Regulasi tidak cukup tanpa didukung kesadaran masyarakat dalam memilah informasi dan kebenarannya agar semakin tertutup kemungkinan munculnya gerakan antivaksin yang menghambat terwujudnya kekebalan komunitas.
Jakarta (ANTARA) - Satu tahun sudah masyarakat dunia, termasuk Indonesia menjalankan aktivitas di bawah ancaman penularan SARS-CoV-2 ketika Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization-WHO) secara resmi mendeklarasikan COVID-19 sebagai pandemi pada tanggal 11 Maret 2020.

Kasus COVID-19 pertama di Indonesia diumumkan pada 2 Maret oleh Presiden Joko Widodo yang menginfeksi dua orang perempuan, ibu dan anak yang berdomisili di Depok, Jawa Barat.

Sejak pengumuman kasus pertama penularan COVID-19, media sosial tidak henti-hentinya diberondong oleh berbagai informasi yang diyakini kasus pertama penularan berasal dari pasar hewan dan ikan laut di Wuhan, Provinsi Hubei, China.

Virus yang menginfeksi dengan gejalanya mirip dengan pneumonia tersebut kemudian menjadi topik paling hangat sepanjang tahun baik melalui kanal resmi komersial maupun tersebar lewat jejaring media sosial populer WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter dan aplikasi medsos sejenis dalam beragam bentuk mulai dari kiat-kiat, motivasi, anjuran hingga kabar borong seputar COVID-19.

Ironisnya, jejaring media sosial dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang mengambil manfaat dari situasi kecemasan dan ketakutan masyarakat dengan menyebarkan berita bohong alias hoaks dengan maksud sekadar iseng belaka hingga motif tertentu dalam bentuk ujaran kebencian dan menghasut yang berujung ancaman sanksi hukum.

Kementerian Informasi dan Informatika (Kominfo) bekerja sama dengan pihak kepolisian telah memblokir sebanyak 218 akun medsos untuk mencegah penyebaran hoaks. Rinciannya 179 akun Instagram, 27 akun Facebook, tujuh akun Twitter, dan dua akun WhatsApp.

Sedangkan, Kepolisian Daerah Metro Jaya menemukan 443 kabar bohong atau hoaks dan ujaran kebencian tentang virus corona. Ratusan kabar bohong itu tersebar saat masyarakat tengah menjalani Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB di bulan Maret - April 2020.

Sementara Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mencatat terdapat 103 hoaks mengenai virus corona yang beredar di media sosial maupun aplikasi pesan instan hingga 3 Maret 2020. Hoaks yang disampaikan berkaitan dengan virus corona yang beredar antara lain laporan keliru kasus COVID-19, teknik pencegahan dan pengobatan menyesatkan, hingga xenophobia (perasaan benci, takut, waspada terhadap orang asing) khususnya anti-China.

Salah satu dampaknya, penjualan hingga resep dari bahan-bahan tradisional yang diyakini mampu menjadi obat penawar COVID-19 dalam masa tertentu telah membangun kepercayaan fanatik dari sebagian masyarakat untuk mengonsumsinya agar kebal dari virus mematikan tersebut.

Apalagi ketika kemudian beberapa orang yang mengaku sebagai penemu obat penawar COVID-19 bermunculan hingga menjadi viral dan menghebohkan jagad maya.

Kabar bohong seputar COVID-19 di sepanjang tahun 2020, turut berkontribusi pada terjadinya panic buying dan rasa saling curiga antar warga masyarakat. Situasi paling fenomenal, yakni hilangnya masker dan berbagai jenis cairan disinfektan dari pasaran, kalaupun ada harganya sudah melonjak berkali-kali lipat, kondisi tersebut nyaris terjadi di seluruh dunia, termasuk di Tanah Air.

Akibat kelangkaan masker kemudian pemerintah mendorong masyarakat untuk memproduksi sendiri masker terbuat dari kain yang memenuhi standar keamanan dan kesehatan sesuai ketentuan dari WHO dengan menetapkan jumlah lapisan kain pada masker, minimal tiga lapis.

Di sisi lain langkah preventif pemerintah untuk melindungi warga dari risiko penularan dengan menetapkan peraturan tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mulai berlaku sejak 1 April 2020.

PSBB telah memangkas aktivitas di luar rumah menjadi #Dirumahaja yang selanjutnya berimplikasi pada dunia pendidikan dan dunia kerja. Kegiatan belajar mengajar di sekolah diganti dengan aktivitas belajar dari rumah. Demikian juga kegiatan perkantoran dialihkan menjadi bekerja dari rumah.

Salah satu kebijakan yang terus dikawal untuk melawan penyebaran COVID-19 meski terlihat sepele tetapi sangat penting adalah memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak (3M). Setiap orang wajib bermasker. Ibaratnya memakai masker seperti slogan iklan merek minuman bersoda: dimana saja, kapan saja dan siapa saja.

Kebijakan pemerintah untuk menerapkan adaptasi kebiasaan baru tersebut diharap berbarengan dengan kesadaran masyarakat untuk tetap menjaga protokol kesehatan secara ketat sebab COVID-19 belum dapat diprediksi kapan berakhir.

