Jakarta (ANTARA) - Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau (Kepri) Edy Sofyan dan Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Kepri Budy Hartono didakwa membantu Gubernur Nurdin Basirun menerima suap senilai Rp45 juta dan 11 ribu dolar Singapura dari pengusaha untuk pengurusan izin prinsip.

"Terdakwa I Edy Sofyan dan terdakwa II Budy Hartono bersama-sama dengan Nurdin Basirun sebagai Gubernur Kepri menerima hadiah atau janji berupa uang sejumlah Rp45 juta, 5.000 dolar Singapura dan 6.000 dolar Singapura," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Yadyn di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.

Tujuan pemberian suap itu adalah agar Nurdin Basirun selaku Gubernur Riau menandatangani Surat Izin Prinsi Pemanfaatan Laut atas nama pemohon Kock Meng seluas 6,2 hektare, surat Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut atas nama pemohon Abu Bakar seluas 10,2 hektare dan rencana memasukkan kedua izin prinsip tersebut ke dalam daftar Rencana Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Pantai dan Pulau-Pulau Kecil (Perda RZWP3K).

"Nurdin Basirun mengarahkan terdakwa I untuk mengumpulkan uang buat kepentingan Nurdin Basirun yang bersumber dari investor yang sedang mengurus perizinan pemanfaatan/pengelolaan ruang laut sampai 12 mili di luar minyak dan gas bumi tanpa melalui Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP)," tambah jaksa Yadyn.

Menindaklanjuti arahan Nurdin, Edy lalu menyampaikan kepada Budy agar melakukan komunikasi dengan pemohon terkait permohonan Izin Prinsi Pemanfaatan Ruang Laut untuk menyediakan biaya pengurusan yang tidak resmi.

"Uang pengurusan tersebut digunakan untuk membiayai keperluan operasional Nurdin Basirun dalam rangka kunjungan ke pulau-pulau, serta penerimaan tunai oleh Nurdin Basirun dan untuk kepentingan operasional terdakwa I serta terdakwa II," ungkap jaksa Yadyn.

Pertama, untuk uang Rp45 juta diperoleh dengan cara berikut: pada September 2018, Johanes Kodrat mengenalkan nelayan bernama Abu Bakar dengan seorang pengusaha bernama Kock Meng. Kocke Meng ingin membuka restoran di Tanjung Piayu dan ia sudah memiliki izin pendirian restoran namun belum memiliki izin pemanfaatan ruang laut.

Abu Bakar mengaku mengenal para terdakwa dan menjelaskan izin-izin apa saja yang diperlukan untuk membuka restoran. Ketiganya juga inign membuat perusahaan dengan nama PT Kelong Abadi Sejahtera untuk kepentingan pembangunan dan pengelolaan restoran, penginapan terapung dan budidaya ikan di Pesisir Tanjung Piayu Batam.

Pada Oktober 2018, Abu Bakar menemui Budy Hartono di kantor Budy untuk mengajukan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut. Kock Meng mengajukan izin di Tanjung Playu, Batam seluas 50 ribu meter persegi sedangkan Abu Bakar mengajukan 20 ribu meter persegi di Jembatan Lima Barelang, Batam.

Budy Hartono menyampaikan kepada Abu Bakar syarat pengajuan izin ada biaya pengurusan sejumlah Rp50 juta, biaya itu disetujui. Agar nota dinas segera ditandatangani maka Budy meminta uang segera diserahkan kepada dirinya.

Selanjutnya uang diberikan oleh Kock Meng kepada Abu Bakar melalui Johanes Kodrat. Kodra menyerahkan Rp50 juta kepada Abu Bakar di pelabuhan Sijantung. Selanjutnya Abu Bakar menyerahkan Rp45 juta kepada Budy Hartono di rumah Edy Sofyan sedangkan Rp5 juta digunakan Abu Bakar sebagai biaya operasionalnya.

Setelah menerima uang dari Abu, Budy Hartono menyerahkan uang Rp45 juta tersebut kepada Edy Sofyan selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Kepri.

Hasilnya, izin prinsip pemanfaatan laut untuk Abu Bakar dan Kock Meng ditandatangani Gubernur Kepril Nurdin Basirun.

"Terdakwa I Edy Sofyan lalu menggunakan uang Rp45 juta itu untuk kepentingan Nurdin Basirun saat melakukan kunjungan ke pulau-pulau yang dilanjutkan makan bersama dengan rombongan. Edy Sofyan melakukan pembayaran untuk pengeluaran kegiatan tersebut atas sepengetahuan Nurdin Basirun," tambah jaksa Yadyn.

Kedua, pemberian uang 5.000 dolar Singapura terkait dengan permohonan izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut di Tanjung Playu Batam seluas 10,2 hektare milik Kock Meng namun pengajuannya atas nama Abu Bakar pada 22 Mei 2019 kepada Budy Hartono.

"Terdakwa II Menyiapkan dokumen kelengkapannya kemudian menghubungi Abu Bakar untuk menyiapkan biaya pengurusan tidak resmi sejumlah Rp50 juta," tambah jaksa Yadyn.

