Jakarta (ANTARA) - Keadaan krisis yang tak kunjung beroleh penanganan memadai, bakal melahirkan berbagai krisis baru. Keadaan buruk itu, jadi kian sulit ditangani.

Setidaknya, itulah yang terkandung dalam pengertian krisis. Krisis menurut freebase yang dapat diakses lewat definition.com adalah kejadian yang diperkirakan dapat menyebabkan keadaan tak stabil, bahkan membahayakan.

Kejadian yang masuk dalam kategori ini memberi pengaruh, mulai dari individu, kelompok, komunitas, hingga akhirnya seluruh masyarakat.

Krisis yang lazimnya berawal dari suatu peristiwa, merembet cepat bergerak menuju perubahan negatif. Ia kemudian memengaruhi masalah keamanan, ekonomi, politik, sosial, maupun lingkungan. Seringkali peristiwa yang disebut krisis, terjadi tiba-tiba dengan sedikit, bahkan tanpa peringatan.

Istilah lain dari krisis adalah 'periode pengujian' atau 'keadaan darurat'. Rhenald Kasali, 1994 dalam bukunya Manajemen Public Relations, menyebut krisis adalah suatu titik balik, untuk jadi baik atau jadi buruk.

Keadaan yang tepat di persimpangan. Dengan demikian krisis adalah momentum krusial atau waktu yang menentukan: menjadi baik atau buruk.

Dengan dikeluarkannya pernyataan resmi adanya penularan COVID-19 yang menjangkiti dua warga Depok Jawa Barat, oleh Presiden Joko Widodo 2 Maret 2020, sejak itu bangsa Indonesia mengakui resmi terjadinya krisis.

Terlepas kesangsian berbagai lembaga kesehatan dunia, bahwa penularan di Indonesia telah ada sejak sebelum tanggal itu, dalam kenyataannya eskalasi krisis terjadi pascapengakuan resmi pemerintah.

Masyarakat terlibat dalam keadaan panic buying, mengalami histeria massa, hingga terjangkiti infodemi. Infodemi, menurut Collinsdictionary.com, yang usulan katanya didaftarkan oleh DavedWachsman3, pada 2013, berarti suatu keadaan yang ditandai oleh banjir informasi mengenai suatu masalah, sehingga kepastian terhadap masalah justru sulit.

Akibat lanjutan infodemi, keadaan yang tak kunjung teratasi. Muncul krisis multidimensi. Hari-hari terakhir ini ciri krisis multidimensi di Indonesia, juga di seluruh dunia, tampak nyata.

Krisis kesehatan yang ditimbulkan oleh cepat dan luasnya penularan dengan disertai angka kematian tinggi di waktu singkat, merembet pada ekologi krisis baru: sosial, ekonomi politik hingga munculnya ancaman stabilitas nasional. Dibutuhkan tindakan tegas dan cepat untuk mengakhiri kondisi krisis.

Lewat pengumuman PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) oleh Presiden Jokowi, 30 Maret 2020, sesungguhnya pemerintah telah bertindak lebih tegas, menangani penularan COVID-19. Itu jika dikaji lewat kacamata kesehatan.

Harapannya, ketegasan lewat PSBB direspons oleh satu gerak serempak masyarakat, pelaku usaha, penyedia fasilitas umum, otoritas kesejahteraan sosial, hingga pihak yang mengawasi jalannya aturan.

Dari penelitian, diketahui virus corona aktif menular 14 hingga 21 hari. Maka jika pascapenetapan PSBB dianggap sebagai hari ke-1 dimulainya pembatasan sosial secara serempak, itu akan berakhir tanggal 14 hingga 21 April 2020.

Akibat-akibat sosial, ekonomi maupun pembatasan penularannya dapat segera dievaluasi dan memperoleh respons manajerial yang sesuai. Apa yang disebut sebagai dampak sosial ekonomi yang menimpa masyarakat, akan terlihat jelas wujudnya, bukan sebatas kekhawatiran.

Namun, tampaknya tak semudah itu. Ekologi permasalahan telah melebar ke mana-mana. Beberapa momentum terlewatkan.

Masalah penularan dan penyembuhan tak lagi sebatas urusan kesehatan maupun sosial dan ekonomi belaka.

Ada aspek politik yg sangat kental. Opsi-opsi penyelesaian dimaknai sebagai kutub dukungan politik antarkubu. Tentu ini sangat disayangkan.

Sebaliknya tuduhan bahwa pemerintah salah respons sejak awal dan adanya sikap tak transparan terhadap informasi maupun langkah-langkah yang ditempuh, juga sulit ditepis faktanya.

Tentu saja ini dilema yang makin memuramkan keadaan. Penanganan maupun penyelesaian perkara utamanya justru samar-samar.

Opsi lockdown misalnya, yang sempat mengemuka di awal krisis, diyakini di antara pihak yang menyuarakannya, mendukung maupun menolak, tak punya basis data yang memadai.

Tak ada argumentasi kuat dari pendukung lockdown, ketika India, USA maupun Italia menerapkan opsi ini, ternyata menimbulkan masalah baru: panic buying di USA, masyarakat terabaikan kebutuhan sosialnya di India atau justru mudik besar-besaran di Italia saat lockdown, yang justru mengintensifkan penularan.

Sementara, persoalan utamanya tak berubah. Demikian pula, apa argumentasi yang menolak opsi lockdown.

Di Rusia, kebijakan ini diduga menekan penularan. Tampaknya, substansi utamanya bukan menerapkan lockdown atau menolak lockdown.

Penularan menyebar lewat pergerakan orang dengan droplet yang mengandung virus. Maka yang harus dibatasi ketat adalah perpindahan droplet itu sendiri.

Dan itu bisa dicegah lewat psysical distancing, perhatian pada kebersihan diri dan meningkatkan imunitas tubuh. Dan untuk itu semua, yang tak kurang pentingnya adalah kejelasan informasi, apa yang harus segera dilakukan oleh masyarakat secara serentak dan apa janji pencapaiannya.



Masalah jadi runyam ketika krisis merembet pada kecurigaan politik. Sebuah persoalan yang justru mengantar pada urusan di luar kesehatan.

Selain korban berambah banyak, upaya menekan angka kematian tak kunjung memperoleh hasil yang menggembirakan. Tak salah, jika masalah makin lebar dan makin sulit diatasi. Malah yang sebenarnya jadi tanda tanya besar saat ini adalah, sudahkan kita masuk pada hari ke-1 penanganan penularan yang benar menurut karakteristik virus corona ?

Sementara beberapa pihak yang sudah patuh karantina mandiri, mulai bosan, frustrasi dengan karantinanya yang tak kunjung beroleh hasil, dan dibayangi kecemasan hari depan yang harus dilaluinya.

Alih-alih bangsa ini ada di persimpangan untuk jadi baik, malah jatuh dalam keadaan buruk yang lebih dalam.

*) Dr. Firman Kurniawan S adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, Pendiri LITEROS.org

Copyright © ANTARA 2020