Jakarta (ANTARA) - Dalam satu kisah populer diceritakan dua orang kawan bernama Holmes dan Watson sedang berkemah. Pada tengah malam, Holmes terbangun dan memanggil temannya.

"Watson, lihat ke langit dan katakan apa yang kamu lihat."

"Saya melihat jutaan bintang, Holmes," kata Watson.

"Lalu apa kesimpulannya?" tanya Holmes.

Watson berpikir sejenak. "Berdasarkan astronomi, ada jutaan galaksi dan miliaran planet; menurut astrologi, Saturnus berada di dalam Leo; menurut horologi, sudah mendekati pagi; menurut meteorologi, saya kira besok akan cerah; menurut teologi, saya lihat bahwa Tuhan Maha Kuasa dan kita begitu kecil. Menurutmu sendiri apa, Holmes?" tanya Watson.

"Watson, itu artinya tenda kita dicuri orang!".

Dua orang bisa saja punya pandangan berbeda mengenai suatu hal meski sama-sama melihat sesuatu di depan mata. Begitu pula institusi.

Perbedaan pandangan juga terjadi antara Ombudsman Republik Indonesia dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK terhadap laporan pegawai KPK mengenai tindakan lima orang pimpinan dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK). Laporan itu diajukan oleh perwakilan 75 orang pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK.

Menurut Dewas KPK, tidak cukup bukti adanya pelanggaran etik oleh pimpinan KPK atas 7 butir aduan para pegawai KPK sehingga pengaduan itu tidak dapat dilanjutkan ke tahap sidang etik.

Sedangkan Ombudsman mengatakan pimpinan KPK melakukan malaadministrasi (pelanggaran prosedur) dalam peralihan status pegawai KPK menajdi ASN setidaknya dalam tiga proses, yaitu pertama dalam perumusan kebijakan peralihan pegawai KPK menjadi ASN, kedua proses pelaksanaan peralihan pegawai KPK menjadi ASN, dan ketiga penetapan hasil asesmen TWK.

Baca juga: Dewas KPK tegaskan tak ada pegawai keberatan materi pertanyaan TWK

Perbedaan tersebut bisa saja terjadi karena ketidaksamaan tugas dan kewenangan Dewas KPK dan Ombudsman.

"Dewas sesuai dengan tugasnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37B UU Nomor 19 Tahun 2019, dalam melakukan pemeriksaan terhadap laporan ini membatasi hanya tentang dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku sebagaimana yang dilaporkan dari sisi etik dan tidak meliputi substansi serta legalitas Peraturan Komisi Nomor 01 Tahun 2021," kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta.

Sedangkan Ombudsman RI berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara negara dan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah termasuk BUMN serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.

Sejumlah perbedaan

Perbedaan pertama adalah pendapat mengenai proses pembentukan kebijakan peralihan pegwai KPK menjadi ASN.

Pegawai KPK melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri menyisipkan pasal mengenai pelaksanaan TWK dalam rapat pimpinan 25 Januari 2021 untuk dimasukkan ke dalam draf Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 01 Tahun 2021.

"Ketentuan mengenai TWK merupakan masukan dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang pertama kali disampaikan pada rapat 9 Oktober 2020 serta rapat harmonisiasi Kemenpan RB dan BKN," kata anggota Dewas KPK Harjono.

Menurut Dewas, pihak yang pertama kali mengusulkan TWK adalah Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada rapat harmonisasi Oktober 2020.

Dalam rapat tersebut menurut Dewas, Wakil Kepala BKN telah memberikan tanggapan di antaranya (1) agar terhadap syarat "setia pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintahan yang sah" perlu dipertimbangkan kembali apakah cukup hanya dengan menandatangani pakta integritas dan (2) Kesetiaan pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintahan yang sah terhadap pegawai KPK belum pernah dilakukan pengukuran/seleksi.

Dengan begitu Dewas menyatakan tidak benar ada dugaan pasal TWK merupakan pasal yang ditambahkan oleh Firli Bahuri dalam rapat 26 Januari 2021 di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Baca juga: Dewas: Setelah 1 Juni 2021 pegawai yang tak lolos TWK masih bekerja

Rapat itu dilakukan Firli bersama Kemenkumham, BKN, LAN, KASN, dan Kemenpan RB. Saat itu hadir Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, sementara Sekjen KPK Cahya Harefa menunggu di luar ruangan karena ada pembatasan peserta akibat pandemi COVID-19.

