Begitu ada acara adat, banyak yang mogok belajar. Ini menjadi tantangan bagi kami
Jakarta (ANTARA) - Ramai suara perempuan dan laki-laki yang memecah keheningan terdengar dari sebuah rumah panggung kayu setengah jadi di Desa Talang Sungai Parit, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Rumah kayu tersebut terletak di tengah-tengah perkebunan karet dan sawit, bersama dengan tiga rumah kayu lainnya. Dinding kayu masih terpasang sebagian. Papan yang terpasang pun belum diketam sempurna, sejumlah serat kayu masih menonjol di sela-sela papan.

“Ini apa A, B, C, D,” ucap seorang laki-laki sambil menunjuk papan tulis, yang kemudian diikuti sekelompok warga yang duduk di lantai beralaskan tikar plastik.

“Ini B dan A dibaca BA. Ini C dengan A dibaca CA jadi BACA bukan bace (baca) ya bapa ibu,” katanya lagi disambut gelak tawa.

Siang itu, kelas berlangsung meriah dipenuhi gelak tawa. Sebagian besar hanya mengulang pelajaran yang sudah diberikan. Dimulai dari mengenali kembali huruf, latihan membaca dan dilanjutkan berhitung. Kelas tersebut diikuti warga Desa Talang Sungai Parit. Usianya beragam, ada yang berusia lanjut ada pula di bawahnya, namun sebagian besar tidak diketahui berapa usia sebenarnya.

Mereka juga tidak mengenakan seragam. Ada yang menggunakan kemeja dengan celana pendek, ada juga yang mengenakan baju kaos. Sebagian perempuan menutup kepala mereka dengan kain, sebagian lagi membiarkan rambutnya terbuka. Ada pula perempuan yang membawa anaknya ke dalam kelas nonformal tersebut.

Kelas tersebut bagian dari pembelajaran Pendidikan Keaksaraan Dasar pada Komunitas Adat Terpencil (PKD-KAT) yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Indragiri Hulu.

Salah satu tempat penyelenggaraannya di Desa Talang Sungai Parit,yang terletak 191 kilometer dari Pekanbaru, ibu kota provinsi Riau atau bisa ditempuh lima jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda empat. Desa tersebut belum dialiri listrik dan tidak ada jaringan telepon seluler.

Penduduk desa tersebut merupakan suku Talang Mamak, yang mendiami lima kecamatan di Indragiri Hulu. Lima kecamatan tersebut yakni Batang Gansal, Batang Cenaku, Kelayang, Rengat Barat, dan Rakit Kulim.

Suku Talang Mamak merupakan satu dari lima suku asli yang ada sejak dahulu di Riau atau tergolong Melayu Tua, bersama empat suku lainnya yakni Suku Laut, Suku Bonai, Suku Sakai dan Suku Akit. Data Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) pada 2015, menyatakan populasi suku Talang Mamak mencapai 18.000 jiwa. Sebagian besar masyarakat Talang Mamak buta aksara atau tidak memiliki kemampuan literasi dasar seperti membaca, menulis dan berhitung.

Seorang warga belajar, Pilip (32), mengaku sudah tiga bulan mengikuti pendidikan keaksaraan tersebut. Selama tiga bulan terakhir, Pilip berusaha meluangkan waktu pada Sabtu dan Minggu siang agar bisa ikut belajar bersama dengan warga lainnya.

"Kami orang susah ni, kendalanya membagi waktu. Apalagi anak sudah empat yang harus diberi makan," ujar Pilip yang sehari-hari bekerja sebagai penderas karet tersebut.

Dengan lirih, Pilip menjelaskan bahwa motivasinya untuk ikut serta dalam pembelajaran itu karena tidak ingin lagi hidup dalam kebodohan akibat tidak bisa baca tulis. Ia merasakan tak enaknya hidup dengan buta aksara.

"Karena bodohnya kami, alamat sendiri pun tidak tahu bagaimana menulis," kenang Pilip yang tinggal di Dusun Satu, Talang Sungai Parit, Kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu, itu.

