Banda Aceh (ANTARA) - Ratusan pria dan wanita menggunakan masker duduk bersila di bawah tenda depan pintu masuk komplek kuburan massal Siron Aceh Besar yang merupakan makamnya korban tsunami, 16 tahun silam.

Laki-laki dan wanita itu duduk di atas bentangan sehelai tikar, memanjatkan doa untuk para keluarga mereka yang menjadi korban gempa disertai tsunami pada 26 Desember 2004.

Namun, renungan 16 tahun tsunami ini agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena suasana di kuburan massal Desa Siron atau berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh itu agak sepi.

Di antara seratusan penziarah itu, tampak di bawah pohon trembesi di sudut utara kuburan massal tersebut seorang wanita paruh baya berjilbab biru muda duduk, mengenggam Al Quran kecil di tangannya.

Sayup-sayup terdengar ia membaca ayat-ayat dalam kitab Suci Al Quran dan sekali-kali matanya ke rerumputan hijau tempat para korban tsunami Aceh itu dimakamkan.

Usai berdoa dan mengaji, wanita yang memiliki nama Armiati ini menceritakan tentang keluarganya yang diterjang tsunami 16 tahun lalu.

Armiati mengatakan enam orang dari keluarganya meninggal dunia saat tsunami Aceh, dan dua diantaranya adalah anak kandungnya yang saat itu masih berstatus mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).

"Anak saya dua lagi kuliah di Unsyiah, orang tua, adik dengan suami dan anaknya juga, enam orang semuanya," kata Armiati dengan nada terbata-bata saat berziarah ke kuburan massal Siron Aceh Besar.

Baca juga: Kenang tsunami Aceh, Gubernur sampaikan apresiasi ke 53 negara

Tsunami 30 meter

Ahad, 26 Desember 2004 sekitar pukul 08.58 WIB Nanggroe Aceh Darussalam (Nama provinsi Aceh saat itu) diguncang gempa dahsyat berkekuatan 9,1 sampai 9,3 skala richter.

Episentrumnya terletak di lepas pantai barat Sumatera, Indonesia. Tak lama berselang setelah gempa tersebut, terjadi tsunami hingga meluluhlantakkan daerah berjuluk Serambi Mekkah ini.

Gempa bumi dasar laut itu terjadi ketika lempeng Hindia didorong ke bawah lempeng Burma, hingga akhirnya memicu badai tsunami mematikan sepanjang pesisir daratan yang berbatasan dengan Samudra Hindia.

Tsunami dengan ketinggian sekitar 30 meter tersebut mengakibatkan 280 ribu lebih korban jiwa dan hilang di seluruh dunia, dan Indonesia sekitar 220 ribu orang, dan khusus di Aceh mencapai 170.000 jiwa dengan perkiraan kerugian triliunan rupiah.

Korban gempa dan tsunami Aceh dimakamkan secara massal yakni di kawasan Ulee Lheue Kecamatan Meuraxa Banda Aceh, dan di Desa Siron Kecamatan Ingin Jaya Aceh Besar, serta di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.

Gempa dan tsunami Aceh menjadi salah satu bencana alam terdahsyat dan mematikan sepanjang catatan sejarah. Indonesia, dan khususnya Aceh paling merasakan dampak terparah jika dibandingkan dengan beberapa negara seperti Sri Lanka, Thailand dan India.

Tsunami Aceh mengundang rasa sosial dan simpati berbagai pemerintah, organisasi kemanusiaan, pekerja Asia yang tinggal di negara asing dan masyarakat lainnya dari seluruh dunia memberikan sumbangan serta bantuan teknis.

Tidak kurang dari 53 negara yang telah berkontribusi untuk Aceh mulai dari massa bantuan masa panik, rehabilitasi hingga rekonstruksi bencana.

Baca juga: Jadikan 16 tahun tsunami kekuatan hadapi bencana

Terima kasih dunia

Tepat hari ini, Sabtu 26 Desember 2020 masyarakat memanjatkan doa untuk para korban dan mengenang musibah tsunami Aceh.

Pemerintah Aceh juga menggelar refleksi 16 tahun tsunami Aceh yang terpusat di stadion Harapan Bangsa Banda Aceh. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan berdoa, zikir, tausiah hingga memberikan santunan kepada anak yatim.

Mewakili rakyat Aceh, Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengucapkan berterima kasih serta memberikan penghargaan kepada masyarakat nasional hingga komunitas internasional terhadap solidaritas dan dukungan untuk Aceh saat musibah tsunami dulu.

