Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi mengklarifikasi informasi dan pernyataan politikus PDIP Arteria Dahlan pada suatu acara terkait dengan laporan tahunan KPK, penyitaan, hingga KPK gadungan.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK RI, Jakarta, Kamis, menyatakan bahwa dalam sebuah dialog di salah satu stasiun televisi, yaitu acara Mata Najwa pada hari Rabu (9/10) terdapat sejumlah informasi terkait dengan KPK.

Sejumlah informasi itu disampaikan oleh Arteria yang hadir sebagai narasumber pada acara tersebut.

"Sebelumnya, perlu kami sampaikan bahwa KPK sangat menghargai kritik dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas kami dan selama ini pengawasan tersebut berjalan dengan sangat baik," ucap Febri.

Ia menyebutkan sejumlah insitusi yang mengawasi KPK, di antaranya DPR RI melalui berbagai kewenangan yang dimiliki, BPK RI dari aspek keuangan, masyarakat luas hingga pengawasan teknis perkara baik melalui praperadilan maupun berbagai lapis pengadilan untuk menguji bukti-bukti yang dimiliki KPK.

Terkait dengan informasi dan pernyataan narasumber di acara tersebut, kata Febri, KPK mendapatkan cukup banyak pertanyaan, baik dari masyarakat maupun media.

"KPK melihat terdapat sejumlah informasi keliru yang jika tidak kami klarifikasi secara tepat pada publik, berisiko menyesatkan publik. Sebagai bagian dari tanggung jawab KPK untuk menyampaikan informasi yang benar pada masyarakat maka perlu kami sampaikan beberapa klarifikasi," tuturnya.

Menurut dia, terdapat setidaknya tiga hal krusial yang bisa dijelaskan terkait pernyataan dari narasumber itu.

Baca juga: KPK konfirmasi politikus PAN Dipo Nurhadi terkait aliran dana SPAM

Pertama, kata dia, KPK memastikan selalu membuat laporan tahunan. Hal itu sekaligus sebagai bantahan terhadap pernyataan KPK tidak pernah membuat laporan tahunan.

"Laporan tahunan merupakan salah satu produk rutin yang wajib kami susun dan disampaikan pada DPR, Presiden, BPK dan juga publik. KPK telah menyusun laporan ini dan mengirimkan pada DPR, Presiden, BPK dan instansi lain yang terkait. Selain itu, KPK juga mempublikasikannya di website, dengan alamat: https://www.kpk.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan," ucap Febri.

Khusus Laporan Tahunan 2018, kata dia, KPK menggunakan format baru yang menekankan pada grafis agar lebih mudah dipahami dan dikonsumsi generasi saat ini dan juga masyarakat secara luas, yaitu:
https://www.kpk.go.id/images/Integrito/LaporanTahunanKPK/Laporan-Tahunan-KPK-2018-.pdf

"Pada laman tersebut dapat ditemukan Laporan Tahunan KPK hingga 2018. Laporan ini berisi tentang kinerja KPK secara keseluruhan. Di dalamnya terdapat hasil-hasil kerja KPK yang terdiri atas monitoring, supervisi, koordinasi, penindakan, dan pencegahan," ujar Febri.

Laporan itu setiap tahunnya diluncurkan secara resmi dengan mengundang para pemangku kepentingan, baik itu dari unsur pemerintah maupun masyarakat sipil yang diwakili lembaga swadaya masyarakat (LSM).

"Dalam peluncurannya, KPK selalu menyerahkan fisik laporan tahunan secara langsung kepada Ketua DPR, Ketua BPK, Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung, Ketua Mahakamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kepala Bappenas. Lembaga lain di luar itu, mendapatkan fisik laporan tahunan melalui pengiriman via pos," ungkapnya.

Baca juga: KPK perpanjang penahanan politikus PDIP Nyoman Dhamantra

Tidak hanya laporan tahunan, KPK juga memublikasikan laporan keuangan, laporan akuntabilitas kinerja, dan laporan pelayanan informasi publik.

"Dokumen laporan itu juga dengan mudah dapat diakses di website www.kpk.go.id sehingga kami memastikan jika ada pihak yang mengatakan KPK tidak membuat laporan tahunan, hal tersebut adalah informasi yang tidak benar dan tidak layak dipercaya," kata Febri.

Hal krusial kedua, kata dia, terkait dengan barang sitaan berbeda dengan barang rampasan.

Febri menjelaskan terdapat kekeliruan pemahaman ketika disampaikan bahwa ada barang sitaan yang tidak dimasukkan ke kas negara.

Pernyataan itu, kata dia, diduga berangkat dari ketidakmampuan membedakan antara barang rampasan dan barang sitaan. Penyitaan dilakukan sejak penyidikan, sedangkan apakah sebuah barang yang disita dapat dirampas atau tidak, hal tersebut bergantung pada putusan hakim.

"Dalam kondisi tertentu, hakim dapat memerintahkan dilakukan perampasan, atau digunakan untuk perkara lain, atau dikembalikan pada pemiliknya," ujar Febri.

Ketiga, soal praktik penipuan menggunakan identitas mirip KPK atau KPK gadungan.

Baca juga: Politikus PDIP Rai Wirajaya kembali tak penuhi panggilan KPK

Febri mengungkapkan terdapat tuduhan yang disampaikan dalam forum tersebut, seolah-olah isu KPK gadungan dibuat untuk menutupi tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh KPK.

"Kami pastikan hal itu tidak benar, bahkan KPK bekerja sama dengan Polri dalam memproses para pelaku pemerasan atau penipuan yang mengaku-ngaku KPK. Pada tahun 2018, setidaknya telah diproses 11 perkara pidana oleh Polri terkait hal tersebut dengan 24 orang sebagai tersangka," kata dia.

Pada periode Mei s.d. Agustus 2019, KPK menerima 403 aduan tentang pihak-pihak yang mengaku KPK tersebut, di antaranya melalui call center 198, kemudian diidentifikasi lebih lanjut oleh Direktorat Pengaduan Masyarakat.

"Aduan ini antara lain terkait dengan pemerasan. Korban akan diinformasikan sebagai tersangka TPPU dan dimintai sejumlah uang untuk mengamankan asetnya agar tidak disita KPK, ada pula terkait dengan penguman penerimaan Pegawai baru KPK. Selain itu, ada juga pembuatan situs 'kpk-online' yang menayangkan berita seolah-olah bersumber resmi dari KPK," katanya.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019