Solo (ANTARA) - Pro dan kontra rencana kenaikan iuran premi peserta Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga kini masih terjadi di kalangan masyarakat.

Padahal kenaikan tersebut hanya akan berlaku untuk peserta kelas I dan kelas II, sedangkan untuk peserta kelas III masih tetap dapat menikmati fasilitas kesehatan hanya dengan membayar iuran sebesar Rp25.500/bulan, sama dengan besaran sebelumnya.

Salah satu pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS) Pebrianti Wulandari mengatakan meski menjadi peserta kelas III, banyak manfaat yang diperolehnya, termasuk setiap kali periksa dia tidak perlu membayar biaya periksa maupun obat.

"Biasanya setiap kali periksa saya bayarnya Rp70.000, tetapi semenjak jadi peserta BPJS Kesehatan tidak bayar lagi," kata warga Kelurahan Pulisen, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, ini.

Ia mengatakan sudah menjadi peserta JKN sejak tahun 2015. Awalnya, ibu dua anak ini menjadi peserta kelas II, namun sejak lahirnya anak kedua, ia memutuskan untuk turun kelas karena makin banyak anggota keluarga yang harus membayar iuran sehingga pengeluaran makin besar.

"Saat kelas II kan bayarnya Rp42.000/orang/bulan, kalau sekarang hanya Rp 25.500/orang/bulan. Jadi lebih ringan, apalagi pelayanan yang saya dapat juga sama baiknya," katanya.

Selain lebih ringan dari sisi biaya saat memeriksakan diri ke dokter, wanita berusia 30 tahun ini mengaku juga terbantu saat melahirkan anak keduanya secara operasi caesar. Ia mengaku hanya membayar biaya kekurangan sebesar Rp1,2 juta dari biaya normal sekitar Rp3,5 juta.

"Karena saya memutuskan naik kelas, jadi ada tambahan biaya yang tidak ter-'cover' BPJS," katanya.

Meski demikian, ia memiliki pengalaman saat sempat tidak aktif membayar iuran. Anak keduanya yang sempat mengalami masalah kesehatan dan harus diperiksakan ke dokter spesialis anak, terpaksa tidak ter-cover oleh BPJS Kesehatan.

"Saya waktu itu kalau ke dokter spesialis bayarnya sekali datang sekitar Rp200 ribu, karena saya menunggak, jadi terpaksa tidak bisa pakai kartunya. Baru kemudian setelah saya selesaikan tanggungan tunggakannya saya bisa pakai lagi untuk memeriksakan keluarga," katanya.

Pelayanan baik

Pemegang KIS lain Sigit Joko Gunardi mengaku sangat merasakan manfaat dari KIS yang dimilikinya. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga sekolah ini sangat terbantu saat harus mengopnamekan anaknya yang sakit tifus.

"Alhamdulilah saat itu saya sudah jadi peserta JKN, jadi waktu anak harus rawat inap di rumah sakit saya tidak mengeluarkan biaya apapun. Hanya Rp500 untuk PMI, kalau tidak salah," katanya.

Ia mengatakan jika tidak memegang KIS, biaya normal yang harus dibayarnya hampir Rp2 juta. Sebagai penjaga sekolah yang upahnya tidak seberapa, tentu biaya tersebut terlalu besar baginya.

Meski menjadi peserta kelas III, ia mengaku pelayanan yang diberikan oleh pihak rumah sakit sangat baik. Bahkan, anaknya saat ini pulang dari rumah sakit dalam kondisi benar-benar sehat.

"Memang karena kelas III, jadi untuk satu ruangan berisi beberapa pasien, tetapi disekat dengan tirai dan tetap nyaman, ruangannya juga selalu bersih. Perawatnya ramah-ramah, meskipun yang dihadapi anak-anak, kan biasanya rewel," katanya.

Selain sudah menggunakan KIS untuk perawatan anaknya, Sigit yang juga merupakan penerima bantuan iuran (PBI) ini juga sudah menggunakan KIS untuk dirinya sendiri.

Ia menceritakan pernah suatu kali kakinya tertusuk paku saat sedang membenahi kandang ayam miliknya sehingga terpaksa harus segera ke rumah sakit.

"Selain dapat obat, saya juga dapat suntik tetanus, mestinya bayarnya sekitar Rp200 ribu, tetapi karena pakai KIS jadi gratis," katanya.

Bahkan, setelah memperoleh perawatan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Pandan Arang Boyolali, dokter memintanya agar kembali lagi jika masih merasakan sakit pada lukanya.

"Tetapi saat itu saya langsung sembuh, jadi saya sangat merasakan pelayanan yang baik," katanya.

Ingin pindah kelas

Pemegang KIS yang lain Partini mengaku saat ini masih menjadi peserta JKN-KIS kelas II. Artinya setiap bulan ia harus membayar sebesar Rp51.000.

Meski mengaku masih cukup ringan, ia berencana untuk pindah ke kelas III jika kenaikan iuran jadi diberlakukan oleh pemerintah untuk peserta kelas I dan kelas II.

"Kalau jadi Rp110.000 mungkin saya pindah ke kelas III, tetapi tetap jadi peserta JKN karena saya sangat merasakan manfaatnya, seperti kontrol dokter setiap bulan, kalau dihitung-hitung habisnya bisa sampai Rp100 ribu. Kalau sekarang kan hanya bayar Rp51.000," katanya.

Meski sangat merasakan manfaat dari penggunaan KIS, ia berharap ke depan BPJS Kesehatan lebih proaktif untuk mengingatkan peserta yang menunggak pembayaran premi setiap bulan.

"Dulu saya sempat menunggak, sampai harus bayar Rp2juta. Kalau itu tidak dibayar maka saya tidak bisa pakai KIS. Dulu ada salah komunikasi, saya pikir pembayarannya ini langsung dipotong dari rekening tabungan saya di BRI, ternyata saya harus bayar sendiri. Nggak tahunya saya nunggak banyak sekali. Jadi sekarang setiap bulan saya pilih bayar langsung lewat Kantor Pos sekalian bayar listrik dan air," katanya.

Ia berharap ke depan BPJS Kesehatan bisa lebih aktif jika peserta JKN terlambat membayar. Dengan demikian, tidak perlu menunggu sampai berbulan-bulan sehingga besaran tunggakan terlalu besar.

Sementara itu, terkait dengan rencana kenaikan tersebut, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang kembali menaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan dengan subsidi iuran untuk peserta kelas III kategori pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja.

Iuran peserta kelas I yang sebelumnya Rp80.000 naik menjadi Rp150.000, sedangkan kelas II yang sebelumnya Rp51.000 naik menjadi Rp100.000. Kenaikan diberlakukan mulai Juli 2020.

Adapun untuk iuran BPJS Kesehatan kelas II dinaikkan menjadi Rp 100.000 dari sebelumnya Rp 51.000. Sementara kelas I dinaikkan menjadi Rp 150.000 dari sebelumnya Rp 80.000. Ketentuan mengenai iuran BPJS Kesehatan yang baru ini mulai berlaku sejak 1 Juli 2020.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020