Ia juga kesulitan saat berada di jalan raya, tidak tahu harus memilih jalan yang mana karena tidak bisa membaca petunjuk jalan yang terpasang. Sering, Pilip tersesat. Selama tiga bulan belajar, Pilip mengaku sudah bisa menulis namanya sendiri. Sudah tahu huruf dan angka. Meskipun, ia mengalami kesulitan saat mengeja bacaan.

"Agak sulit mengadu (mengeja) huruf itu bu, tapi lama-lama bisa juga membaca walau payah sikit (sedikit) " lapor dia.

Kendati demikian, Pilip mengaku akan terus belajar hingga dua bisa membaca, menulis dan berhitung dengan lancar. Sama halnya dengan anak-anaknya yang saat ini duduk dibangku Sekolah Dasar (SD).

Pilip mengakui memang tak pernah mengenyam pendidikan formal sejak kecil. Orang tuanya tidak mampu menyekolahkannya. Apalagi pada masa itu, sekolah dan rumahnya jaraknya pun jauh dan ia tidak memiliki kendaraan. Akses jalan raya belum begitu baik. Perusahaan perkebunan di kawasan itu belum begitu banyak. Masih belum banyak warga pendatang di desa tetangga.

Pilip tak mau anak-anaknya merasakan apa yang dialaminya. Oleh karenanya, Pilip terus mendorong anak-anaknya untuk terus belajar dan bersekolah meskipun dalam keterbatasan. Sebagai petani karet, penghasilan Pilip tak menentu. Terkadang, ia mendapatkan uang Rp40.000 sehari, tapi terkadang juga tak memiliki penghasilan.

Apalagi saat musim hujan, Pilip tak bisa menderas karet. Melakukan pekerjaan lain, ia tak bisa karena kemampuan keaksaraan dasar saja tidak dimilikinya. Tak mau larut dari ketidakmampuan, Pilip mengaku ingin terbebas dari buta aksara. Beruntung istrinya mendukung dirinya untuk bisa belajar di pendidikan keaksaraan dasar tersebut.

Warga belajar lainnya yakni Pacaran, mengatakan sudah merasakan manfaat dari pendidikan keaksaraan tersebut. Sebelumnya, ia sama sekali tidak bisa membaca, menulis dan berhitung. Warga Talang Mamak juga kerap mengalami perundungan karena identik dengan suku terbelakang..

"Mungkin kami sering dibodohi-bodohi dulu, karena ketidaktahuan kami," kata Pacaran yang mengaku tidak tahu berapa umurnya.

Sebelum mengikuti pendidikan keaksaraan, Pacaran sering mengalami kebingungan saat belanja di warung atau di pasar. Pacaran tidak tahu huruf dan angka dan membedakan uang hanya berdasarkan gambar dan warna. Pun begitu, saat menjual hasil karet dan lainnya, Pacaran menyerahkan sepenuhnya pada pembeli.

“Entah ya bu, kami tidak tahu berapa banyak getah karet yang terkumpul . Berapa uangnya kami tidak tahu. Terserah tauke yang datang saja,” jelas Pacaran.

Sejak mengikuti program keaksaraan dasar, Pacaran sudah bisa menerapkan apa yang dipelajarinya di kehidupan sehari-hari. Pacaran sudah bisa membaca dengan baik dan sudah tahu berapa banyak hasil yang ia dapat dari penjualan getah karet.

Baca juga: Menyibak tabir gawai gedang suku Talang Mamak (bagian 1)

Baca juga: Menyibak tabir gawai gedang suku Talang Mamak (bagian 2-habis)


Pendekatan dengan hati

Membujuk warga Talang Mamak untuk mau belajar, bukanlah hal yang mudah. Romi J Tendra, tutor di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Indragiri Hulu, merasakan betul bagaimana sulitnya membujuk warga Talang Mamak untuk belajar.

"Pendekatan yang kami lakukan dari hati. Segala sesuatu harus dari hati. Contohnya kita dekat hewan saja, karena didekati dengan hati. Apalagi manusia, kalau kita baik maka mereka akan baik juga," ujar Romi.

Romi menambahkan karakteristik masyarakat Talang Mamak berbeda dengan masyarakat di perkotaan, yang sudah menyadari pentingnya pendidikan. Apalagi di desa tempat masyarakat Talang Mamak berada jauh dari fasilitas pendidikan.

