Jakarta (ANTARA) - Indonesia butuh dana sebesar Rp3.461 triliun untuk bisa menurunkan 29 persen emisi gas rumah kaca atau 834 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) dibandingkan skenario business as usual (BAU) pada 2030.

Bukan nominal rupiah yang sedikit tentunya untuk dicari, terlebih saat ini, di mana ekonomi dunia terkontraksi oleh pandemi COVID-19.

Jika mendapat bantuan internasional, Indonesia menjanjikan akan menurunkan emisi gas rumah kacanya 41 persen atau 1.081 juta ton CO2e dibanding skenario BAU pada 2030.

Itu semua sesuai dengan komitmen yang tercantum dalam dokumen kontribusi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang ditentukan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) yang telah disetorkan Indonesia ke PBB sejak April 2016.

Setelah lima tahun masa persiapan Paris Agreement semenjak disepakati di Konferensi ke-21 oleh Para Pihak (COP21) Konvensi Kerangka Kerja Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada 2015 di Paris, tahun ini seharusnya menjadi awal pelaksanaannya, hingga nanti berakhir di 2030.

Jadi bisa dibilang sekarang ini awal masa kerja untuk menurunkan emisi GRK berdasarkan Paris Agreement.

Benar rupiah yang tertera di sana begitu fantastis, namun jangan mengumpamakan penanganan krisis iklim bagai buah simalakama yang jika "dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati".

Karena dampak bencana dari krisis iklim akibat peningkatan suhu Bumi terlalu mengerikan untuk ditawar. Terlebih ketika disiplin mitigasi dan adaptasi bencana di setiap aspek kehidupan masih jauh dari yang diharapkan.

Bayangkan, 2021 baru berjalan 1,5 bulan namun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah mencatat 441 bencana terjadi di Indonesia. Dari angka itu, bencana hidrometeorologi yang berkaitan dengan iklim mencapai 431 kejadian yang didominasi oleh bencana banjir, tanah longsor dan puting beliung.

Ada 226 korban meninggal dunia, 12.077 mengalami luka, 25 orang hilang hingga Senin (15/2), dan 2.686.826 orang harus mengungsi.

Sementara Executive Director Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) Institut Pertanian Bogor Prof Rizaldi Boer mengatakan Indonesia bisa menanggung kerugian rata-rata hingga enam persen per tahun dari Produk Domestik Bruto (PDB) di 2100 jika tidak melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sejak dini.

Baca juga: Koprol Iklim dorong peningkatan ambisi iklim Indonesia

Baca juga: Perkuat mitigasi emisi GRK, Pemerintah nantikan dana iklim Norwegia


Strategi pendanaan iklim

Sejak 2016, pemerintah memang sudah mengalokasikan dana sebesar Rp89,6 triliun atau sekitar 3,9 persen dari APBN per tahun untuk pengendalian perubahan iklim. Dari dana tersebut sebanyak 55 persen digunakan untuk mitigasi, 34 persen untuk adaptasi dan 11 persen combenefit.

Alokasi APBN tersebut baru sekitar 34 persen dari total kebutuhan pendanaan penurunan emisi GRK per tahun. Masih ada 66 persen pendanaan yang harus dipenuhi setiap tahunnya jika ingin target NDC terpenuhi di 2030.

Seperti kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, pendanaan iklim tidak seharusnya menjadi beban seutuhnya suatu negara. Karena ada pula dana 100 miliar dolar AS yang disepakati dalam Paris Agreement yang harus disalurkan negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang memenuhi target NDC mereka.

Dalam kerangka keberhasilan mengurangi emisi GRK melalui mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan atau REDD+, Indonesia sejauh ini berhasil mendapatkan tiga komitmen pendanaan internasional berdasarkan hasil atau result based payment (RBP).

Pertama, hasil dari Letter of Intent (LoI) Indonesia-Norwegia untuk perhitungan penurunan emisi GRK periode 2016-2017 sebesar 11,23 juta ton CO2e senilai 56 juta dolar AS.

Kedua, Green Climate Fund (GCF) untuk perhitungan penurunan emisi periode 2014-2016 sebesar 20,3 juta ton CO2e senilai 103,8 juta dolar AS. Ketiga, program Forest Carbon Partnership Facilities-Carbon Fund (FCPF-CF) dari Bank Dunia khusus untuk Kalimantan Timur yang berhasil menurunkan emisi dari kegiatan REDD+ sebesar 22 juta ton CO2e senilai 110 juta dolar AS yang akan disalurkan tiga tahap dari 2021-2025.

Tapi tentu seharusnya tidak bisa pula terlalu menggadang-gadang dana iklim tersebut, terlebih hingga saat ini belum ada satupun dana tersebut yang mengalir ke Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang memang dipersiapkan untuk menampung dana-dana tersebut.

Alotnya negara-negara maju penghasil emisi GRK terbesar menjalankan Protokol Kyoto tentu dapat menjadi pelajaran, bahwa kenyataan tidak selalu sama seperti harapan.

