Jakarta (ANTARA) - Direktur Institute for Digital Democracy 
Bambang Arianto berharap pekerja di DKI Jakarta ikut merasakan tatanan norma baru (new normal) setelah berakhirnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 4 Juni mendatang.

Bambang mengungkapkan salah satu yang dapat menjadi pegangan bagi pekerja dalam "new normal" mengacu kepada Undang-Undang Ketenagakerjaan termasuk RUU Cipta Kerja yang sedang dibahas.

"Mengapa? RUU Cipta Kerja karena isinya sebenarnya lebih mendukung kepada pekerja. Sebagai contoh soal upah minimum regional (UMR) bahkan sebenarnya sangat cocok diterapkan saat new normal," kata Bambang di Jakarta, Kamis.

Bambang melihat masih ada kekeliruan pandangan sebagian pekerja terhadap RUU Cipta Kerja seperti soal hilangnya pesangon. Padahal pada kenyataannya tidak benar pesangon akan hilang, justru sebaliknya dalam Omnibus Law akan ada kompensasi sebesar pesangon yang diberikan kepada para pekerja kontrak.

Sedangkan dalam UU yang lama justru tidak ada namanya kompensasi bagi pekerja kontrak. Jadi dalam Omnibus Law, pekerja tetap akan mendapatkan pesangon dan pekerja kontrak akan mendapatkan kompensasi, jelasnya.

“Tapi memang harus diakui bahwa nilai pesangon lebih kecil dari pada UU sebelumnya. Iya betul karena nilai pesangon yang besar selama ini tidak pernah dipenuhi oleh perusahaan," katanya.

Baca juga: ILUNI FHUI: RUU Cipta Kerja harus relevan dengan kondisi "new normal"

Bahkan menurut data Kemenaker hanya 30 persen pesangon yang bisa diberikan oleh pengusaha. Jadi wajar bila saat ini akan diubah skema pesangon lebih kecil.

"Sehingga dengan begitu semua perusahaan akan dijamin bisa memberikan pesangon 100 persen kepada pekerja tetap," ujarnya.

Anggapan lain soal tenaga alih daya (outsourcing seumur hidup) dan karyawan seumur hidup. Ini tentu tidak benar karena aturan "outsourcing" dalam Omnibus Law tetap diatur sedemikian rupa agar tetap menguntungkan pekerja.

Bahkan, Omnibus Law memberikan kepastian perlindungan bagi pekerja kontrak (outsourcing) yang masih terikat kontrak kemudian ter-PHK, maka akan mendapatkan kompensasi sebulan gaji dengan catatan sudah bekerja selama setahun.

Kemudian anggapan adanya waktu yang eksploitatif. Sebenarnya bukan eksploitatif tapi fleksibel.

"Jadi kalau selama ini kita bekerja harus 8 jam per hari. Padahal dalam Omnibus Law diberikan kebebasan bekerja paruh waktu sehingga para pekerja bisa bekerja di beberapa tempat," katanya.

Baca juga: Baleg sebut RUU Cipta Kerja tak langsung selamatkan pekerja dari PHK

Kemudian terkait adanya isu tenaga kerja asing terutama buruh kasar akan bekerja di Indonesia dengan bebas. Padahal kenyataannya tenaga kerja asing semakin diperketat untuk bisa bekerja di Indonesia.

Untuk bisa bekerja di Indonesia, tenaga kerja asing harus bisa menunjukkan sertifikasi dari perusahaan sponsor. Hal itu untuk membuktikan kompetensi yang dimiliki.

"Kemudian tenaga kerja asing juga harus dapat alih teknologi atau transfer kelimuan kepada pekerja Indonesia," ujarnya.

Kemudian, tenaga kerja asing juga masih dikenakan pajak yang tinggi sebesar 1.200 dolar pertahun. Artinya dengan ketatnya seleksi ini tentulah tenaga kerja kasar atau buruh kasar akan sulit bekerja di Indonesia 

Bambang juga menyoroti isu-isu yang keliru dalam RUU Cipta Kerja seperti hilangnya jaminan sosial, PHK jadi lebih mudah, penghapusan cuti hamil dan cuti tahunan serta pasal pidana bagi perusahaan.

"Semua itu tidak benar, justru dalam RUU Cipta Kerja hal-hal yang menyejahterakan pekerja tetap diakomodir," ujar Bambang yang juga peneliti akuntansi forensik di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama (LPPM UNU) Yogyakarta.

Bambang berharap "new normal" ini dapat menjadi momentum bagi pekerja untuk berubah yang dimulai dari undang-undangnya terlebih dahulu.
Baca juga: AICHR sebut pembahasan RUU Cipta Kerja di masa pandemi tak tepat

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2020