Atas penyampaian Budy, Abu Bakar menghubungi Johanes Kodrat kemudian Johanes Kodrat menyampaikan kepada Kock Meng untuk menyiapkan uang Rp300 juta untuk pengurusan izin. Karena Kock Meng ingin proses izin cepat selesai maka ia meneryahkan uang Rp300 juta itu dalam bentuk dolar Singapura yaitu 28 ribu dolar Singapura kepada Johanes Kodrat.

Setelah menerima uang itu, Kodrat lalu meisahkan uang 5 ribu dolar Singapura untuk diberikan kepada Abu Bakar sedangkan Rp50 juta diserahkan kepada istri Abu Bakar dan sisanya disimpan oleh Johanes Kodrat.

Penyerahan uang dilakukan pada 30 Mei 2019 di pelabuhan Telaga Punggur Batam oleh Abu Bakar dan Johanes Kodrad kepada Budy Hartono di dalam amplop cokelat dengan mengatakan "Ini titip buat Pak Edy, informasinya surat izin akan ditandatangani malam ini".

Setelah menerima uang tersebut Budy Hartono lalu menemui Edy Sofyan di pelabuhan Pelantar I Tanjungpinang namun Edy tidak membawa berkas surat izin prinsip yang dimohonkan. Edy lalu memerintahkan supirnya Shalihin untuk membawa berkas izin tersebut ke Batam untuk ditandatangai oleh Nurdin Basirun.

Baca juga: KPK periksa enam saksi kasus korupsi Gubernur Kepri non-aktif

Selanjutnya Edy bersama rombongan Gubernur Nurdin Basirun melakukan kegiatan safari subuh ke pulau-pulau di Tanjung Pantun Sei Jodoh dan kegiatan lainnya.

"Setelah acara selesai, Terdakwa I Edy Sofyan menemui Nurdin Basirun di hotel Harmono Nagoya Batam dan di dalam kamar Nurdin Basirun, Edy Sofyan menyerahkan amplop uang tersebut sambil berkara 'Pak ini titipan Abu'. Nurdin Basirun kemudian menerima amplop uang dari Edy Sofyan tersebut dan menandatangani Surat Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut yang dimohonkan Abu Bakar," jelas jaksa Yadyn.

Budy lalu menghubungi Shalihin untuk mengantar berkas izin prinsip ke Batam agar ditandatangani oleh Nurdin Basirun. Setelah menerima surat izin prinsip, Budy Hartono lalu menyerahkan surat izin tertanggal 31 Mei 2019 yang sudah ditandatangani Nurdin Basirun di pelabuhan Sijantung Jembatan Lima.

Ketiga, pemberian uang senilai 6.000 dolar Singapura terkait izin prinsip melakukan reklamasi. Menurut Budy Hartono, lokasi yang diinginkan Abu Bakar tidak masuk dalam 42 titik rencana Perda RZWP3K Kepulauan Riau. Agar permohonan lokasi baru diusulkan maka harus dilengkapi dengan data dukung reklamasi yang akan disipakan staf Budy bernama Aulia.

Baca juga: Kemendagri peringatkan kepala daerah di Kepri bertobat

Maka pada 5 Juli 2019, Budy Hartono menyampaikan kepada Abu Bakar untuk pembuatan data dukung ada biaya Rp75 juta dimana Rp25 juta akan diserahkan kepada Nurdin Basirun melalui Edy Sofyan.

Abu Bakar lalu melaporkan kepada Johanes Kodrat dan Johanes Kodrat menemui Kock Meng menyampaikan ada biaya pengurusan masuk zonasi RZWP3K sejumlah Rp300 juta dan atas biaya itu Kock Meng menyetujuinya dan menyerahkan Rp300 juta dalam bentuk 28 ribu dolar Singapura. Setelah menerima uang tersebut, Kodrat memisahkan 6.000 dolar Singapura dan menyerahkan ke Abu Bakar sedangkan sisanya 19 ribu dolar Singapura disimpan Kodrat.

Staf Budy, Aulia, pada 6 Juli 2019 bersama dengan tim penyusun dari Universitas Maritim Raja Ali Haji lalu turun ke lokasi untuk menyusun data dukung rencana reklamasi untuk usaha yang dimohonkan dengan nama Abu Bakar.

Uang diserahkan pada 10 Juli 2019 saat perjalanan ke rumah Edy Sofyan dari pelabuhan Feri Sri Bintan Tanjungpinang. Abu Bakar menyerahkan amplop kuning berisi uang sejumlah 6.000 dolar Singapura kepada Budy Hartono.

Budy lalu menemui Edy Sofyan di kedai Kopi Bahagia. Dari sana, keduanya menuju kantor dinas Kelautan dan Perikanan Kepri untuk mengambil berkas data dukung zonasi titik reklamasi yang sudah disiapkan Aulia Rahman dan selanjutnyua menuju pelabunan Sri Bintan Tanjungpinang untuk mengantar Abu Bakar

Baca juga: KPK lanjutkan penggeledahan di kantor Dinas ESDM dan DLHK Kepri

"Setelah keluar dari pelabuhan Sri Bintan Tanjungpinang, Budy diamankan petugas KPK dan ditemukan uang 6.000 dolar Singapura dalam mobil Avanza hitam milik Budy Hartono," ungkap jaksa Yadyn.

Atas perbuatannya, Edy Sofyan dan Budy Hartono didakwa pasal 12 ayat (1) huruf a atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.

Keduanya tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi) sehingga sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi pada Rabu, 11 Desember 2019.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019