PLN mengeluarkan biaya pokok pembangkit Rp1.028 per kWh, sementara tarif industri yang disubsidi sebesar Rp972 per kWh. Penggunaan PLTS atap akan mensubstitusi permintaan listrik dari PLN, sehingga beban subsidi pelanggan industri juga berkurang
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan penggunaan PLTS atap menguntungkan pemerintah dan PLN karena mengurangi subsidi dan menekan nilai investasi.

"PLN mengeluarkan biaya pokok pembangkit Rp1.028 per kWh, sementara tarif industri yang disubsidi sebesar Rp972 per kWh. Penggunaan PLTS atap akan mensubstitusi permintaan listrik dari PLN, sehingga beban subsidi pelanggan industri juga berkurang,” kata Fabby Tumiwa dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Berdasarkan studi pasar yang dilakukan IESR, minat masyarakat menggunakan PLTS atap terbilang tinggi. Mereka mengharapkan kebijakan yang mempermudah perizinan dan proses instalasi serta keekonomian yang memadai.

Fabby mengungkapkan dengan tarif net metering satu banding satu akan mempercepat waktu pengembalian investasi PLTS atap dari sebelumnya 10 tahun menjadi kurang dari delapan tahun.

"Ketentuan itu akan mempengaruhi pemasukan atau revenue PLN tapi tidak signifikan dibandingkan dengan dampak ekonomi, lingkungan dan sosial dari berkembangnya PLTS atap," ujarnya.

Simulasi IESR menunjukkan apabila total instalasi satu gigawatt peak PLTS atap, pemasukan PLN hanya akan berkurang 0,58 persen dengan tarif net metering satu banding satu dan 0,52 persen dengan tarif 0,65 banding satu.

Sebaliknya, PLN akan diuntungkan dengan bertambahnya jumlah PLTS atap, sehingga tidak perlu berinvestasi lebih besar untuk membangun pembangkit energi terbarukan.

Pembangunan PLTS atap yang dilakukan masif oleh masyarakat dan industri akan mempercepat target PLN dalam mewujudkan energi terbarukan pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) hingga mengurangi biaya bahan bakar yang dipakai pada pembangkit listrik tenaga gas.

Dalam proses revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang penggunaan sistem PLTS atap oleh konsumen PLN, pemerintah menyatakan akan memperbaiki ketentuan antara lain mengubah tarif ekspor impor listrik net metering menjadi satu banding satu, memperpanjang periode menihilkan kelebihan akumulasi selisih tagihan menjadi enam bulan, dan mewajibkan mekanisme pelayanan berbasis aplikasi.

Selanjutnya, revisi peraturan itu juga akan memperluas perizinan pemasangan PLTS atap kepada pelanggan di wilayah usaha non-PLN, mempersingkat proses perizinan, serta membangun pusat pengaduan sistem PLTS atap.

"Perbaikan regulasi itu dapat membantu Indonesia melakukan pemulihan ekonomi pasca COVID-19 dan memenuhi komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca seperti yang tercantum dalam Nationally Determined Contribution," pungkas Fabby.

Baca juga: PLTS atap berpotensi menyerap 30 ribu tenaga kerja
Baca juga: Pertumbuhan sel surya di Indonesia capai 486 persen dalam tiga tahun
Baca juga: Pembiayaan PLTS atap ciptakan peluang bisnis bagi koperasi

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021