Baca juga: Keluarga berperan penting bantu vaksinasi lansia

Baca juga: WHO Eropa desak negara-negara tetap gunakan vaksin AstraZeneca


Chip dalam vaksin

Kabar bohong seputar COVID-19 tidak pernah habis-habisnya disebarkan dan diembuskan sepanjang waktu baik oleh oknum pemilik akun resmi mau pengguna akun palsu sehingga pemerintah perlu melibatkan para psikolog, motivator, tokoh agama untuk meredam isu agar tidak menjadi bola liar yang dapat menggoyahkan kepercayaan masyarakat.

Menutup tahun 2020 keberadaan isu seputar asal muasal dan kebenaran virus corona agak mereda, namun mengawali tahun 2021 isu telah bergeser terkait sumber vaksin penangkal COVID-19 yang bakal disuntikkan.

Beberapa kabar bohong seputar vaksin sengaja diembuskan untuk menutupi kebenaran terkait Vaksin Sinovac dan AstraZenevac dimana dalam informasi yang beredar di jejaring sosial disebutkan vaksin mengandung bahan tidak halal, penerima vaksin sebagai kelinci percobaan, vaksin mengandung virus yang dilemahkan, vaksin telah dipasang microchip yang digunakan untuk memata-matai rakyat Indonesia.

Salah satu kabar bohong terkait vaksin yang dampaknya sangat mengena bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, bahwa vaksin mengandung bahan tidak halal. Penyebar isu terkait ketidakhalalan tersebut sangat memahami karakter bangsa Indonesia yang religius dalam menjalani kaidah agama Islam.

Isu sensitif terkait kehalalan vaksin segera ditepis dengan terbitnya pernyataan dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia bahwa Vaksin Sinovac yang akan disuntikkan adalah halal untuk digunakan. Fatwa MUI yang menyatakan kehalalan vaksin Sinovac setelah adanya keputusan BPOM terkait keamanan (safety), kualitas (quality), dan kemanjuran (efficacy).

Ketua MUI Asrorun Niam dalam jumpa pers (8/1) menegaskan, bahwa Vaksin Corona Sinovac dipastikan halal. Asrorun mengatakan setelah dilakukan kajian yang cukup panjang dari hasil penjelasan dari tim auditor, rapat komisi fatwa menyepakati vaksin COVID-19 yang diproduksi Sinovac Life Science china hukumnya suci dan halal.

Jaminan dari kehalalan vaksin dari MUI telah mendorong kelompok masyarakat prioritas penerima vaksin untuk antusias menjalani vaksinasi yang diselenggarakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui fasilitas kesehatan yang telah ditentukan.

Program vaksin terus berjalan sekalipun masih diwarnai penolakan oleh sebagian kelompok masyarakat karena alasan tertentu masih belum bersedia divaksin. Beragam upaya dari masing-masing kepala daerah untuk mendorong agar warga masyarakat yang masuk dalam prioritas untuk menerima vaksin, mulai dari pemberian sanksi hingga sebatas imbauan.

Pemerintah melalui Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan sanksi administratif belum dibutuhkan. Sejauh ini warga masih patuh mengikuti program vaksinasi dari pemerintah dan mendukung program vaksinasi.

Penggunaan bahasa atau pun kalimat yang provokatif dalam penyebaran informasi terkait COVID-19 menjadi salah satu faktor yang memicu masifnya misinformasi di masyarakat, termasuk soal vaksinasi.

Salah satu misinformasi yang sempat menakutkan publik untuk divaksinasi COVID-19 disampaikan oleh Relawan COVID-19 dokter Fajri Adda’i terkait beredarnya pemberitaan mengenai vaksin produksi dari AstraZeneca yang akan digunakan oleh Indonesia.

Menyoroti penggunaan kalimat provokatif dalam pemberitaan itu, dokter Fajri menyarankan agar dihindari mengingat kebiasaan masyarakat Indonesia yang hanya membaca judul, namun tidak membaca hingga keseluruhan informasi terserap.

Survei literasi digital yang dilakukan Kominfo dan beberapa lembaga mendapati bahwa indeks literasi digital Indonesia masih berada di bawah standar baik. Mengacu pada indeks yang dimiliki UNESCO dengan indikator angka 1 hingga 4, Indonesia mendapatkan hasil 3,17 yang artinya Indonesia berada di level sedang untuk isu literasi digital.

Berita bohong semakin mudah tersebar belakangan ini, tidak terkecuali hoaks seputar vaksin dan vaksinasi COVID-19. Regulasi tidak cukup tanpa didukung kesadaran masyarakat dalam memilah informasi dan kebenarannya agar semakin tertutup kemungkinan munculnya gerakan antivaksin yang menghambat terwujudnya kekebalan komunitas (herd immunity).*

Baca juga: Perusahaan swasta berbasis digital antusiasme percepat vaksinasi

Baca juga: 4.838.752 warga Indonesia telah mendapatkan vaksin COVID-19

Copyright © ANTARA 2021