Selain itu, masyarakat Talang Mamak juga masih hidup dibawah garis kemiskinan, yang membuat masyarakat sulit mendapatkan akses pendidikan dan lebih memilih bekerja mencari nafkah, dibandingkan sekolah.

"Alhamdulillah, dengan pendekatan yang baik dan dibantu relawan, masyarakat Talang Mamak mau belajar," terang Romi yang mendapatkan upah sebesar Rp400.000 sebulan itu.

Romi yang merupakan lulusan program studi Manajemen Dakwah itu, menjelaskan dirinya sudah mengajar selama enam bulan di desa tersebut. Setiap Sabtu dan Minggu tepatnya pukul 14.00 hingga 16.00, dia dan sejumlah tutor lainnya mengajar di desa itu.

Jumlah warga yang belajar di desa itu sebanyak 60 peserta, yang dibagi menjadi enam kelompok. Satu kelompok terdiri dari 10 warga belajar dengan satu orang tutor. Untuk tempat pembelajaran yang semula di sekolah pindah, mengikuti keinginan warga. Warga Talang Mamak kurang menyukai harus belajar di sekolah. Mereka lebih senang belajar di rumah warga atau di halaman rumah warga.

Mengajar warga belajar yang beragam usianya itu, juga mempunyai tantangan sendiri bagi Romi yang masih berusia 28 tahun tersebut. Ia pun memilih menyesuaikan bahan pembelajaran dengan kondisi masyarakat.

"Masyarakat Talang Mamak ini, sangat kuat dengan adat. Begitu ada acara adat, banyak yang mogok belajar. Ini menjadi tantangan bagi kami dalam mengajar masyarakat adat ini," kata Romi.

Tutor SKB lainnya, Lila Tarida Hutabarat, mengatakan masyarakat Talang Mamak memang membutuhkan bantuan agar bebas dari buta aksara. Lila sudah mengajar di pedalaman sejak tahun 1984. Lila terus memotivasi masyarakat Talang Mamak paling tidak mau belajar keaksaraan dasar.

"Dari hasil didikan saya, sudah ada beberapa warga belajar yang mandiri. Membuka usaha di Desa Sungai Bungin. Ada juga yang bekerja di perusahaan perkebunan," terang Lila.

Saking lamanya mengajar di kawasan suku Talang Mamak, Lila bahkan sudah dianggap sebagai bapak sendiri oleh warga tempatan. Mereka enggan belajar jika tutornya bukan Lila.

"Kami kalau pak Lila yang mengajar, kami mau. Kalau yang lain tidak," kata Lila menirukan ucapan warga.

Sebagai instruktur yang sudah mengajar selama 35 tahun, Lila melakukan pendekatan yang berbeda untuk mengajarkan keaksaraan pada warga. Contohnya dalam belajar berhitung, Lila langsung mengajak warga ke kebun karet untuk menghitung berapa banyak karet yang dihasilkan setiap harinya.

"Misalnya satu pohon itu berapa mangkuk getah karet yang dihasilkan. Kalau dia punya pohon karet sekian, berarti sekian kilogram getah karet yang dihasilkan," terang Lila.

Melalui praktik langsung dalam kehidupan masyarakat tersebut, warga belajar pun semangat untuk mengikuti program keaksaraan dasar tersebut. Masyarakat Talang Mamak, kata Lila, perlu diberikan pemahaman untuk apa itu membaca, untuk apa itu menulis, dan untuk apa itu berhitung. Dengan pemahaman tersebut, masyarakat menjadi lebih bersemangat dan tahu berapa banyak aset yang mereka miliki.

"Mereka sekarang tahu berapa banyak luas tanah mereka, kalau sebelumnya mereka tidak tahu," cetus Lila.

Buta Aksara

Kepala Desa Talang Sungai Parit, Sudiman, mengatakan populasi di wilayahnya mencapai 225 kepala keluarga, dengan penghasilan utama dari perkebunan. Kawasan itu memiliki perkebunan karet dan sawit. Ada sebagian kecil perkebunan karet milik warga dan sebagian besar merupakan perkebunan sawit milik perusahaan.

"Bagi yang punya kebun karet, mereka bisa menderas karet. Tapi sekarang, karena harga karet murah, lebih banyak yang bekerja di kebun sawit milik perusahaan," kata Sudiman.

