Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 telah menimbulkan dampak besar pada tatanan kehidupan masyarakat. Kasus COVID-19 menunjukkan tren peningkatan, salah satunya melalui peningkatan kasus konfirmasi positif di kluster keluarga.

Pemerintah telah menerbitkan Protokol Kesehatan Keluarga Pada Masa Pandemi COVID-19 untuk mencegah penularan COVID-19 pada kluster keluarga.

Penyusunan protokol tersebut merupakan salah satu arahan Presiden Joko Widodo kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menanggapi penambahan kasus positif COVID-19 yang banyak terjadi di kluster keluarga.

Karena itu, keluarga dianggap sebagai salah satu garda terdepan dalam pencegahan dan pengendalian COVID-19.

Perempuan sebagai manajer keluarga, sangat berperan sebagai benteng keluarga untuk memutus rantai penularan COVID-19.

Juru Bicara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ratna Susianawati pada saat peluncuran protokol tersebut secara virtual mengatakan protokol kesehatan keluarga secara umum adalah tentang 3M, yaitu menggunakan masker, mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, serta menjaga jarak.

Selain itu juga menghindari kerumunan, meningkatkan daya tahan tubuh dengan perilaku hidup bersih dan sehat, membatasi interaksi dengan orang lain, tidak merokok di dalam rumah, serta menerapkan etika batuk dan bersin.

Menurut protokol tersebut, anggota keluarga rentan meliputi ibu hamil, ibu menyusui, ibu nifas, bayi, balita, lanjut usia, dan penyandang disabilitas.

Anak penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok di dalam keluarga yang memiliki kerentanan ganda terhadap penularan COVID-19.

Karena itu, pemerintah juga telah menerbitkan Protokol Perlindungan Terhadap Anak Penyandang Disabilitas dalam Situasi Pandemi COVID-19.

"Pelindungan khusus anak dengan disabilitas juga harus sesuai dengan Protokol Perlindungan Terhadap Anak Penyandang Disabilitas dalam Situasi Pandemi COVID-19," kata Ratna.

Mengacu pada Protokol Kesehatan Keluarga Pada Masa Pandemi COVID-19, salah satu protokol kesehatan yang harus dilakukan adalah penggunaan masker. Namun, masker tidak dianjurkan bagi anggota keluarga yang menderita kelumpuhan dan tidak mampu melepas masker tanpa bantuan.

Selain itu, perawat dan pendamping anggota rentan, termasuk anak penyandang disabilitas, juga harus menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Selain menggunakan masker, juga harus menjaga jarak dan mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir.

Baca juga: Gandeng komunitas disabilitas, PKK Kediri-Jatim bagikan masker

Baca juga: Penyandang disabilitas di Aceh butuhkan perhatian saat COVID-19


Bencana nonalam

Pemerintah telah menetapkan pandemi COVID-19 sebagai bencana nonalam. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana juga telah menyebutkan anak dan penyandang disabilitas sebagai kelompok rentan yang perlu dilindungi.

Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi anak penyandang disabilitas disamping risiko paparan virus corona. Anak penyandang disabilitas memiliki akses yang terbatas kepada informasi yang inklusif tentang COVID-19 sehingga cenderung tidak dapat mengikuti rekomendasi atau protokol pencegahan.

Ketika pandemi COVID-19 terjadi di Indonesia, Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas Respons COVDI-19 telah melakukan kajian dan survei cepat terhadap 1.683 responden yang mewakili seluruh ragam disabilitas di 32 provinsi.

Temuan utamanya adalah 81 persen penyandang disabilitas terdampak serius pandemi COVID-19, terutama di bidang ekonomi, sosial, dan kesehatan.

Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, sebanyak 3,3 persen anak usia lima tahun hingga 17 tahun mengalami disabilitas. Provinsi yang memiliki proposi anak penyandang disibilitas dalam rentang usia tersebut adalah Sulawesi Tengah (7 persen), Kalimantan Utara (5,4 persen), dan Gorontalo (5,4 persen).

Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar mengatakan anak dengan disabilitas perlu dipastikan untuk tidak keluar rumah dan selektif dalam melakukan kontak dengan orang lain.

"Batasi tamu yang akan datang ke rumah, baik yang bersinggungan secara langsung atau tidak dengan anak. Hindari bepergian ke daerah yang berada dalam zona merah," katanya.

Untuk menghindari kecemasan anak selama pandemi COVID-19, lakukan kegiatan bersama untuk membuat anak merasa nyaman meskipun hanya di dalam rumah. Selain itu, pastikan anak mendapatkan asupan gizi seimbang dan beristirahat cukup untuk meningkatkan daya tahan tubuh, serta menerapkan protokol kesehatan.

Apabila, anak penyandang disabilitas harus menjalani isolasi mandiri karena berstatus tanpa gejala atau terkonfirmasi positif COVID-19, siapkan ruang khusus dengan fasilitas pendukung bagi disabilitas.

Akses keluar masuk ke dalam ruang isolasi harus dibatasi. Lakukan protokol kesehatan secara ketat pada orang dan barang yang masuk dan keluar dari ruang isolasi.

Nahar mengatakan perlu ada pembagian tugas yang jelas antaranggota keluarga di rumah atau pendamping dalam melakukan pendampingan dan pengasuhan di ruang isolasi.

Anak penyandang disabilitas harus tetap didampingi serta melakukan kegiatan dan mempertahankan komunikasi antara anak dan pengasuh utamanya. Pengasuh utama harus peka terhadap perasaan dan kebutuhan anak.

Selain risiko tertular COVID-19, pendidikan dan pelayanan anak penyandang disabilitas juga terdampak pandemi secara serius karena terputus aksesnya dari berbagai layanan publik seperti terapi, belanja, kegiatan sosial hingga pendidikan yang harus belajar dari rumah.

Masalahnya, tidak semua sekolah luar biasa memiliki cukup sarana untuk melakukan pembelajaran daring maupun jarak jauh sehingga meniadakan proses pembelajaran.

Sementara itu, akses platform pembelajaran secara daring juga menjadi kendala yang serius karena tidak semua anak penyandang disabilitas bisa mengaksesnya.*

Baca juga: KPPPA: Anak disabilitas perlu pelindungan khusus dari COVID-19

Baca juga: PPDI sebut penyandang disabilitas paling terdampak COVID-19

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021