan bukan 'Islam gincu'.

"Kalau gincu, orang tahu dari kejauhan warna gincunya tetapi tidak bisa merasakan. Akan tetapi, kalau garam, orang tidak bisa melihat seperti apa keagamaan kita tetapi rasa dan manfaatnya bisa dirasakan oleh semua orang," kata Yudi dalam acara yang bertema "Hatta: Islam dan Kebangsaan".
 
Hatta adalah cucu dari Syeh Batu Ampar yang merupakan pengamal Tarekat Naqsabandiyah. Tradisi keagamaannya dibangun dalam tradisi sufistik yang lebih menekankan dimensi-dimensi interior ketimbang eksterior. Lebih menekankan pula laku ketimbang hanya dari aspek formalisme ritualisme.

Baca juga: Menag ajak ulama sufi warnai dakwah di medsos
 
"Bahkan, sejak awal saja namanya sudah menyiratkan nilai sufistik, yaitu Muhammad Hatta, diambil dari Muhammad Atha. Sama seperti pengarang dari kitab sufi terkenal al-Hikam bernama Muhammad Athaillah as-Sakandari," kata Yudi.

Tradisi keagamaan Hatta dibantu oleh ekspresi tasawuf yang lebih menekankan pada aspek kerohanian ketimbang aspek-aspek formalistik.
 
"Inilah yang telah menjadikan pribadi Hatta tumbuh menjadi seorang yang berkeyakinan keagamaan kuat. Akan tetapi, pada saat yang sama Hatta juga seperti garam," kata Yudi.
 
Hatta kemudian tetap bisa memiliki pergaulan yang luas tanpa pandang bulu. Dalam menempuh pendidikan di Eropa, Hatta tetap taat menjalankan ritual seperti salat lima. Namun, pada saat yang sama, Hatta mengembangkan pergaulan lintas, kultural, etnis, dan agama.
 
"Hatta mampu bergaul dengan orang-orang dari Jawa, seperti Gunawan Mangunkusumo, Arnold Mononutu, A.A. Maramis, dan bahkan bersahabatkan dengan Jawaharlal Nehru, seorang penganut agama Hindu," kata doktor sosiologi politik dan komunikasi dari Australian National University ini.
 
Bung Hatta juga memiliki kedekatan dengan para ulama pada eranya. Dia membangun jaringan yang luas dengan tokoh-tokoh pembaharuan di Sumatera Barat, seperti Jamil Jambek dan Abdullah Ahmad.
 
Saat di Jawa, Hatta juga banyak menjalin relasi relasi dengan tokoh-tokoh, seperti Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto.
 
"Latar belakang keagamaan yang kuat itulah yang menjadikan Hatta semacam jembatan penghubung antar berbagai identitas dalam mendamaikan konflik yang terjadi kala itu," ucap penulis buku "Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila" itu.

Baca juga: Pesan Bung Hatta: Demokrasi asli di Indonesia adalah musyawarah
 
Cendikiawan asal Sukabumi ini juga mengisahkan sebuah fragmen menarik yang terjadi saat Hatta masih menjadi mahasiswa di Belanda. Pernah suatu ketika Hatta bersama teman-teman mahasiswanya sedang menunggu konser musik klasik di sebuah opera house di Jerman, mereka lalu pergi ke sebuah restoran.
 
Saat teman-temannya memilih untuk memesan minuman beralkohol, Hatta tetap berpegang teguh pada keyakinannya untuk hanya memesan air es meskipun harga es di Eropa cukup mahal.
 
"Hal ini menandakan betapa Hatta sangat memegang prinsip keyakinannya namun tetap rileks menghadapi perbedaan," ucap Yudi.
 
Berbicara soal relasi agama dan negara, Bung Hatta ini sudah jauh-jauh hari membayangkan apa yang sekarang disebut sebagai teori Twin Tolerations’ atau toleransi kembar.
 
Menurut dia, agama dan negara tidak perlu dipisahkan, tetapi masing-masing harus tahu diri di mana posisinya yang tepat.
 
Yudi berpendapat bahwa agama tidak boleh memaksakan secara langsung hukum-hukumnya pada negara tanpa melewati proses-proses permusyawaratan yang diterima oleh semua kalangan.
 
Pada saat yang sama, negara juga harus toleran terhadap agama dan tidak boleh mencampuri urusan rumah tangga agama.
 
"Inilah kemudian poin penting Hatta dalam membangun sebuah jembatan dialog antara pendukung paham nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler kala itu, khususnya saat momen penghapusan tujuh kata di Piagam Jakarta," katanya.
 
Saat momen penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta mengenai syariat Islam, Hatta sangat berperan dalam mempersuasi dan meyakinkan tokoh-tokoh Islam kala itu. Bahwa penghapusan tujuh kata itu tidak akan mengubah secara fundamental nilai-nilai ketuhanan.
 
"Track record, latar belakang, dan perilaku Hatta yang agamis inilah yang memberikannya legitimasi moral dan kredibilitas di antara tokoh-tokoh agama kala itu," kata Yudi.
 
Gagasan ekonomi koperasi yang digagas Hatta, kata Yudi Latief, juga memiliki kedekatan dengan ekonomi syariah yang dikenal saat ini, yaitu sama-sama menekankan semangat gotong royong.

Baca juga: Wapres: Alhamdulilah, pertumbuhan ekonomi syariah kian menjanjikan

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021