Sedangan menurut Ombudsman, klausul soal TWK itu baru muncul pada Januari 2021. Ombudsman mengatakan asesmen berbentuk TWK dilakukan dengan menyisipkan klausul baru pada akhir-akhir harmonisasi.

Merujuk Permenkumham Nomor 23 Tahun 2018, proses harmonisasi cukup dihadiri jabatan pimpinan tinggi (JPT), pejabat administrator, dan perancang, artinya rapat harusnya dipimpin oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham yang saat itu dijabat oleh Widodo Ekatjahjana.

Namun pada rapat 26 Januari 2021 atau pada rapat terakhir harmonisasi, rapat dihadiri langsung Ketua KPK Firli Bahuri, Kepala BKN Bima Haria Wibisana, Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Adi Suryanto, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo, dan Menkumham Yasonna H Laoly.

Bahkan lima orang pimpinan lembaga dan kementerian yang hadir itu tidak menandatangani berita acara harmonisasi. Pihak yang menandatangani berita acara, yaitu Kabiro Hukum KPK dan Direktur Perundangan Kemenkumham malah tidak hadir.

Selain itu, menurut Dewas, sudah ada sosialisasi TWK kepada para pegawai KPK melalui "zoom meeting" pada 17 Februari 2021 oleh Firli Bahuri, Nurul Ghufron, Cahya Harefa, Kabiro SDM KPK Chandra Sulistio Reksoprodjo serta Kabiro Hukum KPK Ahmad Burhanuddin yang membahas syarat untuk mengikuti TWK bagi seluruh pegawai KPK.

Sedangkan menurut Ombudsman, KPK terakhir kali menyebarluaskan informasi mekanisme alih status pegawai pada 16 November 2020 atau pada awal penyusunan perkom sehingga informasi mengenai TWK tidak disebarkan lagi sehingga kanal agar pegawai mengetahui dan menyampaikan aspirasi tidak ada.

Perbedaan kedua adalah mengenai proses pelaksanaan TWK. Dewas menerangkan bahwa alat ukur yang digunakan dalam TWK adalah Tes IMB - 68 (68 pertanyaan) dan Integritas dalam pertanyaan tertutup yang dilaksanakan oleh Dinas Psikologi Angkatan Darat (DISPSIAD) dan Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI.

Sebelum IMB 68 diputuskan sebagai salah satu alat ukur dalam TWK, BKN melakukan rapat dengan mengundang BNPT dan Dinas Psikolog AD untuk membahas lebih lanjut dari seluruh komponen tes dan memastikan bahwa tes tersebut tepat untuk digunakan.

Berdasarkan hasil rapat tersebut, Kepala BKN memutuskan IMB 68 kemudian menjadi salah satu alat ukur yang digunakan untuk melakukan TWK.

Sedangkan menurut Ombudsman BKN tidak memiliki alat ukur, instrumen, dan aseseor untuk melaksanakan asesmen tersebut. BKN hanya menggunakan instrumen yang dimiliki DISPSIAD namun tidak memiliki atau menguasai salinan dokumen Keputusan Panglima Nomor Kep/1078/XII/2016 yang mengatur petunjuk pelaksanaan penelitian tersebut.

Baca juga: Dewas: Pimpinan KPK telah sosialisasikan TWK ke pegawai

Apalagi, menurut Ombudsman, Nota Kesepahaman Pengadaan Barang dan Jasa antara Sekjen KPK dan Kepala BKN ditandatangani pada 8 April 2021 sedangkan kontrak Swakelola pada 25 April 2021. MoU dan kontrak itu dibuat dengan tanggal mundur (back date) menjadi 27 Januari 2021.

Padahal asesmen TWK dimulai pada 9 Maret 2021 yaitu sebelum adanya penandatanganan nota Kesepahaman dan Kontrak Swakelola.

