Jakarta (ANTARA) - Peneliti Senior Yayasan Indonesia Cerah Mahawira Singh Dillon mendorong agar perbankan nasional menghentikan pendanaan terhadap proyek pengembangan energi fosil yang merusak lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat.

"Bank-bank luar negeri sudah banyak yang menghentikan investasi ke batu bara, sedangkan di Indonesia masih banyak bank yang memberikan pendanaan. Kami terus memperjuangkan agar perbankan nasional menghentikan investasi mereka," katanya dalam diskusi di Jakarta, Kamis.

Mengutip laporan lembaga Urgewald asal Jerman periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020, enam perbankan nasional tercatat masih memberikan pendanaan kepada perusahaan batu bara yang terdaftar di Global Coal Exist List (GCEL).

Rincian enam perbankan naional tersebut adalah Bank Mandiri dengan memberikan pinjaman 2,47 miliar dolar AS dan pinjaman emisi 2,16 miliar dolar AS. Lalu, BNI dengan pinjaman senilai 1,84 miliar dolar AS dan pinjaman emisi 254 juta dolar AS.

Kemudian, BRI dengan nilai pinjaman sebesar 1,76 miliar AS dan BTN memberikan pinjaman 106 juta dolar AS.

Selanjutnya, BCA memberikan pinjaman kepada perusahaan batu bara senilai 82 juta dolar AS dan pinjaman emisi sebesar 234 juta dolar AS. Setelah itu ada Indonesia Eximbank yang juga memberikan pinjaman senilai 37 juta dolar AS.

"Perbankan memberikan pinjaman untuk membangun PLTU batu bara karena ada jaminan 40 tahun energinya masih bisa dibeli, sedangkan energi terbarukan belum ada jaminan," kata Mahawira.

"Bank-bank yang hanya memikirkan untung sendiri cenderung berinvestasi ke sini (proyek energi fosil)," tambahnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan Perusahaan Listrik Negara membuat pengembangan energi fosil lebih menarik ketimbang energi terbarukan.

Regulasi tersebut menghambat pengembangan energi terbarukan karena terkendala akses investasi yang menganggap proyek energi hijau kurang bankable.

"Batu bara masih gampang dapat take or pay, kalau energi terbarukan susah," kata Mahawira.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan pengembangan energi terbarukan menjadi penting karena Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbon pada 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.

Pemerintah lantas menjadikan program pengembangan energi bersih sebagai cara dalam mencapai target barusan primer nasional sebesar 23 persen pada 2025, lalu meningkat menjadi 31 persen pada 2050.

Meskipun Indonesia telah memiliki peta jalan pengembangan energi terbarukan, namun proyek energi fosil masih terus berjalan dengan alasan untuk memperkuat ketahanan dan kemandirian energi nasional.
Baca juga: Faisal Basri: gasifikasi batu bara bukan energi terbarukan
Baca juga: Pertamina prioritaskan proyek transisi energi dari fosil ke EBT
Baca juga: Dua strategi Bukit Asam hadapi pelemahan pasar energi fosil

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021