"Terima kasih atas solidaritas dan dukungannya.Tercatat tidak kurang dari 53 negara telah berkontribusi untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca bencana," kata Nova Iriansyah.

Pemerintah dan masyarakat Aceh juga memberikan apresiasi kepada negara-negara pendonor, salah satunya melalui simbol terima kasih kepada dunia.

Ucapan terima kasih itu berupa monumen Thanks to the world (terima kasih kepada dunia) dan prasasti Thank you and peace (terima kasih anda dan perdamaian) dengan bertuliskan nama serta bendera negara hingga ekspresi rasa syukur dalam bahasa setiap negara, terletak di sepanjang lintasan joging lapangan Blang Padang, Banda Aceh.

"Untuk semua itu, sekali lagi atas nama pribadi dan Pemerintah Aceh kami mengucapkan terima kasih," ujarnya.

Nova menuturkan, walaupun bencana itu telah 16 tahun berlalu, dapat dipastikan kejadian besar tersebut masih berbekas di hati dan ingatan masyarakat Aceh.

Semuanya harus dapat mengambil hikmah dari ujian tersebut, serta bertekad untuk terus bangkit dan menatap hari esok yang lebih baik.

"Kita harus terus berkarya dalam berbagai aspek kehidupan, terutama pembangunan dan pemberdayaan ekonomi keumatan," kata Nova.

Baca juga: 16 Tahun Tsunami Aceh, LIPI: Masyarakat harus mandiri mitigasi bencana

Mitigasi bencana

Sebagai refleksi 16 tahun tsunami Aceh, Dosen Prodi Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh Dr Teuku Alvinsyahrin mengingatkan kepada semua pihak untuk tidak melupakan pendidikan mitigasi bencana tidak di tengah masyarakat, harus selalu dilakukan.

"Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang rawan terhadap bencana, karena itu pendidikan kebencanaan harus selalu diberikan secara berkelanjutan," kata Alvinsyahrin di Banda Aceh.

Peristiwa gempa dan tsunami Aceh 26 Desember 2004 telah mengajarkan masyarakat Aceh akan mitigasi bencana.

Tentunya, kata Alvin, semua komponen mulai dari pemerintah, masyarakat, akademisi masih konsisten untuk terus berupaya menuju kesiapsiagaan menghadapi bencana ke depannya, bukan hanya tsunami tetapi juga musibah lainnya.

Menurut dia, pada tahun pertama hingga keempat pasca tsunami, masyarakat Aceh secara intensif mendapatkan pendidikan tentang mitigasi kebencanaan, mulai dari sosialisasi, simulasi, kunjungan ke sekolah serta berbagai upaya lainnya.

"Jadi ke depan kelemahan kita adalah dalam hal  pendanaan, ini yang harus disiasati," ujar Alvin.

Dia berharap momentum peringatan 16 tahun gempa dan tsunami Aceh ini dapat dijadikan sebagai inisiatif semua unsur di Aceh untuk menyegarkan kembali tentang pendidikan kebencanaan.

Baca juga: 16 Tahun Gempa Aceh, LIPI: Tsunami lebih kecil bisa saja terjadi

Qanun pendidikan kebencanaan

Belajar dari pengalaman gempa dan tsunami Aceh, Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menggodok rancangan qanun (peraturan daerah) tentang pendidikan kebencanaan untuk menciptakan generasi Aceh yang sadar bencana.

Ketua Komisi V DPR Aceh Rizal Falevi Kerani mengatakan, qanun pendidikan bencana itu merupakan salah satu upaya wakil rakyat memberikan pemahaman dan pengetahuan kebencanaan kepada generasi Aceh sehingga nantinya mereka siap menghadapinya.

"Intinya qanun pendidikan kebencanaan Aceh ini akan kita usahakan masuk dalam kurikulum pendidikan di Aceh mulai dari PAUD sampai perguruan tinggi," kata Falevi.

Dia juga mengharapkan momentum peringatan 16 tahun tsunami Aceh pada 26 Desember 2020 ini menjadi renungan untuk selalu sadar bencana.

"Dengan momentum peringatan tsunami ini kita harapkan masyarakat Aceh sadar terhadap bencana," ujar politikus Partai Nanggroe Aceh (PNA) itu.

Rancangan qanun Aceh tentang pendidikan kebencanaan sudah mendapatkan nomor registrasi dari Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) setelah dilakukan konsultasi sejak bulan lalu, dan akan segera dibawa dalam paripurna pengesahan pada akhir tahun ini.*

Baca juga: Doa bersama di kuburan massal korban tsunami Aceh terapkan prokes

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020