Perbedaan ketiga adalah dalam proses penetapan hasil. Dewas KPK berpendapat pimpinan KPK tidak dapat mengusulkan pengangkatan pegawai KPK menjadi ASN kepada BKN untuk memperoleh Nomor Induk Pegawai (NIP) tanpa mendapatkan penetapan formasi dari Kemenpan RB.

Dengan demikian tidak benar dugaan pimpinan KPK tidak mengindahkan putusan MK Nomor: 70/PUU-XVII/2019 yang menyebut alih status pegawai KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK karena pada 1 Juni 2021 tidak ada pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat yang diberhentikan oleh pimpinan KPK dan sampai dengan saat ini masih dapat bekerja seperti biasa berdasarkan perintah dari atasan langsung.

Lebih lanjut, pimpinan KPK walau telah memperoleh hasil TWK, menurut Dewas, masih tetap berupaya untuk memperjuangkan agar seluruh pegawai KPK dapat diangkat sebagai ASN.

Hal tersebut dibuktikan dengan dilakukannya rapat koordinasi pada 25 Mei 2021 dengan Kemenpan RB, BKN, Kemenkumham, LAN, dan KASN. Hasil rapat koodinasi 25 Mei 2021, memutuskan sebanyak 24 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dapat diangkat sebagai pegawai ASN setelah mengikuti dan lulus pelatihan bela negara yang diselenggarakan oleh Kemenhan.

Dewas menyebut tidak ada pernyataan baik dari Sekjen KPK maupun pimpinan yang mengatakan bahwa pegawai yang tercantum dalam SK Nomor 652 Tahun 2021 mengenai pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat untuk dinonaktifkan dari pekerjaannya atau diberhentikan dari KPK.

Padahal Ombudsman RI mengatakan penetapan hasil TWK, yaitu melalui Surat Keputusan Ketua KPK Nomor 652 Tahun 2021 yang menetapkan 75 pegawai tidak memenuhi syarat (TMS) adalah tindakan malaadministrasi karena bertentangan dengan putusan MK dan bentuk pengabaian KPK terhadap pernyataan Presiden Joko Widodo.

Bahkan Berita Acara penetapan hasil TWK yang memutuskan untuk memberhentikan pegawai KPK ditandatangani oleh Ketua KPK, Menpan RB, Menkumham, Kepala BKN, dan Kepala LAN meski kelimanya tidak ikut dalam proses asesmen.

Dengan adanya malaadministrasi dalam proses penyusunan Peraturan KPK Nomor 01 tahun 2021, proses pelaksanaan TWK dan penetapan hasil TWK, Ombudsman meminta ada tindakan korektif dari pimpinan KPK, yaitu 75 pegawai yang dinyatakan TMS dialihkan statusnya menjadi ASN sebelum 30 Oktober 2021.

Tanggapan perbedaan

Terhadap perbedaan pandangan tersebut, Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan Dewas KPK tidak mencampuri laporan Ombudsman RI.

"Laporan malaadminstrasi itu kami tidak campuri, kami tidak tahu masalah itu apakah pimpinan akan menindaklanjuti atau tidak kami juga tidak tahu, terserah pimpnan apakah menindaklanjuti atau tidak," kata Tumpak.

Sementara perwakilan 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK mengatakan ingin membantu Dewas KPK untuk mengumpulkan bukti.

"Kami akan membantu Dewas KPK dan akan memberikan data dan informasi lebih lanjut sebagai bukti baru sehingga Dewas bisa lebih utuh melihat permasalahan ini apalagi dengan adanya temuan-temuan dari Ombudsman RI," kata anggota Tim 75 Rizka Anungnata.

Menurut Rizka, penilaian "tidak cukup bukti" adalah alasan yang sangat mengada-ada sebab Dewas KPK memiliki wewenang penuh untuk mencari bukti.

Perbedaan putusan itu diduga karena Ombudsman RI lebih memiliki niat dan kemauan untuk mengungkap kebenaran dan pelanggaran yang terjadi sementara Dewas KPK disebut sangat bersifat pasif dan tidak berusaha menggali informasi lebih dalam.

Apakah dugaan tersebut benar atau memang "hanya" karena perbedaan kewenangan?
 

Copyright © ANTARA 2021