Itu menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menghadirkan sekolah setingkat SMA agar anak-anak di desa bisa melanjutkan sekolah dan tidak buru-buru dikawinkan setelah lulus SMP
Jakarta (ANTARA) - Direktur Rumah Kitab Lies Marcus mengatakan penurunan angka perkawinan anak bukan hanya tanggung jawab Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melainkan juga harus didukung kementerian-kementerian lain yang memiliki peran teknis dalam pembangunan.

"Perkawinan anak adalah krisis yang harus diselesaikan oleh multipihak. Pembangunan harus dipandang dengan perspektif gender," kata dia dalam bincang media yang diadakan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan pada 1901 R.A. Kartini sudah pernah membuat tulisan yang memprotes perkawinan anak perempuan salah satu penguasa wilayah di Jawa yang baru berusia 13 tahun. Ternyata permasalahan perkawinan anak perempuan masih terjadi di Indonesia pada 2020.

Padahal, sudah lebih dari 100 tahun sejak tulisan Kartini itu, Indonesia merdeka, melakukan pembangunan di segala bidang, akses pendidikan semakin luas dan tingkat pendidikan masyarakat semakin tinggi, ternyata tidak bisa melepaskan bangsa ini dari perkawinan anak.

Lies mengatakan salah satu alasan mengapa anak dikawinkan karena tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SMP. Alasannya, karena dia tinggal di desa yang jauh dari SMA yang ada di kota,

"Itu menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menghadirkan sekolah setingkat SMA agar anak-anak di desa bisa melanjutkan sekolah dan tidak buru-buru dikawinkan setelah lulus SMP," tuturnya.

Baca juga: KPPPA: Perlu kerja ekstra keras turunkan angka perkawinan anak

Pemerintah menyasar penurunan angka perkawinan anak perempuan menjadi 8,74 persen pada 2024 dari 11,21 persen pada 2018.

Dalam rentang 10 tahun, prevalensi perkawinan anak perempuan di Indonesia terus menurun dari 14,67 persen menjadi 11,21 persen.

Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional 2018, prevalensi perempuan usia 20 hingga 24 tahun yang menikah sebelum 18 tahun adalah 11,2 persen. Hal itu, artinya satu dari sembilan perempuan menikah saat masih anak-anak.

Prevalensi laki-laki usia 20 hingga 24 tahun yang menikah sebelum 18 tahun adalah 1,06 persen atau satu dari 100 laki-laki menikah saat masih anak-anak.

Lies menjadi salah satu narasumber dalam bincang media yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang bertema "Gerak Langkah Bersama dalam Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak Menuju Indonesia Layak Anak".

Narasumber lain adalah Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin dan Ketua Pengurus Harian Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin K. Susilo.

Baca juga: Kelekatan budaya dan ekonomi tantangan terbesar cegah perkawinan anak
Baca juga: Bappenas: Tantangan besar pembangunan SDM adalah perkawinan anak
Baca juga: KPPPA dan 20 provinsi sepakati komitmen cegah perkawinan anak

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020