Rata-rata penghasilan penduduk tersebut sebesar Rp40.000 hingga Rp50.000 setiap harinya. Hal itu dikarenakan harga karet sejak satu dekade terakhir mengalami tidak kunjung membaik.

Sebagian besar warga tidak mempunyai berkas administrasi seperti kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP) dikarenakan, perkawinan yang dilakukan secara adat dan tidak tercatat oleh negara. Kondisi itu menyebabkan warga di kampung tersebut tidak bisa mendapatkan akses program pemerintah seperti Program Indonesia Sehat (KIS), Program Indonesia Pintar (KIP), serta Program Keluarga Harapan dan Bantuan Pangan Non Tunai.

"Warga saya tidak bisa mendapatkan bantuan pemerintah, walaupun sebenarnya hidup dalam kemiskinan," ujar Sudiman.

Kondisi itu diperparah dengan buruknya akses jalan di desa tersebut. Sebagian besar masih berupa jalan setapak, yang tidak bisa dilalui saat hujan. Selain itu, akses pendidikan seperti Sekolah Dasar (SD) masih menumpang di desa sebelah. Untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yakni SMPN 1 Sei Lala, berada di kecamatan sebelah yang berjarak sekitar 20 kilometer dari desa itu. Pun begitu dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) yakni SMAN 1 Sei Lala, yang berjarak sekitar 24 kilometer dari Talang Sungai Parit.

Tak heran, banyak anak-anak di desa tersebut yang hanya mengecap pendidikan hingga tamat SD. Generasi di atasnya pun banyak yang masih buta aksara.

"Sebagian besar warga di desa kami, masih buta huruf (buta aksara)," cetus Sudiman.

Akibat banyak buta aksara, warga di desa itu sering menjadi korban penipuan, terutama dalam masalah jual beli lahan. Suku Talang Mamak, lanjut Sudiman, polos dan mudah percaya dengan orang lain. Begitu hendak menjual lahan, mereka mempercayakan sepenuhnya pada penjual.

"Kalau disuruh meneken (menandatangani) surat tanah, mereka tidak tahu harus dimana,” kata Sudiman lagi.

Sebagai kepala desa, Sudiman, mengaku senang adanya Pendidikan Keaksaraan Dasar Komunitas Adat Terpencil (PKD KAT), karena memang sangat dibutuhkan oleh masyarakatnya. Dengan program tersebut, Sudiman berharap warganya bisa keluar dari buta aksara. Tidak lagi hidup dalam ketidaktahuan.

"Kami sangat berterima kasih pada pemerintah, karena memang program ini sangat dibutuhkan. Harapan kami, tidak hanya sampai disini tapi harus ada program lanjutannya," harap Sudiman.

Pelaksana tugas Kepala SKB Indragiri Hulu, Juliardis, mengatakan program keaksaraan dasar diselenggarakan dua kali dalam seminggu selama enam bulan di Desa Talang Sungai Parit dan Desa Talang Jerinjing.

"Kami sangat bersyukur mendapatkan kepercayaan menyelenggarakan pendidikan keaksaraan dasar yang dikhususkan kepada masyarakat Talang Mamak ini. Dalam kegiatan ini proses belajar mengajar berlangsung selama dua hari dalam seminggu, selama enam bulan. Dari bulan Mei hingga September," jelas Jul.

Warga yang semula tidak mau belajar, akhirnya belajar setelah dimotivasi oleh para tutor. Pelaksanaan pembelajaran selama enam bulan berlangsung dengan baik dan sesuai dengan modul yang diberikan. Kendala utama dalam penyelenggaraan pendidikan keaksaraan dasar itu, yakni kurang lengkapnya berkas administrasi. Pihak SKB bekerja sama dengan kepala desa untuk melengkapi berkas administrasi warga tersebut.

"Kami berharap ada program lanjutan untuk warga Talang Mamak yang sudah bebas dari buta aksara ini. Jangan terputus sampai disini, harus ada lanjutannya baik itu keaksaraan lanjutan atau lain sebagainya,” harap Jul.

Baca juga: SD Plus untuk Suku Talang Mamak belajar membaca

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019