Maka sudah tepat jika pemerintah menyiapkan kerangka pendanaan iklim sendiri guna memastikan target penurunan emisi GRK tercapai di 2030, sekaligus digunakan untuk meningkatkan ketahanan nasional terhadap dampak krisis iklim. Pendanaan iklim diharapkan mengalir dari berbagai sumber publik, swasta, ataupun campuran.

Penerbitan Sovereign Global Green Sukuk setiap tahun sejak 2018 dengan total 2,75 miliar dolar AS untuk mendukung pembiayaan transportasi berkelanjutan, mitigasi banjir di daerah sangat rentan, akses ke energi dari sumber terbarukan, pengelolaan limbah, dan proyek efisiensi energi boleh jadi sudah mengarahkan Indonesia di jalur Paris Agreement.

Ada pula penerbitan Ritel Sukuk Hijau dengan total investasi mencapai sekitar 100 juta dolar AS di 2019. Instrumen itu disebut menjadi yang pertama ada di dunia.

Kini tinggal mengarahkan swasta untuk terlibat secara penuh mengatasi krisis iklim, dengan mengubah pendekatan bisnis mereka ke arah keberlanjutan, meyakinkan bahwa opsi keberlanjutan akan membuat bisnis lebih “long lasting” di masa depan.

Pemerintah perlu memastikan semua instrumen fiskalnya efektif membangun ekosistem sektor industri energi baru terbarukan dalam lima hingga 10 tahun ke depan. Sehingga tidak ada lagi impor panel surya dari China, sebaliknya menjamurnya industri kecil dan menengah di dalam negeri yang menyuplai penuh kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan pembangkit-pembangkit listrik energi bersih lainnya.

Pastikan stimulus mengalir bagi peneliti dan perekayasa, start up anak negeri, perguruan tinggi dan masyarakat yang sedang berinovasi dan berkreativitas menciptakan teknologi-teknologi yang efektif untuk mitigasi dan adaptasi krisis iklim.

Bagaimanapun dunia sedang bertransformasi dengan green recovery di tengah pandemi COVID-19. Ibarat gawai, bisnis mereka pun harus kompatibel dengan perubahan agar tetap bisa beroperasi di masa depan.

Baca juga: Makna Amerika Serikat di jalur Kesepakatan Paris

Baca juga: Jelang lima tahun Paris Agreement anak muda tuntut NDC ambisius


Pendekatan holistik

Lalu ada pendanaan proyek hijau padat karya yang diambil dari bagian 20 juta dolar AS lebih yang dipersiapkan pemerintah sebagai stimulus bagi usaha kecil dan menengah serta badan usaha milik negara dan korporasi dalam menghadapi dampak pandemi COVID-19.

Program proyek hijau padat karya pemerintah dengan menanam mangrove yang mengadopsi Green Belt Movement yang sukses dikembangkan masyarakat adat di Kenya tersebut mampu melibatkan 39.970 masyarakat dan 1.014 kelompok di beberapa wilayah pesisir Indonesia untuk merehabilitasi mangrove seluas 17.704 hektare (ha) di 2020.

Sebanyak 863 kelompok masyarakat dapat terlibat dan Rp376,072 miliar dana APBN tersalurkan ke 40.984 buku tabungan yang di antaranya ke 39.970 rekening perorangan dan 1.014 rekening kelompok.

Pendekatan holistik pembangunan dengan berfokus pada pelestarian lingkungan, pengembangan masyarakat dan peningkatan kapasitas tersebut tentu perlu diperluas di tahun-tahun mendatang. Kerusakan ekosistem berkurang, emisi GRK terserap, masyarakat berdaya.

Masih ada 14 juta ha lahan kritis yang juga perlu mendapat sentuhan rehabilitasi berikutnya. Di antaranya ada sekitar 637.000 ha mangrove kritis yang berdasarkan perhitungan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) setidaknya butuh dana awal Rp18,7 triliun untuk merehabilitasi 600.000 ha dan dana sekitar Rp5,8 triliun per tahun untuk pembiayaan pemeliharaan, pendampingan dan penguatan ekonomi masyarakat.

Jadi, tidak mungkin pula Rp3.461 triliun diserahkan sepenuhnya begitu saja pada pemerintah. Sambil mengharapkan dana iklim internasional mengalir lancar, tidak ada pilihan, swasta harus ikut tanggung renteng mendanai pengendalian krisis iklim.

Penanganan krisis iklim menjadi tanggung jawab semua. Maka kolaborasi negara dan seluruh pemangku kepentingan menjadi cara satu-satunya menahan peningkatan suhu Bumi agar tidak melewati 1,5 derajat Celsius di abad ini.*

Baca juga: Anies bersama Gubernur Tokyo terpilih jadi anggota Komite Pengarah C40

Baca juga: Biden tunjuk Deese untuk perangi perubahan iklim dan krisis ekonomi


Copyright © ANTARA 2021