Sebab, sedari awal KPK tidak pernah secara terbuka mengumumkan siapa saja yang mendaftar dan bagaimana hasil dari setiap proses seleksi yang telah dilalu
Jakarta (ANTARA) - Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengulang seluruh proses seleksi jabatan Deputi Penindakan untuk dilakukan secara terbuka.

"Hingga saat ini, nama-nama calon Deputi Penindakan KPK tidak kunjung diumumkan ke publik. Padahal, diketahui proses seleksi ini sudah memasuki tahap akhir yang tinggal menyisakan tiga kandidat," ucap perwakilan koaliasi yang juga peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu.

Menjadi tidak salah, kata dia, jika publik menaruh kecurigaan akan adanya agenda terselubung dari pimpinan KPK untuk menempatkan pejabat tertentu di posisi krusial tersebut.

ICW pun memberikan beberapa catatan pada proses seleksi Deputi Penindakan KPK tersebut.

Pertama, proses seleksi Deputi Penindakan ini amat berpotensi melanggar ketentuan yang tercantum dalam Pasal 5 UU KPK, khususnya pada asas keterbukaan dan akuntabilitas.

"Sebab, sedari awal KPK tidak pernah secara terbuka mengumumkan siapa saja yang mendaftar dan bagaimana hasil dari setiap proses seleksi yang telah dilalui," ujar Wana.

Kedua, proses seleksi Deputi Penindakan KPK tersebut diduga mengabaikan prinsip keterbukaan dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

"Sebab, dalam Pasal 17 sama sekali tidak mencantumkan proses seleksi ini sebagai informasi yang dikecualikan. Jadi, sikap KPK yang cenderung tertutup tersebut tidak ada urgensinya sama sekali," ujarnya.

Ketiga, proses seleksi Deputi Penindakan KPK mengabaikan Pasal 20 UU KPK yang menyebutkan tentang pertanggungjawaban lembaga antirasuah itu kepada publik.

"Penting untuk dipahami bahwa setiap kerja-kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Tentu dengan model seleksi seperti ini akan semakin menegaskan bahwa ada upaya dari pimpinan KPK untuk menghilangkan keterlibatan publik dalam upaya pemberantasan korupsi," tuturnya.

Keempat, proses seleksi Deputi Penindakan KPK ini terkesan terlalu dipaksakan.

"Apalagi mengingat saat ini Indonesia sedang dilanda wabah virus Corona yang menjadi perhatian pemerintah pusat. Jadi, semestinya KPK dapat memikirkan ulang kelanjutan dari proses seleksi ini," ucap Wana.

Kelima, proses seleksi Deputi Penindakan KPK itu diduga tidak memperhitungkan aspek integritas dan rekam jejak dari calon-calon yang mendaftar.

"Sebab, jika dilihat dari berbagai pemberitaan yang memuat nama-nama kandidat Deputi Penindakan KPK masih ditemukan persoalan serius, misalnya, terkait kepatuhan harta kekayaan penyelenggara negara," kata dia.

Terakhir, proses seleksi Deputi Penindakan KPK itu diduga tidak melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

"Dengan tidak dilibatkannya PPATK dalam proses ini tentu akan berimplikasi serius, potensi calon-calon yang mempunyai rekening yang tidak wajar untuk lolos akan terbuka lebar," ujar Wana.

Adapun, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi tersebut terdiri dari ICW, Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas (PUSaKO), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI).

Sebelumnya, KPK memastikan bahwa proses seleksi empat jabatan struktural meliputi Deputi Penindakan, Deputi Informasi dan Data, Direktur Penyelidikan, dan Kepala Biro Hukum berpegang pada ketentuan undang-undang.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri melalui keterangannya di Jakarta, Senin (30/3) mengatakan proses seleksi yang dilakukan menggunakan metode dan cara yang sama sebagaimana yang selalu dilakukan KPK saat melakukan seleksi jabatan struktural.

"Yaitu meliputi seleksi administrasi, seleksi tes potensi, dan asesmen yang dilakukan oleh pihak ketiga yang profesional dan independen," kata Ali.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020