Banjarmasin (ANTARA) - Dua orang warga Banjarmasin, Kalimantan Selatan, terkatung-katung di Nepal selama sebulan terakhir akibat karantina wilayah (lockdown) yang diberlakukan di negeri itu sejak 24 Maret 2020 dan hingga kini masih berjuang untuk bisa pulang ke Tanah Air.

Dari Nepal, Kamis sore, Adi Murdani warga Banjarmasin dan Teddy Herianto warga Banjarbaru menghubungi Antara, berharap segera mendapatkan bantuan dari berbagai pihak terkait agar bisa segera kembali ke Tanah Air.

Adi mengaku sudah berupaya menghubungi KBRI untuk bisa difasilitasi kembali ke Tanah Air, namun hingga kini juga belum mendapatkan kabar baik dan kepastian kapan bisa kembali.

Selain itu, dia juga menempuh berbagai cara agar bisa kembali ke Indonesia, termasuk upaya ikut pesawat evakuasi berbayar dari pemerintah Jepang, karena waktu itu ada penerbangan langsung dari Tokyo ke Jakarta, namun upaya tersebut tidak berhasil.

Dia berharap Pemerintah Indonesia memperhatikan nasibnya dengan menyediakan pesawat evakuasi, baik itu dari dana negara ataupun bayar sendiri. "Semakin lama di sini, semakin banyak biaya hidup yang kami keluarkan, ditambah kondisi psikis yang terus memburuk," katanya.

Baca juga: Cegah COVID-19, Nepal tutup jalur pendakian Gunung Everest

Baca juga: Delagasi Nepal belajar desentralisasi kesehatan di Kulon Progo


Ia menceriterakan berawal pada 7 Maret 2020, Adi, Teddy dan Fauzan warga Banjarmasin, berangkat dari Banjarmasin menuju Nepal untuk melakukan pendakian. Awalnya, perjalanan ketiganya berjalan lancar, tidak ada permasalahan berarti.

Begitu sampai di Nepal, ketiganya melakukan perjalanan ke Poon Hiil. Usai dari lokasi pendakian, pada 15 Maret Fauzan kembali ke Tanah Air. Sedangkan Adi dan Teddy melanjutkan perjalanan ke Annapurna Circuit, dan 19 Maret mereka menerima kabar bahwa Nepal akan menerapkan karantina wilayah.

"Saat Pemerintah Nepal berencana memberlakukan karantina wilayah, saya berada di kawasan Annapurna Circuit Trek. Kondisi cuaca di ACT kurang bagus karena sering hujan salju dan berkabut. Kondisi seperti itu membuat jaringan seluler sering hilang, sehingga agak susah untuk mendapatkan informasi," paparnya.

"Pada 19 Maret, saya dapat kabar bahwa Nepal akan dikarantina, hari itu juga saya memutuskan untuk menghentikan pendakian dan mencari mobil jeep yang berangkat keesokan harinya, untuk turun ke starting point," katanya.

Selanjutnya, 20 Maret, mereka berdua menempuh perjalanan menggunakan jeep selama 8 jam. Lalu menyambung perjalanan lagi selama 4 jam menggunakan mikro bus ke kota Pokhara. Saat itu, Adi dan rekannya langsung mencari tiket pesawat terakhir tujuan Indonesia, tetapi semua pemesanan tiket daring statusnya no flight.

Selanjutnya, 21 Maret menuju kota Kathmandu menggunakan bus selama 8 jam. Sampai di Park Pada, langsung naik taksi ke bandara berharap masih ada seat yang tersisa di kantor maskapai. Situasi di bandara waktu itu padat oleh banyak turis yang mencari tiket pulang.

"Tapi semua kantor maskapai yang ada di sana sudah tutup. Begitu pula dengan kantor maskapai di pusat kota. Hasilnya nihil tidak mendapatkan tiket pesawat," katanya.

Pada 22 dan 23 Maret masih semi karantina, hanya ada pembatasan jam malam. Kemudian 24 Maret hingga sekarang karantina wilayah total. "Seharusnya, pada 26 Maret saya telah kembali ke Indonesia, tetapi hingga sekarang saya masih terkatung-katung di sini, tidak jelas kapan bisa kembali," katanya.

Dikejar polisi

Saat ini, Adi dan rekannya tinggal di hotel Yala Peak di Kathmandu. Di tempat tersebut, dia bersama rekannya membantu karyawan hotel memasak makanan. Beberapa hari sekali, dia harus keluar hotel untuk membeli persediaan logistik, walaupun harus dengan sembunyi-sembunyi.

"Situasinya sulit karena semua serba tutup termasuk supermarket. Yang paling dikhawatirkan banyak orang adalah stok makanan. Untungnya, 1 April bandara sudah dibuka. Para turis masih bisa bernafas lega, meskipun akhirnya karantina wilayah diperpanjang," tuturnya.

Karantina wilayah kedua diperpanjang hingga 7 April dan bandara ditutup hingga 15 April dan baru dibuka sepekan setelah karantina wilayah #stayhome berakhir dan supermarket maupun warung-warung warga ada yang buka dengan sembunyi-sembunyi.

"Saya masih bisa kabur ke warung-warung itu pada jam yang kemungkinan tidak ada polisi. Yang bikin sedih, harga kebutuhan lebih mahal, apalagi status saya di sini warga negara asing, selalu dapat harga bule kalau belanja," katanya.

Baca juga: Pendaki Nepal cetak rekor dunia mendaki 14 puncak tertinggi

Baca juga: Nepal berusaha akhiri ketergantungan pada India


Karantina wilayah ketiga diperpanjang hingga 15 April dan bandara ditutup hingga 30 April atau 2 pekan setelah karantina wilayah #stayhome berakhir, baru bandara dibuka. Namun, supermarket dan warung diperbolehkan buka antara pukul 16.00-18.00 waktu setempat dan sudah tidak sembunyi-sembunyi lagi kalau mau belanja.

Karantina wilayah diperpanjang lagi dari 16-27 April. Kali ini lebih ketat kembali seperti karantina wilayah pertama. "Saya pernah diusir polisi dan disuruh pulang ke hotel saat mau ke supermarket," katanya.

Pernah juga, dia harus lari dari razia polisi saat mau belanja ke toko bahan makanan. Dan terakhir pada 19 April, saat antre membeli roti di warung dibubarkan polisi dan tokonya langsung tutup.

"Alhamdulilah, hari ke 31 terkarantina, pada Kamis (24/4) saya mendapatkan bantuan berupa uang tunai dari KBRI yang diwakilkan oleh Konsultan Kehormatan di Kathmandu, untuk dibelikan logistik," katanya.

Adi berharap, bisa segara mendapatkan bantuan dari pemerintah atau pihak terkait, untuk kembali ke Tanah Air secepatnya.

Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020