Bandung (ANTARA) - Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI), Enggartiasto Lukita mengatakan tidak semua tenaga pendidikan atau guru di Provinsi Jawa Barat (Jabar), umumnya di Indonesia siap menggelar kegiatan belajar mengajar (KBM) secara jarak jauh atau daring di masa pandemi COVID-19.

"Berdasarkan laporan dan survei yang ada, persentasenya di bawah 60 persen yang terjangkau, baik ketersediaan wi-fi internet, sampai kepemilikan terhadap berbagai peralatan yang dibutuhkan," kata Enggar dalam webinar bertajuk “Guru Digital vs Pandemi: Menyoal Kompetensi Guru Era Digital” yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) Sabtu.

Enggar mengatakan ketidaksiapan guru tersebut disebabkan kemampuan para guru dan konektivitas kegiatan belajar mengajar jarak jauh ini tidak semuanya sama di Indonesia, termasuk Jawa Barat dan juga masih banyaknya guru yang tidak siap melakukan pengajaran secara online yang disebabkan sarana dan prasarana untuk menggelar kelas jarak jauh tersebut yang belum terpenuhi.

"Dan Indonesia bukan hanya Jakarta, Pulau Jawa, dan bukan hanya kota-kota besar. Persoalan besar di dalam proses belajar secara virtual ini juga dialami oleh para guru di daerah-daerah lainnya di Indonesia, terutama yang ada di kawasan pelosok," kata dia.

Baca juga: Yogyakarta akan uji coba salah satu platform belajar daring

Baca juga: Belajar matematika jangan hanya hafal materi


Menurut dia, guru-guru yang ada tidak dipersiapkan untuk itu sehingga kesenjangan kemampuan dan akses teknologi pun jadi sangat jelas terjadi antara kota besar dan pelosok dan ini akan kian memperbesar kesenjangan pendidikan antara kota besar dan daerah.

Para guru tidak bisa disalahkan dalam hal ini, kata Enggar, karena ada beberapa guru yang melakukan hal-hal yang tidak tepat, hanya sekedar memberikan tugas dan sebagainya.

"Namun satu hal yang pasti adalah, saya mohon maaf, panduan mengenai penyesuaian kurikulumnya, silabusnya, dalam kondisi ini, belum terpublikasi, belum merata di seluruh daerah sehingga tidak ada pilihan bagi guru untuk hanya sekedar memberikan tugas-tugas saja, karena tidak tahu apa yang harus dilakukan," katanya.

Menurut dia di era Revolusi Industri 4.0 ini, katanya, semua sudah mempersiapkan diri dalam berbagai aspek untuk melakukan digitalisasi, namun dengan pandemi ini, terjadi lompatan untuk mengaplikasikan berbagai hal terutama dari segi informasi teknologi.

"Saat ini yang jadi persoalan adalah siapa yang harus bertanggung jawab. Juga tidak bijaksana kalau kita menyatakan bahwa ini tanggung jawab pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pendidikan. Tetapi tidak bisa dipungkiri Kementerian Pendidikan inilah yang harus memberikan arah kepada seluruh guru," ujarnya.

Enggar mengatakan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) saat ini seharusnya memiliki peranan melalui penugasan Kementerian Pendidikan, untuk bisa mempersiapkan para guru menghadapi kondisi pandemi ini, dengan satu panduan yang jelas.

"Kami berpendapat bahwa LPTK adalah memang lembaga pendidikan tinggi yang dikhususkan untuk itu. Kami mohon ini bisa juga direalokasikan anggaran untuk itu," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, mengatakan dirinya sempat kecewa dengan Kementerian Pendidikan RI yang tidak memberikan perhatian besar pada LPTK padahal ini seharusnya tercantum secara jelas dan komprehensif dalam road map atau Peta Jalan Pendidikan Indonesia.

"Jadi Peta Jalan yang dibikin, termasuk yang bikin saya kecewa adalah, sama sekali tidak mencantumkan revitalisasi LPTK, tidak ada sama sekali," kata dia.

Semenjak Peta Jalan Pendidikan itu disampaikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadiem Makarim dua bulan yang lalu, kata Syaiful, namun belum mencantumkan secara eksklusif di Peta Jalan Pendidikan ini adalah soal LPTK.

"Oleh karena itu saya terus dorong supaya termaktub secara jelas dan menjadi bagian dari Peta Jalan Pendidikan Indonesia," ujarnya.

Objek kedua yang disoroti dalam Peta Jalan Pendidikan itu, kata Syaiful Huda, adalah soal penyelesaian masalah guru honorer.

Isu soal guru honorer yang sejak puluhan tahun lalu belum terselesaikan, diminta diselesaikan di periode ini dan minimal, pemerintah menyelesaikan permasalahan guru honorer di sekolah negeri dulu yang berjumlah sekitar 800 ribu orang.

"Yang ketiga adalah soal guru penggerak. Sampai lima tahun yang akan datang, ditargetkan ada kurang lebih sekitar 100 ribu guru penggerak dicetak. Terus ada program generasi baru guru, ditargetkan sekitar 200.000 sampai pada tahun 2025," kata Huda.

Keempat, ujarnya, menambah porsi pengelolaan yang lebih besar dari Kemendikbud di dunia pendidikan, termasuk bisa berkolaborasi efektif dengan pemerintah daerah terutama dinas pendidikan provinsi dan kabupaten kota yang memang secara amanat undang-undang pemerintah daerah merekalah yang punya hak menyelenggarakan pendidikan di daerah.

Hal yang kelima, katanya, adalah optimalisasi anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen APBN atau setara dengan Rp580 triliun karena dari jumlah tersebut, tak lebih dari Rp 200 triliun yang sepenuhnya didedikasikan untuk fungsi pendidikan, sisanya Rp380 dialokasikan untuk hal lain.*

Baca juga: Sambut normal baru, DPRA evaluasi belajar daring di Aceh

Baca juga: Pemerhati: Guru perlu pendekatan berbeda untuk proses belajar daring

Pewarta: Ajat Sudrajat
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020