Jakarta (ANTARA) - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan penindakan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sepanjang 2019 berlawanan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta penyelamatan keuangan negara.

"Presiden Jokowi mengkritik penegak hukum pada Agustus 2019 lalu dengan mengatakan keberhasilan penegak hukum bukan hanya diukur dari jumlah kasus tapi juga harus diukur dari berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan tapi hal itu tidak dilakukan oleh aparat," kata Wana di kantor ICW Jakarta, Selasa.

Baca juga: Presiden tak mau keliru pilih Dewas KPK

Baca juga: Presiden diskusi dengan Komisioner dan Dewas KPK 2019-2023

Baca juga: Dewan Pengawas KPK ucapkan sumpah di depan Presiden Jokowi


Wana menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers "Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2019".

Pada 2019, menurut Wana, penegak hukum yaitu Kejaksaan Agung, kepolisian dan KPK mengenakan pidana pencucian uang terhadap 3 kasus korupsi atau sekitar 1,1 persen dari total kasus yang ditangani. Sedangkan pada tahun 2018 penegak hukum dapat mengenakan pencucian uang terhadap 7 kasus korupsi atau sekitar 1,5 persen.

"Hal ini menunjukkan ketidakseriusan penegak hukum dalam menerapkan konsep 'asset recovery' dalam upaya memiskinkan pelaku korupsi agar menimbulkan efek jera. Bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang berencana memprioritaskan 'aset recovery'," tambah Wana.

Salah satu contoh kasus yang dikembangkan dan dikenakan pasal pencucian uang yaitu kasus suap pengadaan mesin Rolls-Royce yang melibatkan Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar.

Berdasarkan sektor yang dikorupsi, belanja publik masih sangat rawan dikorupsi.

"Hal ini timbul karena dua kemungkinan, pertama, karena sektor belanja publik lebih mudah dikorupsi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Penyelenggara Negara (PN) atau kedua, karena orientasi penegak hukum yang lebih fokus pada sektor belanja publik, belum masuk ke sektor penerimaan negara," tambah Wana.

Ada 212 kasus terkait belanja publik yang ditangani penegak hukum pada 2019 dengan nilai kerugian negara senilai Rp2,1 triliun dan nilai suap Rp154,5 miliar sedangkan sektor penerimaan (seperti pajak) ada 11 kasus dengan nilai kerugian negara Rp42,5 miliar dan nilai suap Rp5,3 miliar.

Sementara dari jenis anggaran, ada 174 kasus terkait pengadaan dengan nilai kerugian negara Rp957,3 miliar dan nilai suap Rp91,5 miliar sedangkan non pengadaan seperti jual beli jabatan ada 97 kasus dengan nilai kerugian negara Rp7,4 triliun dan nilai suap Rp109,3 miliar.

"Korupsi pengadaan barang dan jasa secara kuantitas lebih banyak dibandingkan dengan non pengadaan. Meskipun demikian, dampak kerugian ekonomi yang sangat besar muncul dari aspek non pengadaan," tambah Wana.

Dampak korupsi di sektor pengadaan terletak pada buruknya kualitas barang publik, tidak dapat dimanfaatkannya barang publik, atau jika dipergunakan akan sangat membahayakan masyarakat, misalnya buruknya kualitas gedung sekolah yang bisa berakibat pada ambruknya gedung sekolah dan mengancam nyawa siswa yang sedang belajar.

Baca juga: Presiden Jokowi: UU baru KPK tidak melemahkan

Selanjutnya, korupsi berdasarkan sektor ternyata anggaran desa menduduki perkara paling banyak ditangani sepanjang 2019 yaitu 46 kasus dengan nilai kerugian negara Rp32,3 miliar, disusul dengan sektor transportasi sebanyak 31 kasus dengan nilai kerugian negara Rp434,3 miliar dan nilai suap Rp46,7 miliar.

"Ini menunjukkan belum ada sistem komprehensif dilakukan atau dibuat dalam pengawasan anggaran dana desa, termasuk anggaran desa, alokasi dana desa dan penerimaan anggaran desa," tambah Wana.

Sektor yang terdampak berdasarkan akibat tindak pidana korupsi adalah bencana alam (5 kasus), pertambangan (4 kasus), pengadilan (3 kasus), kejaksaan dan kepolisian (3 kasus) dan lapas (2 kasus).

Kasus pada sektor bencana alam seperti kasus dugaan korupsi dana bencana gempa Lombok; kasus pada sektor pertambangan yang menimbulkan kerugian negara sangat besar seperti kasus dugaan suap penerbitan Izin Usaha Pertambangan oleh Bupati di Kotawaringin Timur, Supian Hadi dengan nilai kerugian negaranya mencapai Rp5,8 triliun.

Kasus pada sektor peradilan seperti kasus dugaan suap terkait pengurusan perkara perdata di Mahkamah Agung yang melibatkan Sekretaris MA, Nurhadi.

Baca juga: KPK sarankan Haris Azhar beberkan lokasi persembunyian Nurhadi

Baca juga: Haris Azhar: Mantan Sekretaris MA Nurhadi dapat proteksi "mewah"

Baca juga: Mantan Sekretaris MA DPO, Maqdir Ismail: Tindakan berlebihan


Kasus pada sektor penegakan antara lain pemerasan saksi kasus dugaan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan PT Dok dan Perkapalan Koja Bahari yang dilakukan oleh Jaksa; dan kasus dugaan pungutan liar untuk membebaskan tersangka kasus penadahan barang curian yang dilakukan oleh polisi.

Kasus pada sektor lapas seperti suap pemberian fasilitas atau perizinan ke luar lapas Klas I Sukamiskin yang dilakukan oleh Kepala Lapas Sukamiskin, Wahid Husein.

Pemerintah kabupaten masih menjadi lembaga yang paling banyak melakukan korupsi yaitu 95 kasus dengan nilai kerugian negara Rp6,1 triliun dilanjutkan pemerintah desa sebanyak 48 kasus dengan nilai kerugian negara Rp32,7 miliar.

Sedangkan dari total 580 orang yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2019, sebanyak 213 adalah ASN, 149 orang berasal dari sektor swasta dan 45 orang adalah kepala desa. Sisanya direktur utama/staf BUMN (26 orang), aparatur desa (19 orang), kepala sekolah (16 orang), kepala/staf organisasi (16 orang), bupati/wakil bupati (16 orang), ketua/anggota DPRD (15 orang), ketua/anggota DPR (9 orang), dirut/staf BUMN (9 orang), jaksa (9 orang), masyarakat (7 orang), wali kota/wakil wali kota (5 orang).

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020