Makassar (ANTARA) - Lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Sulawesi Selatan melansir data sepanjang tahun 2019 dari 24 kabupaten kota, 20 di antaranya terdampak bencana ekologis dengan jumlah korban terdampak sebanyak 1.032.852 jiwa.

"Dari bencana itu, kerugian materil pascabencana yang dialami penduduk secara total sebesar Rp 2,3 triliun lebih," ungkap Direktur Eksekutif Walhi Sulsel Muhammad Al Amin saat rilis catatan akhir tahun 2019 di Makassar, Selasa.

Ia mengatakan, bencana ekologis yang sering dirasakan masyarakat di Sulsel sepanjang tahun 2019 ada enam jenis bencana yakni banjir, abrasi, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), longsor dan angin puting beliung.

Data yang dikumpulkan dari beberapa sumber valid, untuk bencana banjir terjadi di 20 kabupaten kota. Kabupaten Wajo yang paling terdampak parah dengan korban sebanyak 52.112 ribu jiwa hingga merendam 8.504 hektare lahan persawahan dan perkebunan rakyat termasuk fasilitas publik lainnya.

Selanjutnya di Kabupaten Jeneponto, saat terjadi banjir bandang merusak 438 rumah warga, 85 jiwa mengalami luka-luka, 13 orang meninggal dunia dan empat orang hilang. Di Kabupaten Maros, luas lahan persawahan yang terendam seluas 8.321 ribu hektare.

Baca juga: DPR minta masukkan Pemprov Sulsel soal penanggulangan bencana

Sedangkan bencana tanah longsor di Sulsel tercatat jumlah masyarakat yang terdampak di Kabupaten Gowa sebanyak 3.041 jiwa, meninggal karena tertimbun sebanyak 55 jiwa. Di Kabupaten Enrekang korban terdampak sebanyak 400 jiwa dengan 42 unit rumah rusak. Begitupun di Kabupaten Luwu, ada 40 jiwa yang terdampak dan 10 unit rumah rusak akibat tanah longsor.

Untuk bencana angin puting beliung terjadi di Kabupaten Takalar, sebanyak 85 jiwa menjadi korban dan 26 rumah rusak. Bencana serupa di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), terdapat 95 jiwa dan 20 unit rumah rusak. Di Kabupaten Barru ada 148 jiwa dan 46 unit rumah rusak.

Sementara di Kabupaten Toraja korban sebanyak 122 jiwa dan 14 unit rumah warga rusak. Dan Kabupaten Sidrap terdapat 53 jiwa dengan 18 unit rumah rusak. Kabupaten Enrekang, ada 91 rumah warga yang rusak dan empat orang yang mengalami luka-luka akibat bencana angin puting beliung.
Dokumen presentase Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan saat rilis Catatan Akhir Tahun (Catahu) di kantornya, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (31/12/2019). ANTARA/Darwin Fatir.


Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan atau Karhutla juga terjadi di hutan wilayah Kabupaten Gowa, ada 200 jiwa yang mengungsi dan 107 unit rumah yang rusak dengan luasan hutan dan lahan terbakar seluas 75 hektare. Sedangkan di Kabupaten Luwu bencana Karhutla seluas 27 hektare dan Luwu Timur seIuas 50 hektare.

Dampak bencana kekeringan juga terjadi di beberapa daerah, seperti Kota Makassar terdampak krisis air bersih sebanyak 564.612 ribu jiwa. Disusul Kabupaten Jeneponto ada 361.793 jiwa yang terdampak kekeringan dan 15.591 ribu hektare sawah gagal panen.

Di Kabupaten Bulukumba, ada 1.200 petani terdampak dengan luas sawah dan kebun 2.294 hektare gagal panen akibat kekeringan. Begitupula di Kabupaten Maros, ada 7.100 jiwa yang terdampak kekeringan dan 300 hektare sawah mengalami gagal panen.

Bencana ekologis lainnya yakni dampak gelombang pasang dan abrasi masyarakat pesisir di Kabupaten Kepulauan Selayar. Tercatat 109 jiwa dan tujuh rumah rusak berat serta satu orang meninggal dunia. Tidak hanya di Selayar, bencana itu juga terjadi di Kabupaten Takalar. Ada 1.975 jiwa masyarakat pesisir terdampak, serta 34 unit rumah warga yang berada di pesisir amblas terkena abrasi.

Baca juga: Pengamat ingatkan konservasi air selamatkan Sulsel dari bencana

Dari enam jenis bencana ekologis Sulsel, yang paling sering dirasakan rakyat adalah angin puting beliung sebanyak 40 kali atau setara dengan 46,5 persen dari 80 kejadian bencana ekologi sepanjang 2019.

"Disusul dengan banjir sebesar 29,1 persen, tanah longsor 9,3 persen kebakaran hutan 7,0 persen, kekeringan 5,8 persen dan terakhir abrasi dan gelombang air laut sebesar 2,3 persen ," ujar Al Amin.

Menurut dia, bencana ekologis ini disebabkan eksploitasi sumber daya alam dan perusakan lingkungan yang berlebihan dalam meraup keuntungan tanpa memikirkan keberlanjutan lingkungan dan keselamatan hidup rakyat.

Rentetan bencana ekologis di Sulsel dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sepanjang sejarah di Sulsel, bencana ekologis yang paling parah pada bulan Januari 2019 yang menimbulkan banyak kerugian baik secara materil maupun non materil.

"Kerugian secara meteril dari bencana ekologis ini kebanyakan di tanggung masyarakat sendiri dengan nilai kerugian sebesar Rp2,3 trillun atau setara dengan 25 persen anggaran APBD Sulsel, dan anggaran untuk pendidikan," beber dia.
Dokumen presentase Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan saat rilis Catatan Akhir Tahun (Catahu) di kantornya, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (31/12/2019). ANTARA/Darwin Fatir.


Daerah tutupan hutan minim pemicu banjir

Al Amin menyebutkan, terjadinya bencana banjir tersebut disebabkan jumlah tutupan hutan Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang di Kabupaten Gowa hanya sebesar 16,82 persen. Seharusnya luas tutupan hutan sebagai 'catchment area' atau daerah resapan air 30 persen dari luas DAS Jeneberang.

Akibatnya, bencana banjir terjadi hingga menyasar di beberapa kabupaten kota di Sulawesi selatan seperti, Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar dan Kabupaten Jeneponto pada awal Januari 2019.

Bencana ekologis seperti disebutkan tadi, lanjut Amin, sampai detik ini belum ada perhatian serius dan belum ada respon baik dari Pemerintah Provinsi Sulsel.

"Seharusnya fakta ini menjadi landasan pemerintah untuk memperbaiki dan memulihkan kembali lingkungan yang sudah terlanjur rusak," ucapnya menegaskan.

Baca juga: Kemensos imbau hidupkan kearifan lokal antisipasi bencana

Berdasarkan uraian tadi, aktivis lingkungan ini menyarankan Pemprov Sulsel perlu membuat strategis baru dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan menyelamatkan hidup rakyat dengan me-reviuew (tinjau ulang) kembali semua perizinan yang berpotensi merusak lingkungan dan keselamatan hidup rakyat.

Jika hal ini tidak dilakukan secepatnya, bencana ekologis akan tetap ada. Ia menyampaikan bahwa tidak ada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat di tengah kerusakan lingkungan hidup

"Artinya apa, bahwa jika kerusakan lingkungan hidup terus terjadi, maka pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat tidak akan pernah ada. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat akan ada jika lingkungan hidupnya bisa lebih baik," tambahnya menyarankan.

Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019